Mohon tunggu...
Fransiskus Adryanto Pratama
Fransiskus Adryanto Pratama Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Menulis untuk Keabadian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Itu Nyata

28 April 2020   11:54 Diperbarui: 28 April 2020   11:56 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Barangkali kisah ini tidak mewakili semua cinta dari sekian mahluk yang sungguh mendambakannya. Toh, banyak juga yang tidak mempercayainya lantaran takut sakit hati.

Inilah cerita Mariam yang bersahabat dengan Josef sejak mereka Sekolah Dasar (SD). Hari-hari tak ada orang lain yang menghuni pohon di depan rumah Mariam, selain keduanya. Detik, menit, jam, hari berubah bulan persahabatan mereka kian matang hingga ke jenjang perkuliahan.

Tak ada waktu yang mereka lalui tanpa bersama, bahkan keduanya mengambil jurusan yang sama yaitu jurusan Sastra. Kelak, harap Mariam dan Josef akan membangun rumah sastra di Kampung.

Di tengah menumpuknya tugas perkuliahan, mereka selalu ada waktu untuk bertukar cerita soal cinta. Meskipun, keduanya belum pernah merasakan yang namanya cinta, toh mana mungkin manusia yang normal tidak mungkin tidak merasakan jatuh cinta.

Senja sore itu, begitu anggun berdiri di bawah kaki langit, di bawah pohon ditemani kicauan burung sembari meneguk kopi. Mereka menulis percakapan mereka tanpa saling canggung prihal cinta menurut sudut pandang keduanya.

"Menurut kamu, Jos (panggilan akrab Josef) apakah itu cinta, pernahkan kamu merasakan jatuh cinta," tanya Mariam dengan tegas.

Sedang, Josef sembari menegak kopi dengan santai menjawab pertanyaan itu dengan santai " cinta itu sederhana, Mariam.

Jawaban itu mendatangkan ribuan pertanyaan dari kepala Mariam, " Sederhana seperti apa, Jos," tanyanya lagi.

Josef kembali menyeruput kopinya, kali ini dengan memantik batang rokok, lalu ia sisap pada lekungan bibirnya seraya menjawab "Ya semisal kamu dan aku, kamu mencintaiku dan akupun mencintaimu," jawabnya singkat.

Mariam tertunduk, sesekali meneguk air liurnya diam seribu bahasa. Apakah Josef mencintaiku dengan sungguh, ataukah hanya sekedar mencintai sebatas sahabat," pertanyaan itu terus meringkus pikiranya.

"Itu hanya contoh, Mariam, kata Josef memecah keheningan percakapan keduanya sore itu. Meski dalam hati, Josef mencintai Mariam, tetapi mengungkapkan perasaan yang sebenarnya padanya sungguh sulit, tak sehebat menulis larik puisi yang dipajang di Mading kampusnya.

Ia sungguh takut, apabila dirinya menyatakan yang sebenarnya merenggangkan persahabatan mereka yang menahun. Josef sungguh menghargai persahabatan dibandingkan cinta yang ujungnya sakit hati.

Sedang, Mariam pun dalam posisi dilema antara ia yang memulai menyatakan yang sesungguhnya kepada Josef dan juga posisi dia sebagai perempuan mana mungkin dirinya mengungkapkan perasaan terhadap lelaki.

Hari-hari mereka jalani bersama dengan label persahabatan meski kadang-kadang raut muka mereka sudah tumbuh rasa saling cinta. Namun, enggan untuk saling jujur. Persahabatan bagi mereka hal yang sakral yang tak boleh mengingkarinya. Walau sakit menyayat perih hati karena telah memendam perasaan.

Cinta bagi mereka adalah sesuatu yang misterius, mendatangkan ribuan tanya, bahkan tak bertuan walau mereka mengakui cinta itu nyata. Di setiap kesempatan, keduanya tampak romantis bahkan mereka saling suap di saat makan.

Bagi mereka, jatuh cinta itu rumit, akan saling canggung setiap temu. Kalaupun ada yang menyukai mereka di Kampus. Mereka memilih jarak karena takut saling melukai. Baik Josef maupun Mariam mengisi hari dengan selalu bersama, sehingga acapkali orang mencap mereka pacaran. Mereka hanya tersenyum bila ada yang menanyakanya.

Di kelas sekalipun, keduanya duduk berjejer. Pada malam yang sunyi, Mariam tak bisa tidur memikirkan beribu tanya dalam kepalanya. Apakah dirinya sedang jatuh cinta dengan Josef, ia membatin. Sesekali tersenyum, "ah itu hanya pikiranku saja," katanya.

Jarum jam terus berpijak dari satu angka ke angka yang lain. Matanya tak kunjung kantuk. "Ia aku jatuh cinta," simpulnya.

Keesokan harinya, Mariam memberanikan diri mengatakan perasaanya kepada Josef. Di bangku taman Kampus, sembari saling melempar canda. Tak ada angin, tak ada hujan "Aku mencintaimu Josef," kalimat itu mengalir cepat dari bibir Mariam.

Sedang, Josef menjawabnya oh ia saja. Seketika air mata mengalir deras dari kedua kelopak matanya sambil menjauh dari Josef. Sementara Josef, tertawa kecil lalu mengatkan padanya "Aku juga mencintaimu  Mariam,  sungguh"

Lalu, Mariam membalikan badanya, ia mencium bibir Josef sembari berpelukan. Josef pun tak mau kalah. Keduanya menghempaskan badan di taman itu, tanganya memegang buah dada Mariam, sesekali ia isapi tanpa ampun.

Kicauan burung menyadarkan gejolak mereka. Akhirnya mereka kembali sadar, lalu saling mencium bibir dan berpelukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun