I and my companions suffer from a disease of the heart which can be cured only with gold : Hernando Cortez
Artikel mengenai ini pernah saya tulis dan upload di akun Linkedin saya di Tahun 2017. Saya daur ulang artikel tersebut kembali karena menurut saya menarik untuk kita ketahui.
Sekitar awal Tahun 2017 saya mendapat telepon dari salah satu mantan tim saya di perusahaan lama.Â
Ybs mengabarkan kalau pemimpin baru yang baru menduduki posisi tinggi di sana selama 2 bulan dan langsung memutuskan untuk melakukan perampingan besar-besaran karena kinerja perusahaan saat itu jatuh serta membutuhkan waktu untuk bangkit kembali.Â
Ybs kemudian meminta saya membantu mencarikan pekerjaan baru baginya.
Memang kalau dipikir-pikir, saat seorang pemimpin baru memasuki suatu perusahaan dalam kondisi yang kurang baik, bottom line merah, melakukan perampingan adalah salah satu pilihan yang paling banyak dilakukan.Â
Karena paling mudah. Padahal di saat melakukan perampingan, sering kali perusahaan juga harus mengalami "pendarahan" yang lebih dalam mengingat kewajiban pesangon yang dibayarkan perusahaan di saat keuangan juga dlm kondisi tdk sehat.Â
Tapi sebenarnya pilihan perampingan harusnya menjadi opsi terakhir, bukan opsi pertama.Â
Harusnya ada pilihan lain yang wajib dilakukan terlebih dahulu, yaitu: melakukan evaluasi Strategi Pemasaran, memperbaiki strategi yang salah, serta bahu membahu bekerja keras dengan seluruh tim meningkatkan kinerjanya. Â Langsung menjalankan opsi perampingan dari awal menurut saya juga mengandung potensi bahaya.
Pertanyaan selanjutnya: Apakah memang masih memungkinkan bagi tim di perusahaan tersebut melakukan perbaikan? Apakah masih ada waktu?Â
Selalu ada waktu dan jalan bagi yang mau berusaha. Dan saya memilih melakukan langkah pembenahan total terlebih dahulu sebelum melakukan perampingan. "Wah makin rugi dong perusahaan, sudah rugi masih saja menahan opsi perampingan?".Â
Belum tentu. Saya memilih berbicara dengan seluruh karyawan: Yang masih mau berjuang bersama membangun kinerja yang terpuruk, ayo kita kerja bersama dan kerja keras. Kita tetapkan waktu 3 bulan.Â
Bilamana berhasil, seluruh karyawan di "kapal" ini selamat, atau minimal sebagian besar selamat. Tapi kalau tidak berhasil, terpaksa kita lakukan opsi perampingan, namun dengan kesepakatan uang pesangon yang telah "disesuaikan".Â
Apabila seluruh karyawan setuju penyesuaian uang pesangon dan memilih berusaha memperbaiki bersama, saya akan ajak berjuang bersama terlebih dahulu.
Mengapa saya tidak serta merta angkat handuk dan menyarankan perampingan?Â
Yang jadi pertimbangan saya adalah semangat dan mental juara seluruh karyawan tersisa yang turut padam begitu kita serta merta lakukan perampingan.Â
Begitu kita melakukan perampingan, kita telah re-set cara berpikir semua orang tersisa yang ada di perusahaan : bahwa kinerja dan omzet yang lebih rendah utk menutup biaya operasional yang sdh dikecilkan adalah standar baru bagi perusahaan tersebut.Â
Dulu seluruh karyawan berjuang di angka kinerja penjualan A Rupiah. Begitu dilakukan perampingan, keluar biaya operasional baru yg lebih rendah, keluar target penjualan yg telah disesuaikan yaitu A Minus Rupiah, maka itu menjadi angka baru keramat yang diterima untuk dikejar seluruh tim.Â
Kita telah melakukan Down Grade kemampuan kita dan perusahaan. Kita mengajak karyawan tersisa untuk berpikir bahwa kinerja angka besar yang dulu dicapai itu mulai sekarang tinggal kenangan, realistis sekarang adalah angka jauh di bawah angka dahulu. Itu yang ingin saya hindari. Saya tidak ingin tim dan karyawan menurunkan semangat dan standar kerjanya.Â
Memang dengan langsung memilih opsi perampingan, dengan kinerja yang lebih rendah dari dulu, kita bisa melihat bottom line segera sehat kembali. Tapi ngomong-ngomong, bottom line mengalami laba Rp 100.000 juga sudah membuat buku menjadi biru.Â
Tapi apa gunanya kalau di saat yang bersamaan, kita juga telah melakukan down grade diri dan kemampuan kita sendiri?
Saya ingin mengajak kita melihat dari sudut pandang semangat juang dan mental juara.
Pernahkah anda membaca cerita perang jaman dulu : Strategi Membakar Kapal?Â
Tahun 1519, seorang ekspedisi berkebangsaan spanyol: Hernando Cortez berhasil menaklukkan Mexico dengan memimpin pasukan dalam jumlah yang kecil.
Saat itu Hernando Cortez pertama kali mendarat di tepi Kota Veracruz, Cortez tidak langsung bergerak, melainkan mengumpulkan informasi hal ihwal Mexico.
Ia selanjutnya mengetahui bahwa orang orang Aztec yang memerintah di Mexico memiliki ibu kota yang besar di pedalaman. Namun sebagian besar prajurit Cortez dicekam rasa takut karena tidak mengenal wilayah Mexico serta ketika mengetahui besarnya jumlah pasukan lawan yang harus dihadapi.Â
Melihat gelagat moral yang tidak menguntungkan tersebut, Hernando Cortez membakar seluruh kapalnya, sehingga semua prajuritnya hanya memiliki pilihan mati atau meriah kejayaan.Â
Perlu dicatat bahwa sebelumnya Spanyol telah dua kali mengirimkan tim ekspedisi ke Mexico, namun tidak ada satupun yang berhasil menetap dan melakukan penaklukan permanen.
Hernando Cortez berhasil memenangkan perang yang nampaknya mustahil karena mampu membuat prajuritnya berpikir bahwa tidak ada kata menyerah dan pulang ke rumah.Â
Mereka tidak bisa pulang ke rumah, karena kapalnya sudah dibakar! Mereka hanya memiliki sisa 1 kata di dalam hati dan menjadi tekad mereka: Menang. Bahwa mereka harus bisa memenangkan perang agar tetap bisa hidup dan meraih kejayaan. Dengan kata lain, Cortez menanamkan mental pemenang ke dalam jiwa prajuritnya.
Saya melihat kesamaan pilihan berusaha dahulu dengan strategi membakar kapal ini. Dengan tidak langsung melakukan pengurangan karyawan besar besaran, kita secara tidak langsung menyatakan kpd seluruh karyawan bahwa perusahaan bisa selamat apabila kinerja penjualan kembali meningkat.
Tidak ada pilihan bagi diri anda maupun bagi seluruh karyawan untuk mundur dengan menerima penurunan omzet di saat ini sebagai standar baru. Dan yang paling utama, kita tidak memadamkan api semangat dan mental pemenang karyawan yang ingin mengembalikan kejayaan perusahaan.Â
Namun apapun pilihan kita, tidak ada pilihan paling benar atau paling salah. Semua harus dianalisa, evaluasi, sesuai dengan kondisi makro dan mikro masing-masing perusahaan. Hanya saja, bagi saya pribadi, sangat penting untuk menjaga api semangat dan mental pemenang kalau ingin perusahaan meraih kejayaan.
Terakhir, saya ingin berbagi cerita mengenai salah satu pengusaha sukses di Indonesia yang tidak langsung memilih jalan keluar perampingan karyawan di saat perusahaannya menghadapi krisis:
Presiden Direktur Wacoal Indonesia, Bp. Suryadi Sasmita membuktikan bahwa melakukan langkah pengurangan karyawan secara besar besaran bukan satu satunya jalan keluar di saat perusahaan sedang mengalami penurunan kinerja maupun krisis.Â
Di Tahun 1998 saat krisis ekonomi melanda Indonesia, berbeda dengan perusahaan lain pada umumnya segera melakukan perampingan karyawan, Bp. Suryadi Sasmita lebih memilih untuk tidak menerima gaji dan berusaha untuk tidak melakukan pemecatan kpd karyawannya seorang pun.Â
Perusahaan memang mengalami kesulitan keuangan karena hasil produksi terus menerus menumpuk di gudang. Namun karena kebaikan hatinya yang selalu memikirkan orang lain, dalam situasi ini akhirnya Wacoal Indonesia justru mendapat lonjakan permintaan ekspor di saat kurs Dollar tinggi dan akhirnya malah berhasil memberikan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaannya.Â
Bayangkan kalau dari awal sudah melakukan pemecatan, mantan karyawan juga sudah pasti mencari pekerjaan lain, pulang kampung dll. Lalu di saat Wacoal menerima lonjakan permintaan ekspor, tentu kemampuan perusahaan memenuhi order akan menurun dan menjadi tidak optimal.
Salam,
Freddy Kwan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H