Langit cerah jatuh di pesisir pantai Wini. Wini adalah salah satu tempat rekreasi yang berada di kabupaten Timor Tengah Utara -- NTT. Sintia sedang duduk di atas pasir putih, sementara angin menerbangkan rambutnya.Â
Ribuan keindahan saling berkejaran melintasi Cakrawala. Sejauh mata memandang, ada pelangi, ada rindu, ada kebohongan, ada derita dan ada penghianatan.Â
Matahari, bulan dan bintang terpana memandangi penipuan cinta. Layaknya penipuan digital "One time password (OTP) peretasan akun oleh pembajak.Â
Cinta diretas oleh media sosial. Cinta tak mengenal kondisi. Cinta itu universal sekaligus membunuh. Bias dan bising ombak lautan terbang bersama angin di keheningan semesta pantai Wini. Sementara jantung Sintia dibajak oleh rindu.
Ketika rindu memanggil dalam dilema. Dilema antara karier, percintaan dan superego orangtua. Rindu telah berontak beriringan mudik. Mudik adalah obat terlaris para perantau. Rasa rindu akan kehangatan keluarga terus memanggi para perantau. Jantung para perantau terjebak di antara politik dan pandemik Covid-19.
Rindu itu berat. Seberat nada dering telpon yang tak kunjung membangunkan Sintia dari alam pesisir pantai Wini. Sintia terus menatap tajam layar handphone androidnya.
Tatapannya setajam Hitler sewaktu menggiring kaum minoriras dan Yahudi dalam pembantaian di kamp -- kamp konsentrasi demi menyelamatkan ras Arya.
"kapan?"
"kapan?"
Kata tanya,"kapan" selalu memenjarakan Sintia. Layaknya, penjara rasionalitas masyarakat sebelum abad 18 yang memandang petir sebagai dewa.Â
Padahal, sejatinya "petir/dewa" hanyalah ilusi masyarakat. Atau lebih tepatnya, Albert Camus akan menamai pemahaman serupa "bunuh diri filosofikal." Karena petir hanya aliran listrik.Â
Bukti empirik menunjukkan bahwa, Benyamin Franklin melakukan eksperimen menerbangkan layang -- layang sewaktu badai petir musim hujan dan berhasil mematahkan mitos masyarakat.Â
Setiap ada hujan petir yang menghantam pesisir pantai Wini, Sintia selalu mengingat jasa Benyamin Fraklin. Karena ada penangkal listrik yang menyejarah bersama permukiman warga.
Konspirasi aroma kopi dan asmara melebur menjadi satu entitas yang terjebak di dasar samudera "warkop" milik pamannya. Secangkir kopi hitam telah menghangatkan badannya. Sembari ia "ngopi yang berarti ngobrol perkara impian" bersama pamannya.
"Man adalah sebutan sintia untuk pamannya, bukan man yang berarti laki -- laki."
"Man, cita -- citaku adalah mau jadi jurnalis. Bisa masuk TV, liput berita, bertemu banyak orang, punya banyak kenalan dari berbagai latar belakang Pendidikan, budaya, bahasa dan ras."
"Sintia, man setuju kau punya impian jadi wartawan. Tapi, apa kau sudah bicarakan dengan orangtuamu?"
"Belum, man!
"Lah, gimana sih, Sintia?" Ayo, sono bicarakan sama orangtuamu.
"Tapi, aku takut, man"
"Ngapain kau takut sama orangtuamu?"
"Lagian, superego orangtuaku tak bisa dilawan, man"
"Anyway, kopinya gratis ya, man?"
"Ngak! Kau harus bayar dong, sintia.
"Man, kok sama ponakan aja pelit amat sih"
"Bukannya man pelit sama ponakan, tapi kelemahan kita orang Timor adalah jiwa sosialnya tinggi banget. Makanya, usaha kita ngak maju -- maju."
"Selain itu, man mau mengajarkan kepada ponakanku yang cantik ini untuk belajar bertanggungjawab dan mandiri. Coba kau lihat dan belajar budaya Eropa. Di mana, mereka sangat mandiri dalam segala hal. Mereka minum secangkir kopi di kedai kopi aja, bayar masing -- masing."
"Aaaah, man kok sok tahu aja, sih."
"Man bukan sok tahu, tapi man banyak belajar dan banyak baca buku -- buku yang berkaitan dengan budaya Eropa."
"Wah, man hebat dong."
"Man, bukan hebat. Tapi, man selalu ada kemauan untuk belajar hal baru." Makanya, ponakanku juga harus punya kemauan untuk belajar. Dan ingat ajaran dari salah satu filsuf favorit man ya, "pengetahuan sejati adalah mengetahui bahwa kamu tidak tahu apa -- apa (Sokrates)."
"Wah, keren banget, man. Tapi, aku bingung siapa itu Sokrates?
"Nice, man senang kau sangat antusias dengan tokoh inspiratif, man." Jadi, Sokrates adalah salah satu filsuf Yunani yang sangat menjunjung tinggi kebenaran. Beliau adalah tokoh pembela kebenaran sejati. Bayangkan, demi kebenaran beliau rela minum racun di depan para penguasa."
"Kok minum racun sih, man?" Emang ngak ada cara lain untuk mempertanggungjawabkan kebenaran di depan penguasa?"
"Tentu ada!
"Lalu, kenapa Sokrates tak bisa gunakan cara yang lain?" Beliau kan cerdas, man?"
"Ya, beliau sangat cerdas. Tapi, kan konteks zaman itu beda, sintia?"
"Apanya, yang beda, mana?"
"Zaman itu, Sokrates tak punya pilihan lain, selain beliau harus meminum racun yang telah disediakan oleh para penguasa. Motifnya adalah para penguasa mau melihat, apakah Sokrates bisa mempertanggungjawabkan kebenarannya atau tidak?"
"Wah, Sokrates hebat banget, man."
"Anyway, paman mau ceritain filsafat cinta dari ajaran filsuf Yunani."
"Mau banget, man."
"Rahasia dong."
"iiiiiih, rahasia sama ponakan sih. Padahal, aku mau belajar filsafat cinta dari ajaran para filsuf Yunani, man."
Sepenggal obrolan singkat antara Sintia dan pamannya tentang 'ngopi.' Nantikan kisah lanjutannya................
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H