"Banyak orang akan datang membantu untuk menolong korban bencana, tapi tak banyak orang yang peduli terhadap upaya pencegahan agar tak terjadi bencana. Mitigasi itu sangat penting, agar tak terjadi bencana yang memakan banyak korban. Tapi mitigasi tak menarik. Mitigasi belum mampu membuat banyak orang melirik. Karena mitigasi belum dianggap sebagai sesuatu yang seksi" kata Pria yang mengenakan seragam BPBD itu.
-o0o-
Ia sudah menuggu di depan pintu, saat aku dan kawan-kawan memasuki halaman kantornya. Kemudian menyambutku dengan salam dan pelukan hangat.
"Mompa mono pekaboron mikai gudeng (apa kabarmu sobat)?!", sapanya menggunakan bahan Orang Rimba Bukit Dua Jambi.
Cukup lama tak jumpa kawan ini. Kawan yang dulu sering bersama, membelah belantara, menemui penghuni rimba dengan berbagai problemanya. Bukit Dua Belas di Jambi, Bukit Tiga Puluh di Jambi dan Riau, sepanjang Bukit  Barisan dari Sumatera Barat -- Jambi -- hingga Bengkulu, adalah tempat kami berpetualang.
Fotografer. Itulah hobi dan profesinya dulu. Mungkin sampai sekarang.
Ada banyak hal unik dan menarik yang diambil dari alam dan penghuninya, dalam bentuk gambar. Lalu tersebar menjadi berbagai kabar.
Alam dan manusia diciptakan untuk hidup selaras. Bukanlah untuk saling menindas. Dengan berbagai cara dan media, itulah yang selalu ingin kami sampaikan. Dulu, hingga kini, dan mungkin selamanya.
Di ruangan kantornya, kami disuguhi kopi Bengkulu yang memiliki cita rasa dan aroma khas. Rasanya nikmat, tentunya. Kami mengenang masa-masa lama, dan berbagi cerita dengan kawan-kawan junior yang aku bawa. Tentang petualangan, tentang perjuangan, dan tentang perlawanan.
Cerita pun sampai juga ke obrolan tentang Dusun.
Iya. Kami memang berasal dari Dusun yang sama di Musi Rawas Utara. Daerah yang merupakan salah satu penghasil karet terbesar di Sumatera Selatan.
"Sekarang orang-orang di Dusun mulai mengganti kebun karet dengan komoditi perkebunan yang lebih menguntungkan" katanya.
Iya. Sebagaimana kita tahu, harga komoditi karet terjun bebas, pada hampir satu dekade ini.
"Potonglah para (sadaplah karet) di kebun kami. Tak perlu berbagi hasil. Asalkan getahnya kau jual dengan kami. Hanya ongkos angkut dari dusun ke pabrik, yang untung kami dikit.' sampai segitu aku sampaikan ke orang Dusun, tapi tetap tak ada yang mau kerja menyadap karet", lanjutnya.
Obrolan pun jadi agak serius, ketika ada kawan yang bertanya tentang peta yang terpampang di ruang kerjanya.
"Sebagaimana kita tahu, Kota Bengkulu ini adalah daerah yang rawan akan bencana gempa dan tsunami. Â Jadi BPBD itu punya modeling peta evakuasi tsunami seperti yang terpampang di dinding ini" paparnya.
"Hmmm... peta itu kan lapak saya. Sekarang kawan pula yang jarah haha..." sahutku
Ia lalu berdiri untuk menjelaskan tentang informasi yang ada dalam peta tersebut.
"Kalau kita lihat gambar, setiap lokasi di Kota Bengkulu ini sudah dipetakan ketinggian. misalnya ini Benteng Malborough tinggi sekitar 8 m dpl, rumah dinas Gubernur 12 m dpl, UNIB 20 m dpl. Dengan diketahuinya jarak dan ketinggian, ketika terjadi tsunami, berapa lama air laut akan sampai ke lokasi tersebut. Dengan pengetahuan tersebut, harapannya kita bisa menyiapkan diri untuk melakukan evakuasi" terangnya.
"Sepertinya rumah Tradis di Panorama ini aman, agak lama air laut sampainya" celetuk kawan juniorku.
"Jadi tsunami ini tidak hanya menyapu pada aliran permukaan, tapi juga menekan dibawah permukaan, atau masuk ke dalam pori-pori tanah. Aliran bawah tanah ini dikhawatirkan akan tertampung di Danau Dendam Tak Sudah, hingga penuh dan tumpah kembali kelaut lewat permukaan, dan daerah Panorama rumah Tradis" bahasnya.
"Kalau begitu, sosialisasi tentang hal ini sangat penting kalian lakukan ke masyarakat ya. Sebagai upaya mitigasi" timpalku.
"Iya. Itu yang selalu kami lakukan. Karena kota ini, tidak hanya rawan dari gempa dan tsunami. Tapi juga banjir dan badai" tambahnya.
"Tapi ya itu. Banyak orang akan datang membantu untuk menolong korban bencana, tapi tak banyak orang yang peduli terhadap upaya pencegahan agar tak terjadi bencana. Mitigasi itu sangat penting, agar tak terjadi bencana yang memakan banyak korban. Tapi mitigasi tak menarik. Mitigasi belum mampu membuat banyak orang melirik. Karena mitigasi belum dianggap sebagai sesuatu yang seksi", kata Pria yang mengenakan seragam BPBD itu.
"Mantaplah kawan ini. Salam lestari" ucapku.
"Dulu aku memang pakai salam lestari, sekarang salam kemanusian" sahutnya.
"Lestari kan bisa untuk kemanusiaan", tandasku.
"Siplah. Lestari untuk kenusiaan", teriak kami sambil acungkan tinju.
Kopi pun sudah mulai habis, dan kami pun permisi pulang ke Jambi.
Sehat-sehat terus ya, gudeng Lander bahelo melawon (sahabatku Lander yang hebat begete). Baek- baek ya kawan, urus negeri ini hihi...
Jambi, 8 Ramadhan 1444 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H