Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Arloji

19 Oktober 2016   21:03 Diperbarui: 19 Oktober 2016   21:13 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jakarta, 2016

Entah sudah keberapa kalinya gadis itu mengosok-gosokan tangannya pada celemek yang melekat di tubuhnya. Kotor dan sangat berdebu, hanya itu yang bisa menggambarkan tempat ia berdiri sekarang. Demi mencari selembar kertas tugas yang hilang, ia rela menghirup udara yang penuh dengan debu di gudang itu.

Sekarang sudah hampir jam 2 siang, itu artinya gadis berusia 17 tahun itu sudah mencari kertas ‘berharga’ nya selama 3 jam. Apakah kertas tugas itu sangat berarti baginya?

Ya. Kertas itu teramat penting baginya karena itu merupakan kumpulan tanda tangan member SNSD yang ia dapatkan ketika acara fanmeeting di Jakarta seminggu yang lalu. Ibunya tidak sengaja memasukan kertas tersebut ke dalam kardus yang berisi kumpulan-kumpulan kertas dan buku yang tidak terpakai lagi.

Bahkan ia yang memiliki sedikit rasa acrophobia1dengan berani menghilangkan semua rasa takutnya itu dan mulai melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga. Ujung-ujung jarinya mencoba meraih bagian ujung tangga, sehingga ia dapat duduk di atasnya. Dan sekarang, setelah berusaha menghiraukan semua getaran yang ada pada tangan dan kakinya, ia berhasil duduk di atasnya.

Di bagian atas rak, ia dapat melihat 6 kardus besar yang sudah tersusun dengan rapi. Ibunya memang seorang yang sangat rapi, dan tidak tahan melihat benda-benda yang disusun secara asal atau berantakan.

 “Ah! Itu dia kardus yang kemarin! Daebak2!” Gadis itu dengan semangat menarik kardus yang ia cari-cari itu, namun semangatnya itu membuat ia tidak sadar bahwa kardus itu cukup besar dan berat untuk diangkat oleh dirinya yang cukup kecil dibandingkan dengan orang lain di usianya.

BRUK!

Untuk sesaat ia memejamkan matanya, namun rasa sakit yang ia bayangkan tidak muncul. Dengan perlahan ia mulai membuka kedua tangannya dan menatap ke bawah dengan hati-hati.

“Tiffany! Ada apa? Bunyi apa barusan?” ibunya berteriak dari dapur dan mulai melangkah kearah gudang.

 “Tidak ada apa-apa,Bu! Itu hanya kardus yang terjatuh!” Tiffany dengan perlahan turun dari tangganya dan membereskan isi kardus yang tersebar di lantai.

“Kau ini sangat tidak berhati-hati, bagaimana kalau..,” mendengar ibunya berbicara seperti itu Tiffany tersenyum dan dengan cepat langsung melanjutkan kata-kata ibunya, ”kau terjatuh dari tangga itu juga? Jangan khawatir,Bu, aku sudah besar, lanjutkan saja masakan ibu”

Ibu Tiffany hanya tersenyu m, lalu kembali ke dapur. Tiffany memasukkan kembali barang-barang di kardus tersebut, sambil mencari kertas ‘berharga’ nya itu. “Ah, ini dia!” ujarnya sambil memeluk kertasnya. Namun kini matanya menangkap benda berkilau yang berada di lantai.

Jam tangan?

1Acrophobia : phobia ketinggian

2Daebak : sebuah kata dalam Bahasa Korea yang menyatakan kekaguman

Biasanya Tiffany bukan orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, namun kali ini berbeda. Benda tua yang terlihat unik itu sangat memancing rasa ingin tahunya. Ia mengambil jam tangan itu dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

Setelah selesai memasukan isi kardus, Tiffany kembali menutup isi kardusnya. Nanti aku akan meminta ayah mengangkatnya kembali, batinnya.

Tiffany belum melangkahkan keluar dari kamar sejak ia menemukan jam tangan itu. Sesaat sebelum ia masuk ke kamar, ia pernah bertanya kepada ibunya tentang asal usul benda tersebut, katanya, “Itu jam tangan nenek mu, ia mendapatkannya dari…. Ah, ibu juga lupa , nenekmu pernah menceritakannya, namun ibu lupa siapa nama orang tersebut.”

Sayangnya, karena terjatuh tadi, ada bagian jam tangan yang retak serta jarum penunjuk detiknya terlepas, dan Tiffany sedang berusaha keras untuk memperbaikinya sekarang. Walaupun ia yakin jam tangan itu tidak akan 100% kembali utuh, namun setidaknya ia berusaha membuat jam tersebut ‘terlihat’ utuh dan berfungsi kembali.

Jam tersebut tidak hanya menunjukkan waktu, namun juga, lengkap dengan tanggal, bulan dan tahunnya. Seluruh pemutarnya masih berfungsi dengan baik. Menurut Tiffany, pada zaman neneknya masih hidup, jam tangan ini pasti memiliki harga jual yang mahal.

“Kata ibu, nenek hidup di zaman penjajahan. Bagaimana rasanya ya? Ah,entahlah” ucapnya sambil menerawang ke atas. Pandangannya beralih lagi pada jam tangan tua itu. Lalu, sebuah pertanyaan terbesit di pikirannya.

Tanggal berapa jam ini terakhir digunakan?

Biarkan sajalah. Ku atur asal saja.

Satu hal yang Tiffany sesalkan adalah, jika ia tahu pemutar jam tangan itu dapat membawanya menjelajahi dimensi waktu, ia tidak akan memutar nya sejauh itu. Ya, sejauh itu.

                                                                                               ***

Lebak,1850

Matahari bersinar dengan terang dan menyengat kulit setiap orang yang sedang berada di luar rumah. Beberapa buruh mengangkat karung-karung dan beberapa kali mengelap keringat di pelipis mereka.

“Angkat karung kopi itu, bodoh! Jika ada karung kopi yang terkoyak, semua kerugian akan ditanggung kalian semua! Ku ulangi! Semua kerugian ditanggung kalian semua!”

Seorang Belanda dengan kumis tebalnya sedang berteriak memerintah diantara para kaum pribumi. Ia tidak peduli jika posisinya itu menghalangi beberapa pekerja untuk mengangkat karung berisi biji kopi yang beratnya kira kira 30 kilogram.

Tiffany hanya melihat sekilas ke arah orang Belanda itu, lalu ia berjalan menelusuri area persawahan dan sedang berusaha untuk mengartikan semua hal ganjil yang terjadi padanya saat ini. Ia cukup pintar untuk mengetahui kenyataan bahwa ia terseret ke dalam masa lalu sejauh 166 tahun. Jam tangan yang ia putar tersebut masih ada dalam genggamannya. Tiffany yakin sekali, jika tanggal hari ini adalah tanggal yang ia putar pada jam tangannya.

Kukira hal seperti ini hanya akan terjadi di film-film saja, batinnya pada dirinya sendiri.

Ia melihat banyak sekali orang pribumi yang melakukan pekerjaan kasar. Ada yang membajak sawah, menggali tanah, ataupun mendorong kereta untuk seseorang yang berasal dari kerajaan. Selama ini, Tiffany hanya mengetahui kata ‘kerja rodi’ dari buku sekolahnya saja. Namun, saat ini, ia dapat melihat secara langsung bagaimana kerja rodi itu berlangsung. Rasa simpatinya muncul ketika ia melihat para kaum Belanda yang memerintah bangsa Indonesia dengan kasar.

“Serahkan kerbaunya!” sebuah teriakan membuat Tiffany mengalihkan pikirannya dan memfokuskan pandangannya pada sumber suara.

“Tapi ini kerbau saya satu-satunya, kalau tidak ada kerbau, bagaimana saya membajak sawah?” seorang pria dengan topi petani itu berlutut dan memohon pada orang yang memaksa mengambil kerbaunya , kira-kira usianya 60 tahun, badannya  terlihat sangat kurus.

“Saya tidak peduli! Serahkan kerbaunya atau anda mau saya tembak?” orang menarik pistol yang ada di saku celana kirinya. Dan dengan berat hari bapak petani itu menyerahkan tali kerbaunya. Tiffany melihat kejadian tersebut dengan wajah heran.

Bukankah yang menjajah Indonesia adalah Belanda? Tapi tadi yang merampas itu adalah orang pribumi juga, apa sebenarnya yang terjadi? Ini memusingkan!! Ibu!!! Aku ingin segera kembali ke masa ku!

Tiffany melihat jam tangan yang ada di genggamannya itu, dan mengutak-atiknya. “Kumohon, bekerjalah!” ucapnya sambil menutup mata dan menggenggam erat jam tangan itu. Namun tanggal 17 Oktober 2016 yang ia atur itu tidak pernah datang. Tiffany membuka matanya dengan perlahan, sorot matanya menunjukkan perasaan kecewa yang mendalam. Dengan perasaan kecewa nya itu, Tiffany melangkahkan kakinya di sekitar area sawah.

SRET

Seorang petani tua menabrak tubuh Tiffany, namun sepatah kata ‘maaf’ itu tidak diucapkan olehnya. “Kupikir orang zaman dulu adalah orang yang memiliki moral dan kesopanan” ucap Tiffany dengan sarkasme. Namun, kata-kata sarkasme nya itu tidak membuat petani tua berbalik. Tiffany akhirnya memustuskan untuk mengelilingi daerah itu tanpa arah dan tujuan yang pasti.

SRET

Dua orang dari arah yang berlawanan kembali menabrak Tiffany. Mengulang hal yang sama, kedua orang tersebut juga tidak mengucapkan permintaan maaf. Tiffany kesal, namun tiba-tiba sebuah pikiran konyol melintas di pikirannya.

“Jangan bilang jika aku…”

Aku transparan?

Tiffany melihat kedua tangan dan kakinya. Dengan perlahan ia menarik napas, dan membuangnya dalam satu hembusan panjang. “Ah, baiklah, aku harus tetap bersyukur dalam keadaan transparan ini” ucapnya sambil tersenyum kecil.

Tiffany meneruskan perjalanannya, dan berhenti ketika ia melihat sebuah sungai. Di sekitar sungai tersebut terdapat hutan kecil yang menarik perhatian Tiffany. Ia menyebrangi sungai tersebut dan masuk ke dalam hutan kecil itu.

Dari balik semak-semak di hutan kecil, ia samar-samar dapat melihat 3 orang dewasa sedang berbincang, awalnya perbincangan itu terkesan santai, namun ketika salah seorang wanita diantaranya angkat bicara, suasana di sekitarnya berubah tegang.

“Mana mungkin ia meninggal karena penyakit livernya? Tadi pagi ia masih berkuda! Masih berkuda! Aku melihatnya sendiri, ia meninggal karena diracun oleh bupati. Dan kau tahu? Bupati dengan jenderal gouverneurBelandaitu satu! Mereka kawan.”

Tiffany mencoba mendekat ke sumber suara dan dengan jelas melihat ketiga orang yang berkumpul itu. Dua diantara mereka adalah orang belanda, dan satunya orang Indonesia. Menurut Tiffany, kedua orang Belanda itu adalah pasangan suami isteri.

“Jadi maksud anda, jenderal gouverneur tahu jika Slotering, suami anda itu di racun?” kata pria Belanda itu, nadanya menunjukan amarah yang tertahan. “Begitulah” jawab perempuan Indonesia itu dengan sayu.

“Aku akan melaporkan hal ini! Slotering pasti sedang menelusuri kasus pemerasan dan korupsi di Lebak kan? Karena itu ia diracun,” ucap pria Belanda itu. “Para pribumi di Lebak tidak boleh lagi merasakan penderitaan dan perbudakan!” lanjutnya.

Tiffany memutuskan untuk mendekat pada tiga orang itu. Lagi pula aku ini kan transparan, siapa juga yang akan melihatku,batinnya. Beberapa saat setelah itu, percakapan diantara ketiganya usai, dan mereka kembali ke rumah masing-masing.

Tiffany mengikuti perempuan Indonesia yang tadi berbincang dengan kedua orang itu. Hingga sampai di rumahnya, perempuan ini berhenti di ambang pintu dan berbalik.

“Siapa kau?”

Tiffany tersentak dengan pertanyaan perempuan ini, lantas ia menoleh ke arah kanan dan kirinya untuk melihat jika ada orang lain di sekitarnya.

“Aku menanyakan mu ,gadis muda. Siapa kau?”  ucap perempuan Indonesia itu menatap tajam Tiffany.

Orang ini.. dia bisa melihatku?

“Ehm, saya Tiffany, saya adalah…… hmm bagaimana mengatakannya ya?” ujar Tiffany sambil menggaruk kepalanya dengan raut kebingungan.

Perempuan itu kembali menatap Tiffany, “Saya Mevrouw, saya lihat anda bukan orang jahat dan berbahaya, anda juga terlihat asing dan kebingungan, marilah masuk ke rumah saya”

Rumahnya dapat dikatakan bagus pada masa itu. Perabot kayunya membuat rumah itu terkesan berkelas dan sederhana secara bersamaan. “Kau sudah mendengarnya kan?” tanya Mevrouw tiba-tiba.

“Maaf?” tanya Tiffany kebingungan. “Di balik semak itu, aku tahu. Sekarang apakah kau bersedia membantuku?” tanya Mevrouw lagi. Ia mengajak Tiffany untuk duduk di sofa yang terletak di ruang tamu.

“Ah, maaf sebelumnya, karena saya telah mendengar percakapan anda dengan kedua suami isteri itu, katakanlah apa yang bisa saya bantu, jika itu masuk akal, saya akan mengabulkannya” ujar Tiffany dengan sungguh-sungguh.

“Sebenarnya saya tidak meminta bantuan besar, saya hanya ingin menanyakan sesuatu. Kau tahu ketidak adilan yang dialami pribumi di sini kan? Apakah mereka sudah merdeka?” tanya Mevrouw penasaran.

“Eh? Mereka? Ah, iya. Mereka sudah merdeka. Mereka disebut bangsa Indonesia sekarang” jawab Tiffany sedikit heran. Apakah ia juga tahu jika aku berasal dari masa depan?

Mevrouw tersenyum senang mendengar jawaban tersebut. Setetes air mata mulai membasahi pipinya, ia berkata,” Slotering pasti senang mendengarnya, ia sangat membela kaum pribumi. Satu hal lagi, apakah kau bisa membuat jenderal gouverneur dan bupati Lebak dipecat? Mereka adalah orang yang berhati kejam.”

“Eh?” permintaan Mevrouw selanjutnya membuat Tiffany mengerutkan alisnya. Lalu dengan hati-hati Tiffany kembali melanjutkan kata-katanya,” Saya rasa anda tentu tahu sekarang siapa saya dan dari mana saya berasal, namun maaf sekali permintaan anda harus saya tolak, karena permintaan anda akan merubah atau bahkan menghancurkan masa depan.”

Tidak ada kekesalan yang terpancar dari wajah Mevrouw, ia hanya tersenyum menanggapi ucapan Tiffany. “Kau sungguh gadis muda yang bijak, maafkan permintaan saya yang terkesan anak-anak ini. Ehm, bolehkah saya melihat arloji itu?”tanya Mevrouw.

Tiffany kemudian melepas jam tangan itu dari genggamannya dan menyerahkannya pada Mevrouw. Perempuan itu mengamati jam tangan tersebut dan berdiri dari tempat duduknya. “Kurasa tidak butuh waktu lama untuk memperbaiki jam tangan ini, paling lambat mungkin esok hari. Bermalamlah di sini,” ujar Mevrouw. Walaupun semua sikap dan percakapannya dengan Mevrouw menimbulkan banyak tanda tanya, Tiffany tetap memutuskan untuk bermalam di rumahnya selama sehari.

Esok paginya, Tiffany terbangun karena ada bunyi keributan di luar. Dengan tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya dan berjalan ke depan rumah. Ia sangat terkejut ketika melihat Mevrouw dengan anak-anaknya dibawa dengan paksa oleh beberapa orang Belanda dan kerajaan.

“Ibu Mevrouw!” teriak Tiffany dengan tercekat. Hatinya menjadi pilu ketika ia melihat Mevrouw ditarik paksa oleh salah satu orang Belanda itu. Semua orang disekeliling Tiffany tidak menoleh padanya, karena mereka tidak dapat melihat sedikit pun sosok Tiffany.

Mevrouw menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Ia memaparkan senyumnya ke arah Tiffany. Mevrouw berbisik kepada orang yang menariknya secara paksa, dan dengan setengah berlari ia mengampiri Tiffany.

“Kau tahu? Mungkin mereka semua akan menganggapku gila karena berbicara seorang diri seperti ini. Namun karena alasannya adalah dirimu, maka itu tidak masalah bagiku. Arlojimu sudah kuperbaiki, kau bisa kembali ke asalmu sekarang,” ucap Mevrouw sambil memeluk Tiffany.

Tiffany membalas pelukannya dan tak terasa, ia mulai menitikkan air matanya. “Mengapa? Mengapa kau dibawa oleh orang-orang itu? Mengapa hanya kau yang bisa melihatku?” Tiffany melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya.

“Mereka sudah mengetahui jika aku tahu tentang kasus pemerasan dan korupsi yang dilakukan di Lebak ini, mereka akan mengasingkanku bersama dengan Tuan Havelaar juga, pria Belanda itu juga mengetahui kasus ini” ucap Mewrouw.

“Baiklah! Kita mundurkan saja waktunya! Sebelum mereka dapat mengasingkanmu dan dengan perlahan membunuhmu!” ujar Tiffany dengan sedikit amarah.

“Kau tahu kan, hal yang kau lakukan itu bisa mengubah masa depan? Sekarang kembalilah ke asalmu, dan jika kau ingin tahu mengapa hanya aku yang dapat melihatmu, jawabannya akan muncul setelah kau tiba. Sampai jumpa di lain waktu, Tiffany” ujar Mewrouw, kemudian ia berbalik dan berjalan menuju beberapa orang Belanda dan kerajaan yang telah menunggunya.

Jakarta,2016

Tiffany terbangun dan melihat sekelilingnya. Matanya masih sembab dan juga tangannya masih menggengam erat jam tangan itu. Jam menunjukkan pukul 14.30, itu artinya waktu hanya berjalan 30 menit selama ia menjelajahi masa lalu. Kata-kata Mevrouw masih terbayang dalam benaknya.

dan jika kau ingin tahu mengapa hanya aku yang dapat melihatmu, jawabannya akan muncul setelah kau tiba

Sekarang ia sudah sampai di zamannya dan masih belum mendapatkan petunjuk sedikitpun. Tiffany kembali memandang jam tangannya, seakan teringat sesuatu, ia berlari keluar dan mencari ibunya.

“Ibu! Lihat jam tangan ini!” ucap Tiffany dengan bersemangat pada ibunya. Ibunya mengambil jam tangan itu dan mengamati goresan nama yang tertera di jam tersebut. “Me-bro-w Slof-dering?” tanya ibunya kebingungan. Namun kemudian, raut wajah ibu Tiffany berubah seperti mengingat sesuatu yang penting.

“Astaga! Bagaimana mungkin ibu melupakan nama ini! Slotering adalah marga kakek buyutmu Frederickson Slotering! Sayangnya, keturunan selanjutnya memutuskan untuk tidak membawa marga Belanda lagi. Me-bro-w? Mebrouw? Ibu rasa namanya Mevrouw. Nenekmu mendapatkan jam ini darinya, Mevrouw Slotering. Dia adalah nenek buyut dari nenekmu. Akhirnya ibu bisa mengingatnya” ucap ibunya sambil tertawa kecil.

Sekarang, Tiffany tersenyum puas, karena semua pertanyaan di kepalanya dapat terjawab dengan jelas. Di dalam hatinya, ia ingin menjadi Mevrouw, seorang wanita yang kuat, tabah dan  memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun