Mohon tunggu...
Frederikus Magung
Frederikus Magung Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa STFK Ledalero, semester V

Sekarang Tinggal di Ritapiret, Maumere, Flores, NTT

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Terawan dan Etika Publik: Wacana "Kursi Kosong"

8 Oktober 2020   12:27 Diperbarui: 8 Oktober 2020   12:31 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     

Wacana kursi kosong menuai banyak kontroversi parsial. Aksi wawancara kursi kosong yang seharusnya diduduki oleh Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto di program Mata Najwa, mendadak viral. 

Penolakan Terawan mesti menjadi bahan refleksi konstruktif terhadap konsolidasi demokrasi Indonesia, terlebih khusus dalam konteks terkait penanganan Covid-19 yang kian hari, massif bertambah. Najwa Shihab terlihat bermonolog dengan wawancara kursi kosong. Aneh, bukan?

Hemat saya, ini sedikit aneh dengan jurnalisme kita saat ini. Tapi dengan keanehan jurnalis(me), seorang Najwa dengan pengetahuan yang kompetitif dan pengalaman yang mumpuni ingin mempertanyakan kepada publik perkembangan penanganan covid-19 di indonesia.

Atensi Najwa wacana kursi kosong meski dilihat dari beberapa hal. Pertama, Najwa melihat bahwa total kematian resmi global akibat covid-19 kemungkinan lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Artinya menurut WHO, jumlah kematian di seluruh dunia sudah mencapai di atas 35 juta kasus. Melansir data laman worldmeters, senin (5/10/2020), jumlah kasus covid-19 yang telah dikonfirmasi di dunia sebanyak 35, 38 juta kasus.

Pada tataran nasional, Indonesia, jumlah konfirmasi covid-19 mencapai 303.498 kasus, pada minggu (4/10/2020). Maka demikian, pemerintah terkait tidak boleh tinggal diam perkembangan senyap wabah ini. 

Kedua, secara politis, tugas jurnalistik menitikberatkan pada kebutuhan, pun kepentingan publik. Jurnalisme menjadi public control menyampaikan aspirasi, serta opsi lain, publik ingin melihat kinerja orang-orang yang berkepentingan dalam suatu negara. Kode etic jurnalisme, tentu tidak ingin dialienasi oleh kepentingan parsial pejabat publik. Maka, kebutuhan publik menjadi tolok ukur demokratisasi dalam lanskap jurnalistik konstruktif. 

Ketiga, rendahnya aksebilitas, serta kapabilitas seorang pemimpin. Pemimpin, dalam hal ini Terawan, tidak bisa mempertanggungjawabkan kepetingannya kepada publik. Karena itu, Najwa ingin membongkar kemapanan ini dalam suatu acara media jurnalistiknya, Mata Njawa. 

Hakikatnya, tugas seorang wartawan adalah menelisik, mengolah, menulis serta melaporkan tentang berbagai topik atau berita, lalu mempublikasikan ke media masa publik seperti televisi, surat kabar dan stasiun radio.

Kehadiran seorang Najwa setidaknya tersingkap nilai solidaritas ruang publik dalam suatu bangsa yang terwujud dalam jurnalistik yang demokratis. Esensi ruang publik, meminjam istilah Habermans, sebagai wadah pembentukkan opini dan aspirasi diskursif. Dalamnya orang bisa bertukar pikiran, memecah masalah, mengambil solusi demi kebaikan anak bangsa.

Dengan demikian, masalah wabah yang kian mengancam meski menjadi awasan etika publik yang terafiliasi dalam progresivitas jurnalistik. Dalam hal ini, Terawan tidak sergap mewanti-wanti kepentingannya kepada ruang publik sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 

Menteri adalah eksekutif tertinggi setelah Presiden, dialah yang menentukkan solusi mana yang diambil sekaligus pula yang mengekusinya, (Bisnis.com, 29 september 2020). 

Ketidaksanggupan Terawan mempertanggungjawabkan kepada ruang publik soal penanganan Covid-19 merupakan salah satu bentuk eksploitasi kemanusiaan publik. Sebab, galibnya wabah ini bukan hanya berimbas pada sistem politik, ekonomi, ataupun sosial tetapi lebih tragisnya pada sisi ontologis manusia, yaitu kemanusian. Kemanusiaan manusia direnggut habis-habisan oleh petawa wabah. Lalu, apakah pemimpin melepaskan begitu saja? Tentu tidak, bukan?

Tentu ini sungguh bertentangan dengan esensi seorang pemimpin dalam ruang demokrasi dan publik. Pemimpin seyogianya harus mementingkan kepentingan publik, prinsip keadilan dan kemanusiaan. Maka, apabila diabaikan, yang terjadi hanyalah gamis contradicio in se. Pemimpin meski mampu mengejawantahan kepentingan publik agar tidak menciptakan deeskalasi kemanusiaan. 

Pada item lain, respon gesit melihat fenomena tragis dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi global. Bahwasannya petaka wabah adalah musuh dunia. Setiap pemimpin di berbagai dunia menyajikan konsep serta melantunkan kebijakan demi memutus mata rantai penyebaran covid-19. Petaka wabah covid-19 menghentak serentak memakan banyak korban, mulai dari negara-negara adikuasa, hingga negara demokrasi seperti Indonesia.

Akan tetapi demi efisiensi dan efektivitas memutus mata rantai penyebaran covid-19, hemat penulis dibutuhkan kepedulian sosial dan etika publik. Peduli terhadap sumber daya manusia Indonesia, peduli terhadap inflasi perekonomian baik makro maupun mikro, peduli terhadap eskalasi politik dan hukum, peduli terhadap kemanusiaan, ekonomi rakyat, serta berbagai macam lainnya yang berhubungan dengan eksistensi manusia. 

Demi meminimalisir hal itu, maka ruang publik jurnalistik merupakan salah satu jalan menuju kebenaran, bonum commune. Secara radikal, Najwa Shihab dalam wawancara kursi kosong itu telah menunjukkan kepedulian etika kemanusiaan.

Etika publik- kemanusiaan itu terafialiasi dalam tindakan mengundang. Tindakan mengundang artinya adanya sikap keterbukaan dan membuka diri untuk yang lain sebagai suatu kebajikan di alam demokrasi. 

Mengutip Shihab "warga boleh mengajukan kritik dalam berbagai bentuk, bisa dukungan, usulan, bahkan keberatan. Padu padan dukungan, usualan dan keberatan itu tak ubah vitaminnya yang kadang rasanya dominan pahit tapi kadang jga manis- niscaya menyehatkan jiga disikapi sebagai proses bersama".

Maka demikian, Tindakan ketidakhadiran Terawan telah melumpuhkan nilai etika kemanusian publik, karena tidak sanggup mempetanggungjawabkan kepentingannya kapada publik, tidak mampu Menyusun rekomendasi kebijakan untuk memberikan kontribusi dalam actio penurunan angkat positif covid-19. 

Bukan hanya itu, nilai-nilai demokrasi juga direnggus secara perlahan-lahan, kode etik jurnalisme tidak diperhatikan. Wacana Kursi kosong mengkonstruksikan virus baru di alam demokrasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun