Mohon tunggu...
Freddy
Freddy Mohon Tunggu... Konsultan - Sales - Marketing - Operation

To complete tasks and working target perfectly. Leave path in a trail.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Celebrity Worship Syndrome Dunia Politik: Mimpi Memimpin Sang Pemimpin Idola

13 November 2023   13:41 Diperbarui: 14 November 2023   19:17 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/DIDIE SW)

Psychology Today : Celebrity Worship Syndrome adalah gangguan obsesif - adiktif seseorang yang menjadi terlalu tertarik, terlibat dan terobsesi dengan kehidupan pribadi dan kehidupan profesional seorang selebriti  

Pagi ini saya menerima telepon dari seorang sahabat. "Bang, kami kecewa dengan Pak Prabowo memilih Gibran sebagai cawapres. Namun kami juga tidak mau memilih capres lain. Jadi kami bersama teman-teman disini sepakat kami akan golput saja," ujar sahabat saya dengan suara emosi. 

Jujur saya terkejut mendengar perkataan sahabat saya ini, karena setahu saya ia adalah penggemar fanatik dari Prabowo. Semenjak 2009, 2014 hingga 2019 ia tidak pernah absen dalam menyuarakan kehebatan dari seorang Prabowo. Mengapa ia tiba-tiba berubah?

Kejadian ini membuat saya jadi teringat dengan tweet beberapa orang yang menyatakan dirinya dahulu pendukung berat Jokowi namun kini berbalik menyerang Jokowi secara memabi buta, akibat keputusan Jokowi yang berbeda dengan harapan mereka. 

Ternyata kekecewaan ini tidak hanya terjadi pada sebagian pendukung garis keras Prabowo yang memilih berpasangan dengan Gibran dalam Pilpres kali ni, demikian juga pada sebagian pendukung garis keras Jokowi hanya karena Jokowi mengijinkan Gibran maju Pilpres berpasangan dengan Prabowo. 


Padahal kita semua tahu bahwa seorang anak yang sudah berumah tangga, tidak lagi membutuhkan persetujuan orang tua dalam semua keputusannya. Karena sejak ia menikah, ia lah yang menjadi penanggung jawab atas segala keputusan hidupnya sendiri. 

Dua kejadian ini juga memperlihatkan bahwa banyak dari kita yang (sengaja) lupa bahwa di dalam politik itu TIDAK ADA MUSUH ABADI DAN KAWAN ABADI, KECUALI KEPENTINGAN ABADI. 

Segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Demikian juga kita tidak boleh berlebihan mengidolakan atau mencintai seseorang. karena banyak terjadi, di saat kita terlalu mengidola atau mencintai seseorang secara berlebihan, kita menjadi ingin menguasai dan mengatur segala tindak tanduknya. 

Dan di saat tindak tanduk, keputusan idola tidak sesuai dengan keinginan kita, kita kecewa. Reaksi kekecewaan beragam tergantung dari kedewasaan seseorang, mulai dari level mengumpat, merusak hingga membahayakan jiwa orang yang menjadi idola kita. 

Sumber foto: Kompas.com
Sumber foto: Kompas.com

Dalam dunia artis, kita membaca berita bagaimana seorang fans berat yang sampai hati mengancam membunuh idolanya hanya karena idolanya menikah dengan A, bukan B. 

Atau karena idolanya tidak memilih menikahi dirinya. Atau karena idola nya tidak mengambil suatu peran dalam sebuah film. Atau apa saja. Pernahkah Anda mendengar kisah penyanyi jebolan The Voice, Christina Grimmie? 

Tanggal 10 Juni 2016, Christina Grimmie meninggal ditembak oleh Kevin James Loibl, pria yang menjadi penggemar berat Christina Grimmie. 

Motifnya? Karena Kevin James Loibl tidak ingin ada orang lain yang mendapatkan hati Christina Grimmie. Karena Kevin James merasa dia tidak mungkin bisa mendapatkan hati Christina Grimmie, maka lebih baik Christina Grimmie dibunuh daripada Christina Grimmie menikah dengan orang lain. Kejadian Christina Grimmie bukanlah satu-satunya. Rapper Amerika Tupac Shakur, Striker Kamerun Albert Ebosse, Penyanyi John Lennon, mereka semua dibunuh bukan oleh musuh mereka, melainkan oleh penggemarnya sendiri.

Psychology Today melihat kecenderungan ini dan menamainya sebagai Celebrity Worship Syndrome (CWS). 

CWS dimaknai sebagai gangguan obsesif dan adiktif seseorang yang menjadi terlalu tertarik, terlibat dan terobsesi tidak hanya pada kehidupan pribadi namun juga kehidupan profesional idolanya. 

Memang selama ini kejadian CWS lebih banyak kita temui dalam kehidupan artis. Namun bukannya tidak akan terjadi dalam dunia politik. Saya belum pernah menemukan seorang penggemar politikus yang membunuh idolanya. 

Lebih banyak berita pembunuhan tokoh politik yang dilakukan oleh musuh politiknya. Namun tidak berarti bahwa selama belum dibunuh oleh fansnya maka CWS itu tidak ada dalam dunia politik. 

Tindakan obsesif yang dihasilkan seorang penggemar tidak melulu soal tindakan kriminal seperti pembunuhan, namun juga dengan hujatan-hujatan yang ditujukan untuk menyerang politikus idolanya. Tingkatannya memang berbeda, namun CWS itu ada di dalam dunia politik.

Yang membedakan hanyalah output dari seorang pengidap sindrom CWS di dunia artis dengan dunia politik. 

Seorang artis bisa dibunuh oleh penggemarnya sendiri, sedangkan seorang tokoh politik umumnya dibunuh oleh musuhnya. 

Namun baik seorang artis maupun seorang tokoh politik, sama sama menghadapi potensi dihujat oleh dua pihak, pembenci dan pengagum nya sendiri. Sekali lagi, walaupun output dari CWS nya berbeda, tidak berarti bahwa tidak ada sindrom CWS dari seorang penggemar di dunia politik. 

DS, seorang penggiat medsos di Twitter yang dulu menyatakan dirinya seorang pendukung berat Jokowi, selalu tampil membela semua keputusan Jokowi (selama Jokowi dianggap "mewakili" pemikiran dirinya yang dulu). Namun di saat Jokowi mengambil keputusan yang berbeda dengan pemikiran dirinya, seketika ia menjadi pembenci Jokowi. 

Apapun yang dilakukan Jokowi sekarang menjadi negatif di matanya. Demikian juga sahabat saya yang saya ceritakan di awal tulisan ini. 

Dari seorang pengagum berat Pak Prabowo, selalu hadir membela semua keputusan Pak Prabowo, mendadak membenci Pak Prabowo karena keputusan politik Pak Prabowo dalam memilih cawapres tidak sesuai dengan pilihannya. 

"Harusnya Pak Prabowo memilih E, bukan malah si anak kecil G," tegas sahabat saya. Baik DS maupun sahabat saya, jelas mereka berada dalam kondisi sindrom CWS.

Sekali lagi, mengidolakan seseorang itu bisa baik juga bisa berakibat buruk. Disebut baik bilamana idola tersebut kita jadikan sebagai panutan dalam hidup kita. Perjuangannya dalam meraih keberhasilan, sifat-sifat kebaikan dan kebajikan yang tercermin dalam diri idola kita bisa kita bawa ke dalam hidup kita sebagai contoh yg baik. 

Namun mengidolakan seseorang juga bisa berujung buruk, bilamana kita terlalu larut sampai pada tahap berpikiran bahwa kehidupan profesional idola merupakan cerminan harapan kehidupan profesional kita, dan apa yang menjadi pemikiran kita juga seharusnya menjadi pemikiran idola kita. 

Saya banyak melihat bahwa hampir semua kasus dimana seorang pengagum yang awalnya selalu membela idolanya tiba-tiba berubah menjadi pembenci idola disebabkan karena perbedaan keputusan yang diambil idola dengan keputusan pengagumnya. 

Tepatnya, sindrom CWS yang dialami sang pengagum sampai pada tahap bahwa idolanya harus mengikuti apa pemikiran dari penggemar. Pokoknya Prabowo harus gini dan gitu. Pokoknya Jokowi harus gini dan gitu. Pokoknya harus sama dengan apa pemikiran kita. 

Padahal kita belum tentu paham bagaimana pemikirannya, perjalanan hidup, tekanan, permasalahan yang dialami idola kita sehari-hari. Tiap hari hanya duduk di meja kerja dalam rumah sibuk dengan kegiatan mengetik naskah film, lalu mendengar gosip yang belum tentu benar mengenai sang idola, lalu dengan begitu mudahnya menghujat sang idola karena keputusan politiknya berbeda dengan keputusan yang kita mau. 

Saya jadi inget pesan kakek saya, "Jangan engkau menilai (menghakimi) orang lain hingga engkau menggunakan sepatu yang sama dengan yang ia pakai.

Ada obatnya gak kalau sudah sampai pada tahap sindrom CWS? 

Tidak mudah mengobati seseorang yang sudah mencapai tahap sindrom CWS. Sebaiknya kita bisa menangkal sindrom CWS dari awal dengan cara jangan pernah mengagumi seseorang secara berlebihan. Untuk itu kita butuh kedewasaan dalam berpikir. 

Kedewasaan dalam berpikir memisahkan aspek kehidupan kita dengan kehidupan sang idola kita. Bahwa Kita bukan dia, dan dia bukan Kita. 

Kedewasaan dalam berpikir akan membawa kita pada pemahaman bahwa kita harus melapangkan hati kita dipimpin oleh sang pemimpin idola kita, bukannya bermimpi kita lah yang memimpin sang pemimpin idola dengan mengendalikan semua keputusan sang idola. 

Kita harus paham dan sadari dimana posisi kita dan dimana posisi idola kita. Jangan seperti komentator sepak bola yang begitu mudah mengomentari kegagalan seorang pemain sepakbola, tanpa memahami gejolak, keletihan yang dialami pemain bola tersebut. Tapi sudah pasti, sang komentator belum tentu bisa bermain sebaik komentarnya saat ia terlibat aktif menjadi pemain. 

Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk orang yang kita idolakan dan diri kita sendiri. Tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua orang, betapa pun baiknya orang yang membuat keputusan tersebut. 

Demikian juga, tidak ada orang yang disukai semua orang betapa pun baiknya orang tersebut. Ini kenyataan hidup yang sering kita abaikan, karena kita memaksakan keterbatasan pemahaman kita ke dalam hidup orang lain, termasuk hidup idola kita. 

Kita pikir Prabowo kehilangan arah sehingga terpaksa menerima Gibran, padahal keputusan itu dihasilkan melalui diskusi yang panjang, penghitungan yang matang dari Prabowo bersama-sama dengan koalisinya untuk memenangkan Pilpres 2024. 

Kita pikir Gibran hanya lah seorang anak muda biasa yang membonceng popularitas ayahnya, tanpa kita mau mengamati apa yang sudah berhasil dicapai seorang Gibran, anak muda yg sukses dalam bisnis dan setelah masuk dunia pemerintahan menjadi Walikota Solo juga memberikan kontribusi nyata terhadap warga dan pembangunan di Kota Solo? 

Kita berpikir bahwa seorang Hakim MK telah bertindak sembrono penuh KKN melalui keputusannya mengijinkan batas usia capres-cawapres minimal 35 tahun demi melancarkan jalan keponakannya, tanpa mau melihat fakta bahwa sekarang ini di dunia sudah banyak sekali anak-anak muda yang tampil berprestasi baik di jalur bisnis maupun di jalur pemerintahan. Termasuk juga anak-anak muda di Indonesia. 

Kita berpikir bahwa dengan mengijinkan batas minimal capres-cawapres ke usia 35 tahun, hukum telah dikangkangi oleh kepentingan dinasti politik tanpa mau melihat bahwa sebelum itu hukum yang sama juga telah menurunkan standar pendidikan minimal seorang capres-cawapres dari sarjana S1 menjadi SMA. 

Dan setelah standar pendidikan diturunkan dalam persyaratan capres-cawapres, apakah kemudian negara kita menjadi ambruk? Tidak kan? Kita berpikir bahwa dunia ini tidak adil bagi hidup kita, padahal kita lah yang tidak pintar bersyukur. 

Bilamana kita dalam posisi dipimpin dan mengidolakan seorang pemimpin, ambil semua contoh kebaikan dan bawa ke dalam hidup kita. Sebaliknya, ambil hikmah atas keburukan pemimpin idola kita, kritik lah ia, namun bukan serta merta menghujat bahkan menyebar fitnah dan hoax. 

Percaya sepenuhnya bahwa apapun keputusan yang diambil oleh pemimpin idola kita merupakan keputusan terbaik yang diambil setelah menimbang segala aspek positif maupun negatif atas keputusan tersebut. 

Perbanyak membaca berita-berita pengetahuan umum untuk menambah wawasan dan kedewasaan kita dalam berpikir. Perluas pergaulan. Jangan terjebak atau membiarkan diri kita menjadi korban sindrom CWS.

Salam,

Freddy Kwan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun