"Hasil tertinggi pendidikan adalah toleransi" -Hellen Keller
Zamakhsari Dhafier menyatakan bahwa sebuah pondok pesantren harus memiliki lima elemen dasar, yaitu pondok, Masjid, santri, pengajian, dan Kyai. Kelima elemen tersebut tidak hanya sebagai struktur fisik, tetapi menjadi lingkungan yang mendukung kehidupan spiritual dan sosial para santri.
Pengajian sebagai elemen non-fisik adalah aspek penting dalam kehidupan para santri agar mereka memahami agama Islam dengan mendalam.
Kelimat elemen tersebut terlihat sebagai satu kesatuan pada Pondok Pesantren Al-Falah yang terletak di Pandeglang. Komunitas pesantren ini menunjukkan kehidupan para santri yang sangat kental bukan hanya dalam aspek keagamaan, tetapi juga sosial.
Pagi hari yang sangat cerah menjadi penanda awal keberangkatan menuju Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang. Lebih dari 20 siswa Kolese Kanisius menaiki bus untuk menemui teman-teman baru yang sedang menunggu di Pandeglang.
Perjalanan berlangsung selama kurang lebih 2 jam menuju daerah Pandeglang. Sesampainya di pondok pesantren, Pak Kyai Haji Ahmad Halwani menyambut para tamu yang baru saja datang.
Bersama dengan teman-teman dari pondok pesantren, kami mendengarkan ceramah yang sangat mendalam dari Pak Kyai tentang keberagaman dan toleransi antar umat beragama. Ia melakukan dialog bersama Pak Agus Jarwanto, seorang guru Kolese Kanisius.
Mereka berbincang sembari didengarkan oleh para santri dan siswa Kanisius. Perbincangan itu secara khusus membahas toleransi antar umat beragama. Kami merasakan kehangatan dalam pembicaraan mereka seolah mereka adalah sahabat yang telah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun.
“28 Oktober 1928 adalah tanggal yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Indonesia, bukan Jawa, bukan Sumatra, bukan yang lain.” - Kyai Haji Ahmad Halwani
Pertemuan dengan Kyai Ahmad dilanjutkan dengan pertemuan dengan para santri yang tinggal di Pondok Pesantren Al-Falah. Santri yang paling mencolok di tengah santri lainnya adalah Mang Eji. Ia adalah siswa kelas 12 yang tinggal di pondok pesantren ini. Jiwa sosialnya sangat terlihat pada caranya menceritakan kehidupannya di pondok pesantren ini.
Seluruh aspek penting dalam pikirannya keluar dengan sangat lancar dari mulut Mang Eji. Bahkan, ia harus dihentikan oleh Pak Kyai karena waktu berbincang sudah selesai. Kami pun dibawa menuju kamar kami masing-masing yang akan kami gunakan untuk beberapa hari ke depannya untuk beristirahat.
Kamar-kamar itu disebut “kobong”, sebuah tempat yang kecil dan panas, tetapi sangat nyaman untuk orang yang memasukinya. Kobong tersebut terlihat seperti ruangan kosong yang dicat abu-abu. Di dalamnya terdapat lemari untuk menyimpang segala kebutuhan para santri dan sebuah tikar yang cukup untuk 3 orang.
Tikar tersebut digunakan sebagai kasur untuk para santri dan sangat nyaman untuk digunakan. Pada setiap sudut di ruangan tersebut, selalu ada coretan-coretan unik yang ditulis menggunakan pulpen hitam pekat.
Di satu sisi, ada lafadz Allah dalam bahasa Arab, pada sisi lainnya, terdapat nama-nama para santri beserta akun instagram pribadi milik mereka. Keunikan utama dalam kobong itu adalah bungkus teh celup yang menempel pada langit-langit. Dinamika kegiatan terus berlanjut hingga larut malam. Kami pun beristirahat untuk bersiap melakukan kegiatan nantinya.
Keesokan harinya, kami dibangunkan pagi-pagi untuk bersiap-siap sekolah. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk mengikuti kelas-kelas yang berbeda. Kelas Kejuruan Pemasaran Kelas 12 adalah kelas yang sangat menarik karena berisi banyak orang dengan kepribadian yang sangat berbeda satu sama lain. Mang Eji adalah salah satu siswa di kelas kejuruan ini dan menjabat sebagai ketua kelas.
Ia menjelaskan kepada kami bahwa kelas kejuruan ini mempelajari sistem pemasaran produk agar para calon pembeli dapat tertarik untuk membeli barang yang dijual. Kami pun mengikuti pembelajaran hingga pukul 1.30.
Pertemuan kami sebagai siswa beragama Katolik dengan para santri Muslim adalah pengalaman yang sangat berharga. Kami menemukan persamaan dalam perbedaan pada kedua agama ini.
Seluruh aspek-aspek mendasar tentang kedua agama ini sebenarnya adalah sama. Mengasihi orang lain, menghormati orang tua, mengutamakan Tuhan, dan banyak nilai lainnya yang diajarkan oleh kedua agama. Menyadari hal itu, kami merasa harus menghormati satu sama lain karena memiliki nilai-nilai dasar yang sama.
Walaupun dalam masyarakat terdapat stigma bahwa murid-murid pondok pesantren adalah anak yang nakal dan sulit dididik, dinamika kami bersama Mang Eji dan kawan-kawan menunjukkan hal sebaliknya. Menurut saya, stigma tersebut harus dihapus dari pemikiran masyarakat agar para santri dapat termotivasi untuk belajar lebih tekun.
Pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelas tersebut berjalan dengan sangat baik, bahkan rata-rata kelas mereka mencapai angka di atas 90. Angka tersebut membuktikan bahwa kemampuan belajar mereka sangat memuaskan.
Selain itu, sesi presentasi yang dilakukan oleh anggota kelas juga membuktikan kemampuan analisa siswa pondok pesantren. Mereka juga mampu menjawab pertanyaan lanjutan terkait materi tersebut dengan sangat mendalam dan tepat. Oleh karena itu, stigma bahwa anak pondok pesantren adalah anak yang kurang mampu secara akademis kurang tepat untuk dipercaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H