Mohon tunggu...
Fredick Ginting
Fredick Ginting Mohon Tunggu... Freelance -

Belajar ilmu politik dari Harold Laswell sampai Samuel Huntington, belajar demokrasi dari Thomas Jefferson sampai Ernesto Laclau. Menonton karya David Fincher sampai Martin Scorsese, mengagumi Charlize Theron sampai Jennifer Lawrence.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Remaja yang Mengubah Brazil

11 Februari 2017   10:20 Diperbarui: 14 Februari 2017   00:58 2730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Passion dan bakat Pelé kemudian menarik perhatian Waldemar de Brito, pemandu bakat salah satu klub di Brazil yang kemudian banyak melahirkan pemain hebat, Santos. Di usianya yang baru 15, ia kemudian berangkat menuju Stadion Vila Belmiro (kandang Santos) untuk menjalani seleksi. Tapi Pelatih Santos memandang gaya bermain Pelé kampungan dan primitif.

Pelatih Santos mencoba memasukkan gaya bermain Eropa yang mengandalkan strategi dan disiplin untuk bermain. Kekompakan dan kerja sama antar pemain diutamakan. Gaya bermain yang merupakan antitesis dari Ginga ini nyaris membuat Pelé putus asa. Untung ada De Brito yang menyuntikkan motivasi bagi Pelé untuk bertahan.

Pelé berkeras memperagakan Ginga dalam permainannya. Karena hanya dengan itu ia merasa nyaman dan kemampuan terbaiknya bisa keluar. Pelatih pada akhirnya juga melunak setelah Ginga ternyata berhasil. ‘Lakukan lagi,” ucap sang pelatih setelah Pelé berhasil menjaringkan gol pertamanya melalui Ginga. Pelé sukses menembus tim inti di Santos dan selanjutnya menjadi top skor di klub ini.

Pelatih tim nasional Brazil Vicente Feola lantas memanggil Pelé menjadi salah satu pemain yang mengisi skuadnya untuk Piala Dunia 1958 di Swedia. Namanya menjadi buah bibir saat itu. Ia baru berusia 17 tahun dan baru 18 bulan bermain untuk Santos, klub profesional pertamanya.

Di Swedia, Feola baru memainkan Pelé di perempat final untuk menggantikan Mazzola yang cedera. Feola yang memberi kebebasan untuk pemainnya memberi kesempatan Pelé dkk mengeluarkan Ginga-nya dan berhasil membawa Brazil menang 5-2 di semifinal dan final. Total 5 gol diciptakan pemain termuda dalam sejarah Piala Dunia tersebut. Pelé berhasil menaklukkan nama besar pemain lain yang lebih top dan terkenal saat itu seperti Just Fontaine atau Nils Liedholm.

Sejak itu, Brazil menjelma menjadi negara paling disegani dalam sepak bola dunia sekaligus negara tempat lahirnya bintang-bintang sepak bola dunia. Setelah 1958, Pelé memberi dua gelar piala dunia lagi pada 1962 di Chili dan 1970 di Meksiko. Pelé satu-satunya pemain dalam sejarah yang pernah mengangkat trofi ini sebanyak 3 kali. Rekor yang tampaknya mustahil dipecahkan, bahkan oleh Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, atau nanti Karamoko Dembele sekalipun, apalagi Nicklas Bendtner dan Rickie Lambert.

Keberanian Pelé yang nekat memainkan Ginga-lah yang menyadarkan Brazil bahwa mereka harus bermain dengan identitasnya. Sejarah mungkin akan berbeda bila Feola berkeras meminta Garrincha dkk ketika itu bermain dengan berbagai pola dan strategi ala Eropa yang begitu rumit bagi para pemain-pemain Brazil.

Ginga yang kemudian juga disebut Joga Bonito tetap menjadi pondasi permainan legenda-legenda Brazil berikutnya, seperti Zico, Bebeto, Romario, Rivaldo, hingga Ronaldinho. Mereka dan sederet pemain lainnya dikenal sebagai Brazilian yang punya skill individu di atas rata-rata. Sehingga ketika bermain di atas lapangan, permainan yang disajikan begitu indah. Oleh Brazil, sepak bola dikembangkan tak sekedar sebagai olah raga, tapi juga seni, ada estetika di dalamnya.

***

Meski kini sepak bola sudah berubah dan modern, terutama dengan berkembangnya sport science, Ginga tetap relevan. Mayoritas orang pasti sepakat, di atas kemenangan sebuah pertandingan, ada keindahan yang jauh lebih enak untuk dinikmati. Dan Brazil ada jaminan untuk keindahan tersebut.

Film ini sendiri dirilis di tengah kondisi sepak bola Brazil yang tengah menukik. Kekalahan telak 1-7 dari Jerman pada semifinal Piala Dunia 2014 silam jadi puncak kegagalan ini. Kekalahan yang juga terjadi di Brazil itu seakan mengulang ‘tragedi’ Maracana 1950 itu. Generasi Brazil dianggap sedang seret. Pulasta Dhar menyebut film ini bukan sekedar cerita tentang legenda sepak bola, tapi soal ‘jiwa Brazil yang hilang’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun