Seutas tali mengikat leher seekor kerbau. Kerbau bisa saja melepaskan diri dari tuannya. Akan tetapi, nihilisme yang ia temukan. Karena doktrin dari tuannya sudah tertanam kuat dalam alam bawah sadarnya. Lalu, bagaimana kehidupan manusia yang sudah sekian tahun dipenjara oleh mental inferior?
Melepaskan adalah cara terbaik untuk meringankan beban mental inferior. Ribuan anak desa berlomba untuk menikmati hujan kebisingan kota metropolitan dan kehidupannya. Â Bias dan bising kendaraan semakin mengusik mental inferior yang sudah menjadi bukit batu di dalam arsip jantung ribuan anak desa. Mereka sangat terluka dengan kondisi kehidupannya. Penderitaan mereka telah dikubur di dasar samudera.
Aroma kopi menemani aku di bawah terik matahari kampung Haumeni. Nada-nada kehidupan dari Sang Pengada membungkus ribuan kegelisahanku. Layaknya kegelisahan para filsuf dalam mencari segala apa yang ada di semesta.Â
Aku mencari segala apa yang ada di antara labirin semesta dan rak arsip jendela dunia. Jauhku berimajinasi sembari ku arahkan pandanganku ke salah satu buku filsafat yang terpajang di lemariku. Ketika mataku bertautan erat dengan buku filsafat itu, ku rasakan adrenalinku berkejaran melintasi pelangi nadiku. Seluas tinta pelangi, aku membungkus rasa penasaranku dibalik buku itu.
Setapak demi setapak, aku menggengam pelangi. Pelangi itu indah sejauh ada imajinasi. Waktu terus berganti, bunyi lonceng Gereja mengagetkan aku dari rasa penasaran di antara negeri karang dan perbukitan Haumeni.Â
Semula aku tak berani untuk membuka buku itu. Karena ada misteri di dalam buku yang bersampulkan seorang lelaki berjenggot panjang dan sangat menyeramkan.
Aku semakin penasan dengan dunia filsafat. Akan tetapi, aku tak bisa melawan rasa inferior yang sudah menjadi batu karang dalam alam bawah sadarku.Â
Layaknya si kerbau yang selalu mengikuti apa kata tuannya. Aku bisa membuka buku itu tanpa sepengetahuan orangtuaku. Tapi, alam bawah sadarku sudah didoktrin sedari kecil untuk menjauhi rahasia yang terkandung di dalam dunia filsafat.
Ribuan hari aku menunggu waktu yang tepat untuk membuka jendela filsafat dan rahasianya dalam hidupku. Tapi, aku selalu terantuk pada gunung karangku. Aku semakin penasaran. Tapi, aku tak bisa melawan ultimatum dari orangtuaku.
Seberkas sinar malam menerangi alam bawah sadarku untuk merangkai benang masa depanku. Hal demikian senada dengan ungkapan Abraham Lincoln,"Cara terbaik untuk memperkirakan masa depan adalah menciptakannya." Lalu, bagaimana aku menciptakan masa depan dalam penjajahan mental inferior? Rembulan menggantung indah di angkasa, aku memberanikan diri untuk mengetahui rahasia dibalik buku filsafat. Namun, pesan orangtuaku selalu terngiang di dalam pikiranku. Aku mengandalkan logika, tapi logikaku tak bisa melawan doktrin orangtuaku.
Alhasil, setelah 19 tahun aku menunggu rahasia dibalik dunia filsafat, akhirnya orangtua mengizinkan aku untuk membukanya. Kebahagiaan saling berkejaran melintasi cakrawala diriku. Tapi, aku tak menemukan bukunya.Â
Jangan terlalu serius, mari ngopi bareng (Ngobrol perkara imajinasi) bersama keluarga tercinta.Â
Salam Kompasiana
Kapuk Pulo, 16 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H