Dia mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mengingat tempat pertemuan  kami akan bertemu besok -- di bawah pohon kresen di samping sekolah - lalu dia melangkahkan kaki menuju asrama putri sambil mendekap buku batik ungu itu tanpa menoleh sedikitpun.
Aku merasa lega dan bahagia. Langkah pertama lancar dan semoga seterusnya. Kuberlari menuju kamarku di asrama putra dengan gembira sambil membayangkan pertemuan kami esok hari.
Di lembar pertama buku itu kutulis demikian :
Teruntuk pemilik lesung pipit pencuri hati
Ketika mentari bersinar di detik pertama pagi ini hanya bayangmu saja terlihat menyapa. Nyata tapi tak tergenggam. Memeluk hangat tapi hanya ilusi. Jiwaku tak sabar tuk mengenalmu. Ragaku tak gentar tuk mendekatimu. Hanya hati yang masih saja malu tuk ungkapkan rindu.Â
Ketika purnama membundar sempurna, diri ini bertanya sempurnakah aku tanpamu? Hai, pemilik lesung pipit. Â Legakanlah dahaga ini. Kenyangkan dengan senyuman yang tak kunjung henti menghiasi setiap malam gelap tanpa bintang. Kutunggu kau dalam mimpi.
Malam itu aku tak dapat memejamkan mataku. Aku gelisah membayangkan bagaimana reaksinya ketika membaca tulisanku dan apa jawaban yang akan dia berikan nantinya. Dadaku bergemuruh tak aturan. Kubolak balik tubuhku di atas ranjang yang biasanya terasa nyaman untukku. Kucoba mengendalikan sikapku selama di kamar karena kamarku dihuni oleh delapan orang termasuk aku. Aku biasanya tenang belajar dan bahkan takkan terusik bila teman--temanku membuat kegaduhan. Saat ini aku tak ingin mereka tahu kalau aku sedang gundah, apalagi ini berkaitan dengan seorang perempuan.
Pagi kusambut dengan sukacita walau datangnya sangat lambat bagiku. Aku tak sabar untuk bertemu dengannya. Kicau burung menyapa pun semakin merdu di telingaku. Kutebarkan senyumku entah untuk alasan apa. Teman -- temanku sampai bingung dibuatnya. Mereka memegang dahiku untuk mengecek apakah aku sehat --sehat saja. 8 jam pelajaran mengalir tanpa sedikitpun kurasakan. Ketika bel panjang berdering, segera aku melesat meninggalkan kelas. Menunggunya di bawah pohon kresen sambil sesekali mengambil buah merah ranumnya untuk membunuh waktu. Â Â
Detik demi detik berlalu. Nafas ini semakin memburu dan menyesakkan paru-paru. Kulihat kelebat bayangan membelok dari arah gerbang sekolah. Debaran jantung mulai tak bersahabat ingin melompat dari rongganya ketika senyumnya menyapa ruang hampa dada.
"Ini," katanya sambil menyodorkan buku batik ungu padaku. Lalu dia melanjutkan langkahnya sambil tak lupa membuang rambutnya yang hari ini tergerai tanpa cela sambil tersenyum malu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H