Mohon tunggu...
Frederik Sarira
Frederik Sarira Mohon Tunggu... Konsultan - Anak rantau

Lumayan suka menulis sebenarnya tapi masih berjuang mengalahkan rasa malas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Opini: Perempuan dan Kebijakan Pencegahan Ekstremisme

20 Februari 2021   13:36 Diperbarui: 20 Februari 2021   13:46 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu ancaman nyata sekaligus tantangan bagi keamanan global saat ini adalah pertumbuhan ekstremisme kekerasan. Beberapa tahun terakhir, aksi-aksi ekstrem yang berujung pada hilangnya nyawa manusia masih terjadi di sejumlah negara, tak terkecuali di Indonesia. 

Salah satu hal yang mengemuka dalam fenomena ekstremisme kekerasan dewasa ini adalah pelibatan perempuan (ibu dan anak) secara langsung dalam aksi sebagai pelaku bom bunuh diri. 

Pada tahun-tahun sebelumnya, dalam ekstremisme kekerasan posisi perempuan diibaratkan berada di belakang layar atau sekedar pendukung bagi pelaku laki-laki-mereka bukan pelaku langsung.

Tren keterlibatan perempuan dalam jaringan dan aksi ekstremisme kekerasan di Indonesia cukup dinamis, baik kuantitas maupun wujud keterlibatannya. Kini, perempuan kian menempati posisi sentral atau strategis dalam jaringan maupun saat pelaksanaan aksi. 

Misalnya pada tahun 2009, Putri Munawaroh, istri dari Agus Susilo Adib ditangkap karena ikut terlibat menyembunyikan Noordin M. Top. Pada tahun 2016, istri Santoso, Jumiatin alias Umi Delima dan 2 perempuan lainnya ikut bergerilya di pegunungan di Poso, Sulawesi Tengah. 

Akhir tahun 2016 Dian Yulia Novi ditangkap sebelum beraksi meledakkan 'Bom  Panci' di area Istana Negara. Pada bulan Mei 2018, rentetan aksi bom bunuh diri yang terjadi di beberapa titik di Surabaya dan Sidoarjo memberi bukti bahwa perempuan telah menjadi pelaku langsung[1].

Transformasi peran perempuan dan pelibatan anak perempuan menjadi pelaku langsung dalam insiden bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo tahun 2018 itu sudah seyogianya menjadi sinyalemen kuat bagi semua elemen bangsa bahwa kini ada ancaman nyata bagi perempuan, baik dewasa maupun anak. 

Hal ini sudah sewajarnya menggerakkan kita semua melakukan aksi-aksi mitigasi agar insiden serupa tahun 2018 itu tidak terjadi lagi.

 Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Contohnya bagi para pengambil kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah, khususnya daerah yang dikategorikan rentan terpapar ekstremisme kekerasan, seyogianya memformulasikan kebijakan yang berperspektif gender melalui sebuah regulasi. 

Bisa juga melalui inovasi program pemberdayaan yang menjadikan perempuan sebagai motor penggerak dan atau sasaran utama. 

Tanpa sebuah regulasi yang spesifik, program-program pencegahan ekstremisme kekerasan berperspektif gender hanya akan dilaksanakan sekali atau dua kali. Setelah itu sirna karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat (tidak berkelanjutan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun