Mohon tunggu...
Freddy
Freddy Mohon Tunggu... Konsultan - Sales - Marketing - Operation

To complete tasks and working target perfectly. Leave path in a trail.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kita Memang Pembeli yang Emosional, Covid-19 Membuat Kita Semakin Irasional

2 April 2020   22:23 Diperbarui: 29 Juli 2021   18:36 3900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan tempat atau secangkir minuman yang kita beli, melainkan suasana dan kembali lagi gengsi yang ingin kita tunjukkan. Jadi memang pada dasarnya kita semua ini adalah pembeli emosional. 

Saya ingin mengajak kita untuk flashback suatu kejadian beberapa tahun lalu. Ingatkah sekitar Tahun 2015, masyarakat Indonesia mengalami demam batu akik? 

Puncaknya di Tahun 2015, batu akik melesat menjadi barang berharga yang sepertinya wajib dimiliki walaupun saat itu harganya mencapai puluhan hingga ratusan juta Rupiah (sementara jauh hari sebelum booming, mungkin batu akik tersebut hanya berharga ratusan ribu Rupiah). 

Banyak yang mendadak menjadi kaya dari bisnis batu akik. Mengutip berita di Detik.com Tanggal 26 Sept 2016, di masa jayanya pedagang di Rawa Bening JGC (Jatinegara Gems Centre) banyak yang mendadak kaya dan membeli motor, mobil hingga rumah. Pendapatan bersih sehari pedagang disana bisa mencapai Rp 1,5 juta per hari. 

Padahal kalau kita pikir-pikir, batu akik itu tidak termasuk dalam bagian batu permata yang diperdagangkan internasional sebagaimana Zamrud, Ruby, Safir dan Berlian. 

Batu permata diperoleh dengan cara ditambang, digali dari perut bumi. Sementara batu akik relatif mudah ditemukan karena berada di permukaan. Tapi logika seperti ini tidak akan menjadi pertimbangan orang-orang saat dilanda demam batu akik. 

Demam batu akik memang akhirnya hanya bertahan sekitar 1 tahun di Tahun 2015. Memasuki Tahun 2016, pamor batu akik meredup. Tapi kejadian di Tahun 2015 tersebut kembali membuktikan bahwa kita memang bukan pembeli rasional. Kita pembeli emosional dan tidak rasional. Kalau rasional, siapa yang mau membeli dan menyimpan batu akik yang jelas-jelas bernilai kecil (tidak bernilai) di dunia internasional?

Karena tidak rasionalnya perilaku konsumen ini lah, produsen ramai-ramai mencari formula ajaib dalam promosinya untuk menggelitik emosi konsumen guna membeli produknya. 

Produsen rokok yang termasuk pintar memainkan formula ajaib ini. Merokok jelas merusak kesehatan. Bahkan saya mendapat informasi bahwa pemilik salah satu merk rokok ternama Indonesia melarang keluarganya, anak cucunya untuk merokok, karena tahu bahaya rokok bagi kesehatan. Tapi produsen rokok begitu pintar meramu promosinya dengan memainkan emosi konsumennya bahwa perokok itu identik dengan pria tulen dan macho. 

Bahkan kini merokok diramu menjadi identitas pria sukses dalam karir dan bisnisnya. Dan walaupun di kemasan rokok sudah terpampang bahaya dari merokok berikut dgn ilustrasinya, namun konsumen perokok belum berkurang jumlahnya secara signifikan. 

Dari data cnbcindonesia.com Tanggal 27 Agustus 2019, Industri rokok di Tahun 2019 memang turun 8,6%. Tapi dua produsen rokok nasional di saat itu justru meningkat kinerjanya sebesar 14,78% dan 4,94%. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun