Awan gelap turun dari puncak bukit menyelimuti kampung itu. Nyanyian burung malam mencericit dari dahan-dahan albesia. Beberapa warga berdiam di perapian, mengusir hawa dingin sembari meneguk tuak, ikan lawar dan ubi bakar. Lalu tawa memecah kesunyian. Demikianlah warga kampung merayakan malam di setiap musim panen tiba.
Tidak demikian tujuh pemuda kampung itu. Dibawah pimpinan Lipus, mereka rapat di sebuah rumah di ujung kampung.
“Pada mulanya gereja datang membawa kitab suci dan masyarakat lokal memiliki tanah. Beberapa tahun sesudah misi penginjilan, masyarakat lokal memiliki kitab suci sedangkan gereja memiliki tanah”, kata Lipus kepada teman-temannya. Bukan tanpa alasan Lipus diangkat sebagai ketua, dia satu-satunya pemuda kampung yang mengenyam ilmu di perguruan tinggi.
Semua membisu, mangguk-mangguk kagum atas ucapan Lipus.
“Sejak kecil kita menyaksikan betapa luasnya lahan perkebunan gereja. Kita harus tahu sejarahnya bagaimana perjanjian awal antara gereja dan para tetua adat!” Lipus meyakinkan para pemuda.
****
Lipus dan para pemuda gelisah. Kampung itu sudah tidak memadai menampung jumlah warga yang terus bertambah. Keluarga-keluarga baru terpaksa membangun rumah di pinggir kampung, di tanah yang miring, rawan longsor dan banjir.
Enam bulan sebelumnya, Lipus dan para pemuda mengadakan rapat dengan tetua kampung. Mereka menuntut kebenaran sejarah tanah gereja. Lipus mendengar desas desus, kalau tanah perkebunan gereja itu dulu adalah tanah adat, tanah milik suku. Entah bagaimana prosesnya, tanah itu jadi milik gereja. Hanya ada narasi tunggal yang diwarisi turun-temurun dari tetua kampung bahwa tanah gereja itu tanahNya Tuhan. “Haram hukumnya menggugat tanah Tuhan. Umur kita tidak akan panjang. Kita bisa masuk api neraka”, tegas ama Domi kepala kampung. Konon ia mendengar mantra sakti itu dari para misionaris pada hari penyerahan tanah suku. Sejarah tanah Tuhan pun kabur.
Usaha Lipus mencari kebenaran sejarah tanah Tuhan menuai pro dan kontra. Sebagian warga mendukung, sisanya mengutuk Lipus. Bahkan nona Mery, tunangannya yang beberapa bulan lagi akan menikah dipaksa berpisah dengan Lipus. Keluarga nona Mery memang dikenal dekat pihak gereja. Lipus lapang dada.
***
Sebulan kemudian Lipus menghadap pastor kepala. Ia membawa dua permohonan yang ditulisnya pada selembar kertas buram. Pertama, agar gereja membuka sejarah peralihan tanah dari suku ke pihak gereja serta bagaimana perjanjiannya. Kedua, memohon agar seperempat tanah gereja dikembalikan ke masyarakat suku sebagai lahan rumah.
Mendengar perhomonan Lipus, pastor marah besar. Gelas kopi dibantingnya ke lantai. Kau umat durhaka! Kafir! Keturunan Belzebul! Berani-beraninya menuntut gereja? Murka pastor kepala.
Dengan langkah gontai Lipus meninggalkan pastoran. Dia tidak marah maupun pasrah. Dia sadar misi ini tak mudah. Beribu rintangan dan cacian akan dihadapinya. Tetapi semua itu tak mampu membendung misinya berjuang bagi saudara sesukunya yang tak punya lahan rumah, bagi anak-anak yang tak miliki halaman bermain, bagi mereka yang setiap saatnya diancam banjir dan longsor dan bagi kebenaran sejarah tanah Tuhan.
*FNA
Sudut perpus USD Mrican
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H