Seluruh aspek penting dalam pikirannya keluar dengan sangat lancar dari mulut Mang Eji. Bahkan, ia harus dihentikan oleh Pak Kyai karena waktu berbincang sudah selesai. Kami pun dibawa menuju kamar kami masing-masing yang akan kami gunakan untuk beberapa hari ke depannya untuk beristirahat.
Kamar-kamar itu disebut “kobong”, sebuah tempat yang kecil dan panas, tetapi sangat nyaman untuk orang yang memasukinya. Kobong tersebut terlihat seperti ruangan kosong yang dicat abu-abu. Di dalamnya terdapat lemari untuk menyimpang segala kebutuhan para santri dan sebuah tikar yang cukup untuk 3 orang.
Tikar tersebut digunakan sebagai kasur untuk para santri dan sangat nyaman untuk digunakan. Pada setiap sudut di ruangan tersebut, selalu ada coretan-coretan unik yang ditulis menggunakan pulpen hitam pekat.
Di satu sisi, ada lafadz Allah dalam bahasa Arab, pada sisi lainnya, terdapat nama-nama para santri beserta akun instagram pribadi milik mereka. Keunikan utama dalam kobong itu adalah bungkus teh celup yang menempel pada langit-langit. Dinamika kegiatan terus berlanjut hingga larut malam. Kami pun beristirahat untuk bersiap melakukan kegiatan nantinya.
Keesokan harinya, kami dibangunkan pagi-pagi untuk bersiap-siap sekolah. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk mengikuti kelas-kelas yang berbeda. Kelas Kejuruan Pemasaran Kelas 12 adalah kelas yang sangat menarik karena berisi banyak orang dengan kepribadian yang sangat berbeda satu sama lain. Mang Eji adalah salah satu siswa di kelas kejuruan ini dan menjabat sebagai ketua kelas.
Ia menjelaskan kepada kami bahwa kelas kejuruan ini mempelajari sistem pemasaran produk agar para calon pembeli dapat tertarik untuk membeli barang yang dijual. Kami pun mengikuti pembelajaran hingga pukul 1.30.
Pertemuan kami sebagai siswa beragama Katolik dengan para santri Muslim adalah pengalaman yang sangat berharga. Kami menemukan persamaan dalam perbedaan pada kedua agama ini.
Seluruh aspek-aspek mendasar tentang kedua agama ini sebenarnya adalah sama. Mengasihi orang lain, menghormati orang tua, mengutamakan Tuhan, dan banyak nilai lainnya yang diajarkan oleh kedua agama. Menyadari hal itu, kami merasa harus menghormati satu sama lain karena memiliki nilai-nilai dasar yang sama.
Walaupun dalam masyarakat terdapat stigma bahwa murid-murid pondok pesantren adalah anak yang nakal dan sulit dididik, dinamika kami bersama Mang Eji dan kawan-kawan menunjukkan hal sebaliknya. Menurut saya, stigma tersebut harus dihapus dari pemikiran masyarakat agar para santri dapat termotivasi untuk belajar lebih tekun.
Pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelas tersebut berjalan dengan sangat baik, bahkan rata-rata kelas mereka mencapai angka di atas 90. Angka tersebut membuktikan bahwa kemampuan belajar mereka sangat memuaskan.
Selain itu, sesi presentasi yang dilakukan oleh anggota kelas juga membuktikan kemampuan analisa siswa pondok pesantren. Mereka juga mampu menjawab pertanyaan lanjutan terkait materi tersebut dengan sangat mendalam dan tepat. Oleh karena itu, stigma bahwa anak pondok pesantren adalah anak yang kurang mampu secara akademis kurang tepat untuk dipercaya.