Mohon tunggu...
Fredick Ginting
Fredick Ginting Mohon Tunggu... Freelance -

Belajar ilmu politik dari Harold Laswell sampai Samuel Huntington, belajar demokrasi dari Thomas Jefferson sampai Ernesto Laclau. Menonton karya David Fincher sampai Martin Scorsese, mengagumi Charlize Theron sampai Jennifer Lawrence.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Remaja yang Mengubah Brazil

11 Februari 2017   10:20 Diperbarui: 14 Februari 2017   00:58 2730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama besar Brazil dalam sepak bola bermula dari gelar juara Piala Dunia 1958. Melalui Ginga, remaja bernama Pelé menyajikan kepada dunia sebuah ‘sepak bola indah’ yang hinga kini dikenal sebagai identitas sepak bola Brazil.

16 Juni 1950, sekitar 200 ribu penonton memadati stadion baru bernama Maracana, Rio de Janeiro. Hari itu, tuan rumah Brazil bertemu tetangganya Uruguay di final Piala Dunia. Brazil yang mengejar trofi Jules Rimet (sebutan trofi Piala Dunia dulu) pertamanya justru takluk karena kebobolan di menit akhir. Kekalahan yang menyebabkan rakyat Brazil menangis. Terlebih kekalahan itu terjadi di rumah sendiri.

Kesedihan menjalar ke seluruh pelosok negeri. Termasuk ke sebuah desa bernama Bauru, 600 kilometer dari Maracana. Penduduk Bauru yang mendengarkan siaran langsung lewat radio mendadak lemas, senyap, dan tak bersemangat. Mereka kecewa. Diantaranya Dondinho. Putranya, Edson do Nascimento Arantes, yang dipanggil Dico dan baru berusia 9 tahun coba menenangkan, “Aku akan memenangkan Piala Dunia untuk Brazil. Janji.”

Itulah Brazil. Sepak bola begitu disukai. Seorang legenda menyebut sepak bola menjadi ‘agama’ di sana. Jalanan, gang-gang kecil, pemukiman kerap dijadikan tempat bermain karena keterbatasan lapangan. Tapi yang dimainkan bukan sembarang sepak bola. Yang lahir dari jalanan itu adalah permainan sepak bola yang indah dengan skill individu sebagai pondasinya. Permainan indah ini disebut ‘Ginga’.

Pada abad 16, Portugis datang menjajah Brazil dengan membawa orang-orang Afrika untuk dijadikan budak. Beberapa budak tersebut memberontak dan melarikan diri ke hutan. Untuk menjaga diri, mereka mengembangkan sebuah seni bela diri dengan ciri khasnya mengandalkan kelincahan dan kelenturan otot tubuh. Seni ini kemudian dikenal dengan nama Capoeira.

Ketika kolonialisme di Brazil berakhir, Capoeira dilarang. Untuk menyalurkan keinginan berlatih Capoeira, akhirnya sepak bola dijadikan sebagai alternatif. Tradisi ini terus berkembang secara turun temurun dan kemudian menjadi identitas bagi Brazil. Sayangnya, Ginga belum bisa memberi prestasi bagi Brazil. Kekalahan di Piala Dunia 1950 kemudian gagal lagi di Piala Dunia 1954 membuat dunia memandang remeh dan kecil terhadap Ginga-nya Brazil.

Hingga akhirnya remaja 17 tahun bernama Dico, yang kemudian dikenal sebagai Pelé berhasil mengejutkan dunia. Ia tunaikan janji pada ayahnya. Aksi olah bola secara individu ala Ginga ia kenalkan bersama senior-seniornya, Garrincha, Vava, Zito, Didi, dll, di Piala Dunia 1958 Swedia. Brazil yang tidak masuk hitungan untuk juara justru memberi decak kagum dunia. Permainan indah mereka mendapat apresiasi dari raja Swedia kala itu, Gustav VI, yang ikut menyaksikan final di Stadion Rasunda meski negaranya gagal menciptakan sejarah.

Dalam sebuah wawancara dengan Jack Holmes di esquire.comPele menyebut ada orang yang mengajarkannya bahwa Brazil harus punya kultur sepak bolanya sendiri. Tidak perlu mengikuti Eropa yang cenderung keras dan fisikal. “Kami ingin menari. Kami ingin Ginga. Sepak bola bukan perkelahian. Kamu harus memainkannya dengan indah,” ujarnya.

Tidak mudah

Perjuangan Pelé tidak mudah. Proses yang ia hadapi menuju 1958 itu sangat terjal. Ibunya, Celeste, melarang bermain sepak bola yang sangat digemari Pelé kecil. Celeste mendidik anaknya untuk giat bersekolah dan melupakan mimpi menjadi pesepak bola. Tapi yang namanya anak-anak pasti selalu mencari cara menyalurkan kesenangannya. Diam-diam ia tetap bermain bersama teman-temannya.

Pelé sempat terpukul begitu keras dan sangat menyesal tatkala sahabatnya, Thiago meninggal. Hal itu membuatnya berniat untuk melupakan sepak bola. Tapi Dondinho, yang mengerti tentang hasrat dan bakat anaknya, mengajak Pelé kembali memperagakan Ginga menggunakan mangga dan jeruk.

Passion dan bakat Pelé kemudian menarik perhatian Waldemar de Brito, pemandu bakat salah satu klub di Brazil yang kemudian banyak melahirkan pemain hebat, Santos. Di usianya yang baru 15, ia kemudian berangkat menuju Stadion Vila Belmiro (kandang Santos) untuk menjalani seleksi. Tapi Pelatih Santos memandang gaya bermain Pelé kampungan dan primitif.

Pelatih Santos mencoba memasukkan gaya bermain Eropa yang mengandalkan strategi dan disiplin untuk bermain. Kekompakan dan kerja sama antar pemain diutamakan. Gaya bermain yang merupakan antitesis dari Ginga ini nyaris membuat Pelé putus asa. Untung ada De Brito yang menyuntikkan motivasi bagi Pelé untuk bertahan.

Pelé berkeras memperagakan Ginga dalam permainannya. Karena hanya dengan itu ia merasa nyaman dan kemampuan terbaiknya bisa keluar. Pelatih pada akhirnya juga melunak setelah Ginga ternyata berhasil. ‘Lakukan lagi,” ucap sang pelatih setelah Pelé berhasil menjaringkan gol pertamanya melalui Ginga. Pelé sukses menembus tim inti di Santos dan selanjutnya menjadi top skor di klub ini.

Pelatih tim nasional Brazil Vicente Feola lantas memanggil Pelé menjadi salah satu pemain yang mengisi skuadnya untuk Piala Dunia 1958 di Swedia. Namanya menjadi buah bibir saat itu. Ia baru berusia 17 tahun dan baru 18 bulan bermain untuk Santos, klub profesional pertamanya.

Di Swedia, Feola baru memainkan Pelé di perempat final untuk menggantikan Mazzola yang cedera. Feola yang memberi kebebasan untuk pemainnya memberi kesempatan Pelé dkk mengeluarkan Ginga-nya dan berhasil membawa Brazil menang 5-2 di semifinal dan final. Total 5 gol diciptakan pemain termuda dalam sejarah Piala Dunia tersebut. Pelé berhasil menaklukkan nama besar pemain lain yang lebih top dan terkenal saat itu seperti Just Fontaine atau Nils Liedholm.

Sejak itu, Brazil menjelma menjadi negara paling disegani dalam sepak bola dunia sekaligus negara tempat lahirnya bintang-bintang sepak bola dunia. Setelah 1958, Pelé memberi dua gelar piala dunia lagi pada 1962 di Chili dan 1970 di Meksiko. Pelé satu-satunya pemain dalam sejarah yang pernah mengangkat trofi ini sebanyak 3 kali. Rekor yang tampaknya mustahil dipecahkan, bahkan oleh Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, atau nanti Karamoko Dembele sekalipun, apalagi Nicklas Bendtner dan Rickie Lambert.

Keberanian Pelé yang nekat memainkan Ginga-lah yang menyadarkan Brazil bahwa mereka harus bermain dengan identitasnya. Sejarah mungkin akan berbeda bila Feola berkeras meminta Garrincha dkk ketika itu bermain dengan berbagai pola dan strategi ala Eropa yang begitu rumit bagi para pemain-pemain Brazil.

Ginga yang kemudian juga disebut Joga Bonito tetap menjadi pondasi permainan legenda-legenda Brazil berikutnya, seperti Zico, Bebeto, Romario, Rivaldo, hingga Ronaldinho. Mereka dan sederet pemain lainnya dikenal sebagai Brazilian yang punya skill individu di atas rata-rata. Sehingga ketika bermain di atas lapangan, permainan yang disajikan begitu indah. Oleh Brazil, sepak bola dikembangkan tak sekedar sebagai olah raga, tapi juga seni, ada estetika di dalamnya.

***

Meski kini sepak bola sudah berubah dan modern, terutama dengan berkembangnya sport science, Ginga tetap relevan. Mayoritas orang pasti sepakat, di atas kemenangan sebuah pertandingan, ada keindahan yang jauh lebih enak untuk dinikmati. Dan Brazil ada jaminan untuk keindahan tersebut.

Film ini sendiri dirilis di tengah kondisi sepak bola Brazil yang tengah menukik. Kekalahan telak 1-7 dari Jerman pada semifinal Piala Dunia 2014 silam jadi puncak kegagalan ini. Kekalahan yang juga terjadi di Brazil itu seakan mengulang ‘tragedi’ Maracana 1950 itu. Generasi Brazil dianggap sedang seret. Pulasta Dhar menyebut film ini bukan sekedar cerita tentang legenda sepak bola, tapi soal ‘jiwa Brazil yang hilang’.

Maka, film garapan Zimbalist bersaudara ini boleh dibilang hadir pada momentum yang pas. Ketika banyak pesepak bola Brazil gagal meneruskan ciri dan identitas khasnya, film ini hadir untuk mengingatkan kembali pada generasi-generasi masa depan Brazil bahwa negara kopi ini punya identitas yang pernah membawanya berjaya di panggung dunia.

Pasca film ini dirilis Mei 2016 lalu sebenarnya prestasi sepak bola Brazil kembali merangkak naik. Entah kebetulan atau ada kaitannya. Nyatanya pelatih saat ini Tite mulai menghadirkan kembali identitas ‘permainan indah’ Brazil. Teranyar Brazil sukses menggulung Argentina dan Messi-nya dengan skor 3-0 pada kualifikasi Piala Dunia 2018 lalu.

Neymar Jr adalah simbol generasi baru Brazil yang mewakili Ginga saat ini, sekaligus adalah calon legenda berikutnya. Di usia baru 24 tahun ia sudah punya catatan 50 gol, terpaut 27 gol top skor Brazil sepanjang masa yang tak lain dan tak bukan adalah Pelé. Di sekeliling Neymar Jr, ada Willian, Coutinho, dan Douglas Costa yang juga ber-skill apik. Di belakangnya sudah menunggu generasi berikutnya: Gabriel Jesus, Gabigol, Thiago Maia, Luan, dll.

Mereka meneruskan estafet dari Bebeto, Romario, Rivaldo, hingga Ronaldinho sebagai pelestari warisan yang ditinggalkan oleh sang legenda: Pelé.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
  • Judul: Pelé: Birth of A Legend
  • Sutradara: Jeff Zimbalist dan Michael Zimbalist
  • Naskah: Jeff Zimbalist dan Michael Zimbalist
  • Pemain: Kevin de Paula, Seu Jorge, Mariana Nunes
  • Rilis: 5 Mei 2016
  • Durasi: 107 menit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun