Tanggal 21 Mei diperingati sebagai Hari Reformasi Nasional. Peringatan ini dilatarbelakangi oleh pengunduran diri Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, sekaligus menandai jatuhnya rezim otoriter Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Lengsernya Soeharto tidak hanya merupakan hasil dari keputusan pribadinya, tetapi sebagai bentuk konsekuensi dari tekanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat umum.Â
Demonstrasi besar-besaran yang dipimpin oleh mahasiswa dan didukung oleh berbagai elemen masyarakat ini menjadi alasan jatuhnya rezim orde baru. Mahasiswa dan masyarakat kala itu menuntut adanya reformasi, termasuk pembenahan sistem politik, pemberantasan korupsi, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam upaya untuk memberikan arah yang lebih jelas bagi proses reformasi, terdapat 6 Agenda Reformasi yang telah disusun, diantaranya:
- Adili Soeharto dan Kroni-Kroninya;
- Penghapusan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI);
- Amandemen UUD 1945;
- Otonomi Daerah yang Seluas-Luasnya;
- Supremasi Hukum;
- Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
Pada masa orde baru, agenda tersebut diharapkan dapat menjadi landasan untuk mendorong perubahan yang lebih baik lagi dalam tatanan sosial dan politik serta penegakkan hukum di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, keenam agenda tersebut kian dilupakan sehingga tatanan pemerintahan mulai melenceng dari tujuan utamanya. Terdapat beberapa hal yang mesti dievaluasi dalam peringatan 26 tahun reformasi negeri ini.
Dwifungsi ABRI 2.0
Salah satu agenda reformasi adalah menghapuskan dwifungsi ABRI yang memberikan peran ganda kepada ABRI dalam urusan pertahanan dan pemerintahan. Terbitnya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memperbolehkan TNI-Polri menjadi ASN berpotensi untuk melahirkan kembali dwifungsi ABRI. Lahirnya rancangan ini berpotensi mengembalikan militer ke dalam urusan pemerintahan dan bertentangan dengan semangat reformasi yang ingin menghapuskan dwifungsi ABRI.
Kasus Pelanggaran HAM yang Tidak Kunjung Selesai
Banyak kasus pelanggaran HAM berat dari masa lalu, seperti Tragedi Mei 1998 dan kasus penculikan aktivis yang belum terselesaikan hingga saat ini. Keluarga korban masih menunggu keadilan yang tak kunjung diselesaikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan #AksiKamisan yang dilakukan oleh Ibu Sumarsih di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis sejak tahun 2007 dan sampai hari ini, aksi kamisan sudah dilakukan sebanyak 815 kali. Aksi kamisan ini Ibu Sumarsih lakukan untuk menunggu janji dan menuntut pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Supremasi Hukum: Masih Berlaku?
Supremasi hukum adalah pilar utama dalam demokrasi. Sayangnya, hukum di Indonesia semakin mudah dilangkahi. Sebagai contoh, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi kini telah dilemahkan dengan Pasal 3 UU Nomor 19 Tahun 2019 yang membuat KPK bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Perubahan UU tersebut dianggap telah merusak independensi dari KPK dan membatasi ruang gerak KPK dalam menjalankan tugas, khususnya dalam ruang lingkup eksekutif.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya bertindak sebagai negative legislator yang berarti memiliki wewenang untuk menghapus atau membatalkan suatu norma dari undang-undang, justru melakukan apa yang bukan menjadi kewenangannya. MK malah melakukan penambahan frasa soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang memuluskan jalan dari salah satu paslon. Terlepas dari siapa yang menikmati keuntungan dari putusan MK tersebut, tindakan MK harus menjadi evaluasi besar sebab putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga kredibilitas dan kebijaksanaan hakim konstitusi sangat diperlukan disini.
Selain itu, Revisi Undang Undang MK sedang ramai dibahas sebab UU yang akan mengalami perubahan keempat tersebut dibahas secara diam-diam. Pembahasan yang tidak transparan ini menimbulkan pertanyaan besar akan tujuan dan motivasi dari perubahan UU itu sendiri. Jika kita melihat kembali kepada tiga perubahan sebelumnya, yang selalu berubah-ubah yakni tentang perubahan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, syarat usia hakim konstitusi, dan aturan tentang masa pension. Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran tentang independensi peradilan yang bisa terganggu dan keputusan-keputusan hakim yang rentan dipengaruhi oleh berbagai intervensi politik.
Sementara itu, Draf Rancangan UU Penyiaran turut menimbulkan kontroversi. Bagaimana tidak, rancangan tersebut rencananya akan melarang jurnalisme investigasi. Sudah tidak terhitung jumlahnya, kasus-kasus yang terbongkar oleh jurnalisme investigasi. Jika jurnalisme investigasi ini dilarang, pastinya akan memicu kekhawatiran terhadap usaha pembungkaman pers. Sementara itu, rancangan UU Penyiaran malah memberikan kewenangan bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa pers yang seharusnya ditangani oleh Dewan Pers. Perlu diingat bahwa Pers merupakan pilar keempat demokrasi, selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang berfungsi sebagai pengawas terhadap ketiga pilar lainnya.
KKN yang Masih Merajalela
Praktik korupsi masih marak terjadi dalam berbagai sektor. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2023, setidaknya terdapat 791 kasus korupsi. Mirisnya lagi, korupsi banyak dilakukan oleh pejabat tinggi yang berdampak pada penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sebagai contoh, misalnya kasus korupsi oleh mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang didakwa memeras dan menerima uang gratifikasi senilai total Rp 44,5 miliar dan menggunakan uang hasil korupsinya untuk membeli barang mewah, membiayai ibadah, dan memberikan tunjangan kepada anggota DPR serta politisi partainya. Contoh lainnya seperti mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, yang juga terlibat dalam korupsi senilai 8 triliun.
Selain itu, praktik nepotisme juga masih marak terjadi. Maraknya kasus nepotisme belakangan ini, sampai-sampai saya hanya mengingat perbuatan nepotisme dari salah satu politisi yang menempatkan anak-anak, menantu, dan adik iparnya pada posisi strategis untuk melanggengkan kekuasaannya.
Kesimpulan: Mewujudkan Kembali Nilai-Nilai Reformasi
Hari Reformasi Nasional sudah seharusnya menjadi momentum dalam merefleksikan perjalanan bangsa ini, menghargai perjuangan rakyat dalam meraih kebebasan dan menilai sejauh mana tujuan reformasi telah tercapai. Momentum berharga ini juga menjadi kesempatan untuk mengingat kembali komitmen dalam melanjutkan perjalanan reformasi, mewujudkan cita-cita demokrasi yang lebih kuat, dan mengatasi banyaknya masalah yang harus dihadapi. Perjalanan panjang Reformasi telah menunjukkan bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan diperkuat demi mempersiapkan Indonesia emas yang lebih adil, demokratis, dan sejahtera bagi semua warganya.
Agenda reformasi yang telah disusun diharapkan menjadi alat bantu dalam memastikan demokrasi berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Dengan mengingat dan menghargai peristiwa bersejarah ini, kita dapat selalu menginspirasi generasi-generasi masa depan untuk menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemerdekaan. Evaluasi terus-menerus diperlukan untuk memastikan bahwa perubahan yang diharapkan dapat terus terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H