Mohon tunggu...
Frederikus Magung
Frederikus Magung Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa STFK Ledalero, semester V

Sekarang Tinggal di Ritapiret, Maumere, Flores, NTT

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Terawan dan Etika Publik: Wacana "Kursi Kosong"

8 Oktober 2020   12:27 Diperbarui: 8 Oktober 2020   12:31 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri adalah eksekutif tertinggi setelah Presiden, dialah yang menentukkan solusi mana yang diambil sekaligus pula yang mengekusinya, (Bisnis.com, 29 september 2020). 

Ketidaksanggupan Terawan mempertanggungjawabkan kepada ruang publik soal penanganan Covid-19 merupakan salah satu bentuk eksploitasi kemanusiaan publik. Sebab, galibnya wabah ini bukan hanya berimbas pada sistem politik, ekonomi, ataupun sosial tetapi lebih tragisnya pada sisi ontologis manusia, yaitu kemanusian. Kemanusiaan manusia direnggut habis-habisan oleh petawa wabah. Lalu, apakah pemimpin melepaskan begitu saja? Tentu tidak, bukan?

Tentu ini sungguh bertentangan dengan esensi seorang pemimpin dalam ruang demokrasi dan publik. Pemimpin seyogianya harus mementingkan kepentingan publik, prinsip keadilan dan kemanusiaan. Maka, apabila diabaikan, yang terjadi hanyalah gamis contradicio in se. Pemimpin meski mampu mengejawantahan kepentingan publik agar tidak menciptakan deeskalasi kemanusiaan. 

Pada item lain, respon gesit melihat fenomena tragis dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi global. Bahwasannya petaka wabah adalah musuh dunia. Setiap pemimpin di berbagai dunia menyajikan konsep serta melantunkan kebijakan demi memutus mata rantai penyebaran covid-19. Petaka wabah covid-19 menghentak serentak memakan banyak korban, mulai dari negara-negara adikuasa, hingga negara demokrasi seperti Indonesia.

Akan tetapi demi efisiensi dan efektivitas memutus mata rantai penyebaran covid-19, hemat penulis dibutuhkan kepedulian sosial dan etika publik. Peduli terhadap sumber daya manusia Indonesia, peduli terhadap inflasi perekonomian baik makro maupun mikro, peduli terhadap eskalasi politik dan hukum, peduli terhadap kemanusiaan, ekonomi rakyat, serta berbagai macam lainnya yang berhubungan dengan eksistensi manusia. 

Demi meminimalisir hal itu, maka ruang publik jurnalistik merupakan salah satu jalan menuju kebenaran, bonum commune. Secara radikal, Najwa Shihab dalam wawancara kursi kosong itu telah menunjukkan kepedulian etika kemanusiaan.

Etika publik- kemanusiaan itu terafialiasi dalam tindakan mengundang. Tindakan mengundang artinya adanya sikap keterbukaan dan membuka diri untuk yang lain sebagai suatu kebajikan di alam demokrasi. 

Mengutip Shihab "warga boleh mengajukan kritik dalam berbagai bentuk, bisa dukungan, usulan, bahkan keberatan. Padu padan dukungan, usualan dan keberatan itu tak ubah vitaminnya yang kadang rasanya dominan pahit tapi kadang jga manis- niscaya menyehatkan jiga disikapi sebagai proses bersama".

Maka demikian, Tindakan ketidakhadiran Terawan telah melumpuhkan nilai etika kemanusian publik, karena tidak sanggup mempetanggungjawabkan kepentingannya kapada publik, tidak mampu Menyusun rekomendasi kebijakan untuk memberikan kontribusi dalam actio penurunan angkat positif covid-19. 

Bukan hanya itu, nilai-nilai demokrasi juga direnggus secara perlahan-lahan, kode etik jurnalisme tidak diperhatikan. Wacana Kursi kosong mengkonstruksikan virus baru di alam demokrasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun