Setelah membaca bagian ini terbesit pertanyaan, siapakah (Ia) yang Mikhel maksudkan? Saya melihat bagian ini sebagai pengelaman spritual penyair bersama yang transenden.Â
Penyair menyadari bahwa ada sesuatu kekuatan dahsyat  di luar dirinya. Sesuatu itu adalah wujud Ilahi. Wujud Ilahi yang transenden serentak imanen. Penyair menyadari dan mengakui itu. Saya kira kita semua pun demikian. Tetapi dalam puisi ini, sesungguhnya Mikhel sedang dan hendak bertanya lagi tentang yang transenden itu.
Pertanyaan Mikhel dalam puisinya bertolak dari realitas yang tengah ia hadapi belakangan ini. Realitas itu ia jumpai ketika ia bangun pagi dan sesuatu terjadi. Mikhel menulisnya demikian:
 /Di pagi ini ada bunyi yang lebih besar dari bunyi lonceng. Mentari kaget. Aku juga. Tuhan mungkin tidak/.
 Mikhel menulis puisi ini tepat ketika terjadi pemboman tiga Gereja di Surabaya oleh para teroris. Tragedi pemboman yang terjadi kemarin memang cukup mengemparkan dunia. Ia bahkan mengguncang rahim pertiwi,mengguncang nurani kita semua. Tak terkecuali juga sang panyair.Â
Tragedi itu seperti menumbuhkan benih refletif kritis dalam diri penyair akan yang transenden. Kita tentu masih mengingat tentang tragedi tiang gantungan di kamp konsentrasi milik Nazi. Di mana dalam satu pernyataan terkenal.
"Di Auschwitz, mereka hidup untuk mati".
Jutaan etnis Yahudi dibantai. Konon ketika melihat seorang bocah mati di tiang gantungan, seorang bapak berteriak "Tuhan di manakah Engkau"? lalu yang lain menyahut, "Tuhan sudah mati. Tuhan telah digantungkan di Auscheitz". Dengan yang nada sedikit mirip, penyair menyentil hal yang sama. "Di pagi ini ada bunyi yang lebih besar dari bunyi lonceng. Mentari kaget. Aku juga. Tuhan mungkin tidak".
Puisi Mikhel tentu saja bertolak dari refleksi yang mendalam. Bertolak dari bentuk kepedulian terhadap sesama. Kepedulian yang tidak hanya menimbulkan simpati melainkan empati. Rasa empati membuat penyair seolah memposisikan diri sebagai korban yang mengalami tragedi. Rasa empati membuat penyair bertanya pada dogma agama yang mengajarkan perihal pengampunan.Â
Apakah kita bisa mengampuni di saat rasa sakit sedang menggerogoti hati? Apakah kita bisa tertawa ketika sedang menangis? Bukankah pengampunan lahir dari lubuk hati yang damai? Ini semua menjadi pertanyaan refletif kritis yang penyair suguhkan kepada pembaca.