Mohon tunggu...
Fredi Yusuf
Fredi Yusuf Mohon Tunggu... Insinyur - ide itu sering kali datang tiba-tiba dan tanpa diduga

selalu bingung kalo ditanya, "aslinya orang mana?".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Asap dan Kebakaran Lahan Gambut di Jambi

9 September 2015   09:18 Diperbarui: 9 September 2015   09:57 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah catatan harian petualangan saya yang ditulis setahun lalu, namun belum sempat saya share. Momentum kebakaran lahan dan kabut asap yang menyelimuti Kota Jambi dalam tiga minggu terakhir ini, mengingatkan saya akan tulisan yang sempat terlupakan ini. Semoga bermanfaat.

-o0o-

“Kebakaran yang terjadi di lahan milik konsensi perusahaan adalah sebuah kesengajaan. Adalah bohong jika ada yang mengatakan kebakaran lahan terjadi secara alami” Mr. X, Manajer Perusahaan.

Kalimat tersebut masih terngiang ditelingaku, ketika terik matahari siang itu terasa begitu menyengat, sinarnya yang ‘tak ramah’ menyentuh tubuh seakan ingin menyayat kulitku. Panasnya ‘yang membakar’ seakan ingin memanggang badanku, hingga tak terbendung keringat pun mengalir deras membasahi tubuhku.

Siang itu aku berdiri di hamparan lahan yang sangat datar, saking datarnya mataku bisa dengan puas memandang sejauh yang dikehendaki. Hamparan itu terlihat hitam, satu dua pepohonan yang masih berdiri terlihat mengering dengan sebagian ranting dan daun yang tak lagi utuh.

Hari itu aku berdiri di lahan gambut yang terbakar satu bulan lalu, di Desa Koto Kandis Dendang Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi. Sekitar 50 hektar lahan masyarakat desa ini terbakar saat itu.

Menurut Zarkismi, Kepala Desa Koto Kandis Dendang, saat itu tak ada warga yang tahu dari mana asalnya api. Warga baru mengetahui terjadinya kebakaran setelah api menjalar luas membakar lahan mereka. Karenanya tak banyak upaya yang bisa dilakukan untuk memadamkannya, selain membuat sekat semampunya agar api tidak menjalar lebih jauh dan berharap hujan turun.

“Tidak mudah memadamkan api yang membakar lahan gambut, karena api merambat bukan dipermukaan tanah melainkan dari dalam tanah. Oleh karena itu selain sangat sulit, memadamkan api di lahan gambut juga sangat beresiko bagi keselamatan” ujar Zakirmi.

Zarkismi menambahkan, lahan yang terbakar umumnya telah ditamani kelapa sawit umur 1 hingga 2 tahun. Untuk merawat tanaman hingga umur tersebut rata-rata menghabiskan biaya antara 15 sampai 20 juta per hektar. Itu diluar tenaga yang petani keluarkan, karena petani tak pernah menghitungnya.

“Jadi bisa anda hitung sendiri berapa besarnya kerugian materi akibat kebakaran ini” tegas Zarkismi.

Lain yang terjadi di lahan masyarakat, yang tidak tahu dari mana asal api itu menjalar hingga melahap kebun mereka. Lain pula cerita yang terjadi di lahan konsensi baik milik perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Menurut Sofyan Specialist Remote Sensing KKI WARSI, ada kecenderungan munculnya hot spot di konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun di konsesi perusahaan HTI terjadi di lahan yang belum diolah. Sedangkan untuk lahan yang sudah diolah menjadi kebun atau HTI, hot spot relative tidak lagi muncul.

Kajian Sofyan dilakukan dengan metode ovelay dari serial data citra satelit landsat, dan serial data hot spot satellite Terra dan Aqua milik NASA dengan tingkat kepercayaan 85%, serta peta izin konsesi perusahaan. Untuk serial data satelit menggunakan data tahun 2012, 2013 dan 2014.

[caption caption="Hamparan lahan gambut yang terbakar"][/caption]

“Dari kecenderungan tersebut, ada indikisadi bahwa kebakaran lahan yang terjadi dilakukan secara terpola dan terencana” ujar Sofyan.

Pengakuan mengejutkan justru terungkap dari pernyataan seorang manajer konsesi perusahaan kelapa sawit. Menurut manajer yang enggan disebut namanya tersebut, kebakaran yang terjadi di lahan milik konsensi perusahaan adalah sebuah kesengajaan.

“Adalah bohong jika ada yang mengatakan kebakaran lahan terjadi secara alami” ujar sang manajer.

Menurut manajer yang memiliki pengalaman malang melintang diberbagai perusahaan besar ini, kebakaran lahan yang terjadi diperusahaan dilakukan dengan sengaja saat mereka melakukan aktivitas land clearing (pembukaan lahan). “Melakukan land clearing dengan cara membakar lahan, merupakan upaya penghematan biaya yang dilakukan perusahaan” ujar sang manajer.

Sang manajer menambahkan, untuk melakukan land clearing tanpa pembakaran lahan dibutuhkan waktu sekitar tujuh hingga delapan bulan. Namun jika dilakukan dengan pembakaran, aktivitas land clearing bisa diselesaikan hanya dalam waktu satu bulan saja.

“Bayangkan, berapa besar pengusaha bisa menghemat anggaran” tandas sang manajer.

Ironi memang. Ketika ada banyak penerbangan tertunda akibat asap kebakaran hutan, ada banyak orang yang sakit karenanya, bahkan sekolah harus diliburkan akibatnya. Semua orang mengutuk dengan berbagai umpatannya. Tapi segelintir orang justru tertawa dan mengambil keuntungan dari semua itu.

Kebakaran di lahan gambut tidak saja mengakibatkan kerugian ekonomi secara finacial semata, namun ada juga kerugian ekologi yang dampaknya juga luar biasa dahsyat. Bahkan jika dikonversi kedalam hitungan ekonomi, kerugian ekologi ini jumlahnya bisa mencapai triliyunan rupiah.

Secara ekologi, kebakaran gambut akan menyebabkan hilangnya berbagai jenis flora dan fauna, yang ada di alam. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan siklus ekologi. Akibatnya kesuburan tanah akan menurun, fredator sebagai musuh alami hama akan hilang, dan semakin banyak bermunculan hama penyakit baru.

Berbagai literature menyebutkan, untuk memulihkan lahan gambut yang sudah rusak ke fungsi ekologinya yang semula, dibutuhkan waktu hingga ratusan tahun lamanya. Jadi bisa dibayangkan berapa besar kerugian yang diderita akibat kebakaran ini.

Gambut merupakan salah satu penyimpan cadangan karbon terbesar yang ada di alam. Kebakaran gambut menyebabkan menipisnya lapisan gambut, yang artinya bahwa akibat kebakaran gambut ada banyak cadangan karbon (CO2) yang terlepas ke udara (emisi). Hal inilah yang menjadi penyebab suhu bumi semakin meningkat, musim menjadi tak menentu, dan iklim menjadi berubah.

Dari hasil pengamatan di lapangan, akibat kebakaran diperkirakan telah terjadi kehilangan gambut sedalam 30 – 50 cm. Menurut Fahmudin Agus (Balai Penelitian Tanah), dalam 10 cm tanah gambut terkandung sekitar 60 ton C/ha. Artinya setiap hektar lahan gambut yang terbakar akan menyumbangkan emisi sebesar 180 – 300 ton C/ha. Belum lagi ditambah kandungan karbon yang ada diatasnya. Jadi bisa dibayangkan berapa jumlah karbon yang terlepas setiap ‘musim’ kebakaran yang hampir selalu menghanguskan ribuan hektar lahan, yang menjadi ‘penyumbang’ bagi meningkatnya suhu bumi.

 

 [caption caption="Sisa akar pohon yang terbakar, menunjukan kedalaman lapisan gambut yang hilang."]

[/caption]

Hari ini, di ‘Tempat Kejadian Perkara’ aku berdiri untuk menyaksikan dan merasakan semua itu. Temperatur yang tertulis pada termometer ditempat itu menunjukan angka 39°C. Itu sama persis dengan suhu tubuhku saat demam tinggi, ketika malariaku kambuh. Angka yang sangat fantastis dan kontras, mengingat hari sebelumnya di dalam Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh yang juga di kabupaten sama, temperatur yang tertulis pada termometer hanya menunjukan angka 29°C.

Di lokasi yang sama dengan tipologi berbeda, perbedaan itu nyata. Bukti bahwa dengan berubahnya tipologi vegetasi, berubah pula suhu mikronya. Semakin banyak yang berubah semakin banyak pula peningkatan suhu buminya. Itulah global warming, itulah pemanasan global, itulah perubahan iklim.

Hari ini, tubuhku seperti terbakar dilahan gambut, bukti bahwa suhu bumi semakin panas. Hari ini, kulitku yang terbakar oleh suhu bumi tampak menghitam. Mungkin besok, tubuh kita yang terbakar oleh suhu bumi akan melepuh. Sebelum semua itu terjadi, mari kita bertindak, mari selamatkan bumi dan STOP GLOBAL WARMING…!

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun