Quality is the degree of excellence at an acceptable price and the control of variability At an acceptable cost - Robert A.B
Kalau misalnya kita memiliki kemampuan untuk menghasilkan suatu produk dan ingin menjualnya, kira kira berapa harga yang harus kita jual? Â Menentukan harga jual bukan hal mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Mengapa? Karena kalau harga jual kita kemahalan, produk yang kita hasilkan tidak laku dibeli konsumen.Â
Kalau harga jual kita kemurahan, untung tipis, membuat bisnis tersebut menjadi tidak menarik untuk dijalankan. Dan harga murah belum tentu membuat produk kita otomatis laris di pasar.
Khusus mengenai strategi harga murah belum tentu membuat produk kita serta merta laris. Ada segmen konsumen tertentu yang justru diberikan penawaran harga lebih murah malah tidak jadi membeli.Â
Juga asumsi yang melekat di kebanyakan dari kita : kalau harga lebih murah, pasti ada kualitas yang dikorbankan. Memang ada yang bisa menjual di harga lebih murah dengan kualitas sama dengan kompetitor. Tapi tidak banyak. Butuh keunggulan dalam tehnologi atau jumlah pemesanan untuk menurunkan tingkat harga jual.
Dari pengalaman saya, ada 2 (dua) pendekatan dalam menentukan harga suatu produk yang akan dijual ke pasar:
- Pendekatan Biaya
- Pendekatan Pasar
Dalam Pendekatan Biaya, kita memulai dari menghitung berapa COGS produk yang akan kita jual, kemudian ditambahkan beban operasional, promosi dan keuntungan yang diharapkan. Setelah itu mungkin baru dilakukan penyesuaian dengan mempertimbangkan harga kompetitor di pasar.
Sementara dalam Pendekatan Pasar, kita memulainya dengan menentukan segmen pasar mana yang akan direbut, kemudian melihat harga kompetitor dahulu, baru turun ke hitungan biaya produksi, operasional, promosi dll.
Dan biasanya penentuan harga jual juga sangat memperhatikan target segmentasi yang dituju, baik pertimbangan tingkah laku konsumen, maupun image merk yang akan dibangun. Juga perbedaannya adalah cara berpikir dalam menyusun harga di pendekatan biaya dengan pendekatan pasar.
Kalau kita menggunakan pendekatan biaya, jikalau COGS kita jauh dibawah harga kompetitor, setelah ditambah margin, kita menjual dibawah harga kompetitor. Kalau COGS kita lebih mahal, maka kita (terpaksa) jual diatas harga kompetitor. Jadi, penentuan jual harga berapa tergantung dari COGS.
Bisa dijual dengan harga yang sama dengan kompetitor (atau hanya sedikit dibawahnya), kelebihan diatas margin dikembalikan kepada konsumen dlm bentuk gimmick atau trade promo.
Dan kalau COGS ternyata di atas harga kompetitor, maka penjualan produk ditunda, dilakukan rekayasa produksi dan kalkulasi keuangan ulang untuk dapat menjual di harga yg maksimal sama dengan kompetitor. Jadi, penentuan harga jual tergantung dari kondisi pasar (harga kompetitor).
Dari pengalaman saya bekerja selama ini, mayoritas perusahaan menggunakan pendekatan biaya daripada pendekatan pasar. Saya bisa menyimpulkan hal ini karena beberapa kali saya pernah mengamati perusahaan yang menghasilkan produk bagus (namun bukan market leader) dan menjual produknya jauh di bawah harga kompetitor.
Perusahaan tersebut berharap, dengan margin usaha yang sudah cukup, menjual harga jauh dibawah kompetitor, maka otomatis konsumen kompetitor berpindah. Nyata nya tidak. Harga murah tidak serta merta membuat produknya laris di pasar. Bahkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan bertarung promosi.
Saya tidak pernah suka menjual produk dengan harga murah. Bukan karena saya rakus menginginkan keuntungan sebesar besarnya. Karena kenyataannya, dengan harga jual murah (margin secukupnya), apabila volume penjualan tidak besar, akhirnya perusahaan kehabisan nafas dalam menjaga keberlangsungan hidup produknya.
Harga jual murah berarti anggaran promosi juga kecil. Dan anggaran promosi kecil, dengan volume yg kecil, sangat rentan dijatuhkan kompetitor yg memiliki anggaran raksasa.
Untuk melawan kompetitor yang sudah terlebih dahulu merajai pasar, butuh budget promosi yang kuat. Anggaran yang kuat tidak harus selalu sama besarnya dengan kompetitor. Namun pastinya kalau kita menjual dgn harga murah, anggaran nya pun semakin kecil.
Dalam benak saya, mengapa harus menjual dgn harga murah dengan mengorbankan margin dan anggaran, kalau bisa dijual lebih tinggi untuk memperkuat anggaran promosi?Â
Setelah saya pikirkan, ya karena metode dan berpikirnya. Dengan menggunakan pendekatan biaya, maka kita sdh cukup puas asalkan bisa mendapat margin yang cukup. Kita lupa ada peluang anggaran promosi yang lebih baik serta potensi paar yang bisa kita raih dengan harga yang lebih baik / lebih tinggi (tetap dibawah harga kompetitor).
Saya punya pengalaman tersendiri dalam menentukan harga jual. Bukan pengalaman yang membuat saya untung, namun hal ini menjadi pengalaman berharga bagi saya kelak setelah melalui pengalaman ini.
Bersama-sama beberapa teman sekelas, serta dukungan dari salah satu orang tua teman SMA yang memiliki usaha konveksi, saya memberanikan diri membuat usaha busana sendiri.Â
Saat itu di Tahun 1988- 1990an memang sedang laris manis bisnis busana, terutama busana casual seperti T-Shirt, maupun kaos oblong. Di jaman tersebut merk-merk terkenal yg menjadi referensi anak muda adalah: Hammer, Osella, County Fiesta, dan beberapa merk lain.
Garment memang merupakan bisnis favorit di saat itu. Oleh sebab itu saya ikut tergiur menjadi seorang entrepreneur muda di bisnis garment. Kelihatannya tidak susah. Saya memulainya dari nol besar. Dibimbing orang tua teman SMA pemilik konveksi, saya diarahkan ke tanah abang memilih bahan kaos yang mau saya gunakan.Â
Saya putuskan untuk memproduksi kaos oblong, karena keterbatasan modal. Namun saya ingin produk saya dikenal sebagai produk berkualitas baik dan bagus. Saya putuskan kaos oblong saya menggunakan motif bordir di bagian dada depan sebelah kiri. Untuk motif bordir, saya mencari motif2 logo klub olah raga hingga ke toko-toko buku. Dapat.
Setelah kain di beli dan dikirim ke alamat konveksi orang tua teman, setelah dipotong, harus dibordir logo dulu sebelum dijahit. Saya diberikan alamat tempat bordir langganan.
Ok, saya meluncur ke sana. Ternyata tidak bisa jalankan bordir kalau tdk ada pita motif bordir (jaman dulu belum digital spt skrg). Saya diarahkan ke jalan sabang untuk membuat pita bordir sesuai motif yang ingin saya buat.
Saya jalan ke sana, dapat dan jadi. Pita motif boirdir diantar, kain tiba, langsung dibordir. Setelah selesai bordir, kirim kembali ke konveksi, 2 (dua) minggu kemudian selesai sudah produk saya. Sudah dikemas rapi dengan plastik. Siap dipasarkan.
Berapa harga jualnya? Karena masih awam, saya pakai pendekatan biaya. Beli kain sekian, bordir sekian, label merk sekian, konveksi sekian, dibagi jumlah hasil jadi produk.. Wiihh ternyata murah yah. Ok karena masih baru, saya gak mau ambil untung banyak-banyak. COGS + margin 30% saja kalau saya gak salah ingat.
Emang dasar teman-teman SMA lain tipe investor tulen. Saya juga yang harus memikirkan jual kemana. Saya berkeliling dari mulai jual perorangan ke teman teman serta keluarga.
Hingga saya coba masuk toko. Saya jalan ke Plaza Indonesia, menemukan satu toko dan barang-barang yg dijual nampaknya sesuai dengan target pembeli, dan terpenting di toko tersebut juga menjual busana casual kaos. Tidak disangka, produk saya diterima masuk di toko tersebut.Â
Saya masih ingat namanya : Familia Young Studio. Harga jual kaos saya murah banget. Kalau gak salah kaos casual lain dijual diatas Rp 100.000, kaos saya dengan bahan kualitas bagus: cotton double nit (bagian luar dan dalam sama sama halus kalau dipegang), pakai bordir bukan sablon, motifnya logo klub olahraga terkenal luar negeri pula, dan yang paling istimewa: harga lebih murah. Kalau saya tidak salah ingat sekitar Rp 70.000. Sistem konsinyasi gak apa-apa, toh saya yakin produk saya pasti bakalan laris manis.
Sebulan kemudian saya berkunjung kembali ke familia Young Studio di Plaza Indonesia. Hasilnya? Tidak ada satupun yg terjual... Walaupun kaos saya dibuat dari bahan kaos yg bermutu, punya bordiran logo klub olahraga ternama, dijahit di konveksi yang juga langganan merk ternama, kemudian harga jual jauh lebih murah dari kompetitor. Kurang apalagi coba? Tapi kenyataannya tidak laku. Kalah bukan dengan produk sejenis yg lebih murah, tapi dengan produk sejenis yang lebih mahal.
Pengalaman lain saya adalah saat bergabung di sebuah perusahaan lubrikan nasional ternama, di Bulan September 2013, saya berkesempatan melakukan revisi harga jual karena depresiasi Rupiah terhadap USD yg saat itu melemah banyak.
Setelah BOD mengeluarkan angka kenaikan untuk penyesuaian rate USD terkini, yaitu kenaikan Rp 1.000/ kaleng oli SAE 10W-40; saya langsung mengajukan kenaikan harga luar biasa, yaitu Rp 11.000/ kaleng (oli mobil).
Pertimbangan saya adalah kondisi pasar. Saat itu kami menyakini produk kami lebih baik di pasar karena kandungan base oil nya adalah campuran Oli Sintetik (oli Group 3) dengan Oli mineral (oli Grup 2).
Sementara di pasar, merk2 internasional yang kuat masih menggunakan oli mineral (oil group 2). Dan selesih harga produk kami dengan kompetitor merk internasional adalah Rp 13.000.
Kami punya merk bagus, produk bagus, namun dari harga jualnya mencerminkan kelas produknya jauh dibawah merk internasional. Image konsumen pengguna oli SAE 10W-40 yg notabene mobilnya bukan mobil lawas, kelas menengah, akan melihat kualitas produk kami dibawah merk internasional dari segi harga jual.
Oleh sebab itu saya mengusulkan kenaikan harga hingga Rp 11.000 khusus untuk item tersebut (SAE 10W-40). Usulan saya ditentang BOD, karena dalam sejarahnya tidak pernah menaikkan harga setinggi itu.
Biasanya hanya naik Rp 500 - Rp 1.000 / kaleng (botol). Tapi saya ingin mengkerek image produk ini, dan saya mengusulkan agar kenaikan 11 ribu rupiah tersebut tidak langsung semua dikantongi perusahaan, karena pasti akan menimbulkan gejolak di tingkat penjual dan bengkel.Â
Saya mengusulkan perusahaan mengantongi Rp 4.000 (sudah jauh diatas rencana kenaikan Rp 1,000), sementara Rp 7.000 saya gunakan untuk trade promo dengan membuat Paket Penjualan berdurasi 6 bulan. Kemudian selanjutnya 6 bulan berikutnya saya berencana membuat Paket Penjualan kembali namun dengan anggaran cukup Rp 4.000.
Akhirnya rencana saya didukung owner dan BOD. kami siapkan hadiah2 sesuai Paket Penjualan dengan berbagai pilihan paket dan hadiah. Setelah matang, seminggu kemudian kami luncurkan di level distributor untuk diteruskan ke penjual dan bengkel.
Awalnya ada penolakan, tapi setelah dijelaskan keuntungan hadiah yg diperoleh, hampir semua bengkel mobil dan grosiran oli mobil yg akhirnya mengambil paket penjualan tersebut. Bisa dibilang program tersebut sukses walaupun ada kenaikan harga yang tinggi.
Harga memang jadi naik tinggi, tapi manfaatnya dirasakan juga oleh pemilik bengkel dan toko2 oli. Dan kenaikan harga ini membawa dampak positif bagi perusahaan. Setelah saya mengundurkan diri, saya mendapat info bahwa item oli tersebut menjadi kontributor terbesar bagi keuntungan perusahaan.Â
Dari kedua pengalaman tersebut, ternyata menjual dengan harga lebih murah utk kasus di kaos oblong saya, tidak serta merta membuat produk saya laris dijual di toko di dalam mall kelas atas. Dan demikian juga kenaikan harga yang tinggi dalam kasus produk oli, tidak serta merta membuat produk tersebut ditinggalkan konsumen. Malah program paket penjualannya bisa dikatakan berhasil karena banyaknya peminat yang mengambil paket tersebut.
Menentukan harga jual memang tidak mudah. Sekali lagi murah tidak selalu berarti produknya pasti laris manis. Tapi pada akhirnya saya harus ingatkan kembali bahwa harga bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan penjualan. Masih ada 3 P yang lain : produk, promosi dan distribusi (place).
Salam,
Freddy KwanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H