Mohon tunggu...
Fredeswinda Wulandari
Fredeswinda Wulandari Mohon Tunggu... Guru - pencinta fantasi

Penyuka kopi, Harry Potter, dan cerita fantasi. Melamunkan yang akan datang dengan harapan akan dijamah Sang Pemilik Semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumpukan Kata Usang yang Minta Dikenang (Bagian 1)

22 Januari 2023   13:19 Diperbarui: 22 Januari 2023   13:29 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kirana Sasmito namanya. Gadis berambut hitam lurus panjang sepinggang. Senyumnya yang irit seperti enggan memamerkan lesung pipit semakin menambah aura. Bibir tipisnya menyimpan berjuta rasa. Binar matanya memancarkan gairah belajar dan hidup yang menular seperti wabah yang tak terbendung.

Aahhhh...aku sudah terpesona pada pandangan pertama. Kala itu aku melihatnya saat Masa Orientasi Siswa Baru di sekolahku. Aku duduk di kelas 2 IPA di sana. Semua orang mengakui kalau aku pintar, tapi untuk masalah lawan jenis aku nol besar. Apalagi untuk berkenalan dengannya...duhh...aku mana berani. Aku orangnya pemalu terutama bila berurusan dengan makhluk Tuhan yang paling cantik bernama perempuan. Padahal kata teman -- temanku aku tak kalah ganteng dari bintang laga Jepang pemeran Satria Baja Hitam.

Butuh puluhan hari sampai aku berani memulai perkenalan dan butuh ratusan pemikiran untuk mendapatkan cara yang paling ampuh untuk mendekatinya tanpa teman dan guruku tahu.  Aku sudah mempelajari semua gerak -- gerik dan kegiatannya supaya bisa mencari waktu yang pas. Akhirnya kesempatan itu datang juga.

Siang itu, udara panas sekali. Kulihat dia berjalan seorang diri melewati gerbang utama sekolah hendak menuju ke asrama putri. Segera kususul langkahnya.

"Hei."

"Eh, kamu. Ada apa?"

Dia menjawab tanpa menghentikan langkahnya. Segera kusodorkan buku batik berwarna ungu setebal 100 halaman kepadanya. Tiba -- tiba dia berhenti.

"Apa ini?"

"Bacalah. Aku menuliskan sesuatu di lembar pertama. Kutunggu kau di sini besok pulang sekolah."

Dia memandangku ragu. Sedetik kemudian senyum tipisnya muncul menghiasi bening wajahnya.

"Oke. Sampai jumpa besok."

Dia mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mengingat tempat pertemuan  kami akan bertemu besok -- di bawah pohon kresen di samping sekolah - lalu dia melangkahkan kaki menuju asrama putri sambil mendekap buku batik ungu itu tanpa menoleh sedikitpun.

Aku merasa lega dan bahagia. Langkah pertama lancar dan semoga seterusnya. Kuberlari menuju kamarku di asrama putra dengan gembira sambil membayangkan pertemuan kami esok hari.

Di lembar pertama buku itu kutulis demikian :

Teruntuk pemilik lesung pipit pencuri hati

Ketika mentari bersinar di detik pertama pagi ini hanya bayangmu saja terlihat menyapa. Nyata tapi tak tergenggam. Memeluk hangat tapi hanya ilusi. Jiwaku tak sabar tuk mengenalmu. Ragaku tak gentar tuk mendekatimu. Hanya hati yang masih saja malu tuk ungkapkan rindu. 

Ketika purnama membundar sempurna, diri ini bertanya sempurnakah aku tanpamu? Hai, pemilik lesung pipit.  Legakanlah dahaga ini. Kenyangkan dengan senyuman yang tak kunjung henti menghiasi setiap malam gelap tanpa bintang. Kutunggu kau dalam mimpi.

Malam itu aku tak dapat memejamkan mataku. Aku gelisah membayangkan bagaimana reaksinya ketika membaca tulisanku dan apa jawaban yang akan dia berikan nantinya. Dadaku bergemuruh tak aturan. Kubolak balik tubuhku di atas ranjang yang biasanya terasa nyaman untukku. Kucoba mengendalikan sikapku selama di kamar karena kamarku dihuni oleh delapan orang termasuk aku. Aku biasanya tenang belajar dan bahkan takkan terusik bila teman--temanku membuat kegaduhan. Saat ini aku tak ingin mereka tahu kalau aku sedang gundah, apalagi ini berkaitan dengan seorang perempuan.

Pagi kusambut dengan sukacita walau datangnya sangat lambat bagiku. Aku tak sabar untuk bertemu dengannya. Kicau burung menyapa pun semakin merdu di telingaku. Kutebarkan senyumku entah untuk alasan apa. Teman -- temanku sampai bingung dibuatnya. Mereka memegang dahiku untuk mengecek apakah aku sehat --sehat saja. 8 jam pelajaran mengalir tanpa sedikitpun kurasakan. Ketika bel panjang berdering, segera aku melesat meninggalkan kelas. Menunggunya di bawah pohon kresen sambil sesekali mengambil buah merah ranumnya untuk membunuh waktu.   

Detik demi detik berlalu. Nafas ini semakin memburu dan menyesakkan paru-paru. Kulihat kelebat bayangan membelok dari arah gerbang sekolah. Debaran jantung mulai tak bersahabat ingin melompat dari rongganya ketika senyumnya menyapa ruang hampa dada.

"Ini," katanya sambil menyodorkan buku batik ungu padaku. Lalu dia melanjutkan langkahnya sambil tak lupa membuang rambutnya yang hari ini tergerai tanpa cela sambil tersenyum malu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun