Jam 11 Siang biasanya kami bertemu di depan gerbang sekolah. Dengan sepeda motor honda nya, dia sudah menunggu, larian kecilku yang tak sabar untuk bertemu.
“Ayah…” kata yang pertama keluar dari mulut ku. Tergesa naik ke sepeda motor dan memeluknya. Kami pulang.
Tak banyak kata yang terucap dari nya, lemparan senyum, dan usapan di atas kepalaku itulah yang setiap hari ia lakukan di jam pertemuan kami.
Tetapi, waktu itu lah yang selalu ku nantikan, jam pertemuan tanpa janji itu.
Selama diperjalanan pulang, biasanya aku bercerita tentang jam istirahat yang telah ku selama di sekolah, aku bermain dengan si ini, si itu, kelerengku banyak, dan aku tak ada PR.
Ayah tak banyak meresponnya, kebanyakan diam namun memperhatikan, sambil sesekali menanyakan pelajaran hari itu.
Sesampai dirumah, Ibu lah yang akan sibuk, mengambil tasku, dan seruan untuk segera rapih-rapih.
Ayah tak banyak komentar, seakan tugasnya sudah selesai, namun masih saja aku bercerita tentang hari itu dengan dia, sambil berlarian kesana kemari.
Tak lelahnya aku. Seakan tak mau siangku berlalu, karena biasanya sore hari Ayah akan keluar dengan urusannya. Ku ingat, masa itu, hari-hari berlalu di jam pertemuan yang tak dijanjikan itu.
Hujan turun lagi dengan intensitas yang lebih, ku minum kopi ku yang masih hangat. Nostalgia tadi menyeret kerinduan ku pada Ayah.
Sosok Ayah memiliki tempat sendiri dalam diri ini. Jam pertemuan kami adalah waktu yang ku nantikan.