Mohon tunggu...
Freddy
Freddy Mohon Tunggu... Konsultan - Sales - Marketing - Operation

To complete tasks and working target perfectly. Leave path in a trail.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kita Memang Pembeli yang Emosional, Covid-19 Membuat Kita Semakin Irasional

2 April 2020   22:23 Diperbarui: 29 Juli 2021   18:36 3900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, kita memang konsumen yang emosional.

Gambar oleh Gordon Johnson dari Pixabay
Gambar oleh Gordon Johnson dari Pixabay
Beberapa bulan belakangan ini kita dibuat khawatir dengan masuknya Pandemi Covid-19 ke Wilayah Indonesia yang telah banyak menelan korban jiwa. 

Jumlah Orang Dalam Pengawasan yang diduga tertular Covid-19 juga semakin meningkat dari waktu ke waktu, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia. Dan kondisi Pandemi Covid-19 yang terjadi akhir-akhir ini tidak serta merta mengubah pandangan dan perilaku kita dalam melakukan pembelian. 

Maksud saya, kalau kita pikir dengan adanya Pandemi Covid-19, seharus bisa mengubah kita semua menjadi berpikir lebih rasional saat berbelanja, tapi kenyataannya tidak. Malah Pandemi Covid-19 membuat kita semua makin emosional, makin tidak rasional dalam berbelanja. 

Panic buying adalah salah satu contohnya. Saat itu bahkan tidak ada tanda-tanda dari pemerintah untuk melakukan total lockdown yang melarang warganya keluar rumah sama sekali. Pemerintah hanya menyarankan upaya social distancing, menjaga jarak fisik sesama warga. Artinya kapan mau pergi berbelanja juga masih diperbolehkan. 

Namun nyatanya, sejak 2 minggu lalu, supermarket dipenuhi dengan kosnumen yang berbelanja melebihi jumlah belanja rutin bulanannya. Biasa beli beras 10 kg, tiba-tiba di keranjang belanjaan berisi 3 karung beras seberat total 30 kg. Seolah-olah mulai keesok harinya tidak ada lagi supermarket yang buka hingga 3 bulan ke depan.

Teman saya kebetulan bukan hanya mengamati, melainkan juga merasakan dampak semakin tidak rasionalnya (emosional) kita dalam perilaku membeli.

Walaupun frekuensinya sudah jauh berkurang di banding bulan-bulan sebelumnya, terkadang teman saya harus masih melakukan aktivitas di luar rumah. Oleh sebab itu, teman saya berpikir lebih baik saya sekaligus yang berbelanja kebutuhan rumah di saat sedang diluar, daripada orang tua keluar rumah dalam kondisi Pandemi Covid-19. Namun akhir-akhir ini saya banyak mendapat "titipan" belanja dari orang tua saya yang tidak biasanya. 

Dua minggu lalu teman saya diminta mencari jahe merah, kunyit dan kayu manis. Kemudian jamu temu lawak. Lalu buah pisang. Dan kemarin teman saya dimintai untuk membeli vitamin E. Semua permintaan yang diterima ini adalah informasi yang diterimanya dari media sosial yang katanya ampuh melawan Covid-19.

Hari ini teman saya kembali menyempatkan diri berbelanja kebutuhan rumah bulanan yang memang sudah habis. Pemutih pakaian Merk B***n kosong. Kosongnya pemutih pakaian dan antiseptik mandi bisa dipahami. Tapi titipan wajib belanja jahe merah, kunyit, kayu manis, vitamin E dan pisang?. 

Jahe apalagi jahe merah jelas sudah sulit ditemui sekarang ini. Padahal belum ada pengujian di lab yang menyatakan bahwa bahan-bahan tersebut ampuh mematikan virus Covid-19. Tapi karena informasi ini diperoleh dari banyak orang, kita sebagai konsumen menjadi semakin mudah menyakini bahwa informasi tersebut adalah benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun