Kemiskinan mendesak Saduk berpisah dengan keluarganya. Pria kelahiran Banten, 56 tahun silam baru pulang ke rumah seminggu atau sebulan sekali. Ia mengis rejeki dengan menjadi kuli angkut di Pasar Kranji, Bekasi. Saduk memulai pekerjaannya itu sejak masih berusia 17 tahun.
Bapaknya meninggal kala ia masih kecil. Sejak kepergian bapaknya, seluruh kebutuhan keluarga ditopang oleh ibunya. Sang ibu membanting-tulang dengan menggarap sawah milik tetangganya. Beruntung pula, pemilik sawah itu memberikan rumah untuk mereka tinggali. Hingga kini rumah itu ditempati Saduk bersama ibu dan keluarganya.
Anak pertama dari dua bersaudara itu mengenang, penghasilan ibunya dari menggarap sawah hanya cukup untuk membeli makan-minum sehari-hari. Tak ayal karena penghasilan pas-pasan, Saduk memutuskan untuk meninggalkan bangku pendidikan. Ia tak lulus sekolah dasar. Ia merelakan adiknya untuk melanjutkan sekolah.
Di tengah situasi ekonomi keluarganya nan pelik, Saduk justru berani menikahi seorang perempuan. Tak ada acara apa pun yang mereka buat, hanya akad nikah di hadapan penghulu. Itu pun berlangsung di dalam gubuk mereka yang reyot termakan usia. “Yang penting sah dulu di mata Allah”, katanya, berkilah.
Tak ada istilah ‘bulan madu’ bagi Saduk seperti banyak pasangan usai menikah. Usai menikah, Saduk justru meninggalkan ibu dan istrinya. Ia hijrah ke Bekasi mengikuti saran temannya. Di sana, ia menjadi kuli angkut di Pasar Kranji, sama seperti yang dilakukan temannya.
Saduk mengenang, saat pertama kali menjadi kuli angkut di pasar, ia harus pandai-pandai memburu rezeki, tetapi tetap sadar dengan kemampuan fisiknya. Memang, pekerjaan itu tak butuh otak untuk berpikir, kata Saduk, tetapi jika tak cermat, fisiknya bisa roboh. Tentu ini menambah beban pengeluaran.
Pasang Surut
Saduk menceritakan, penghasilannya sebagai kuli angkut bak laut, ada pasang-surut. Sekitar 1980-an, katanya mengenang, rata-rata penghasilannya sehari Rp 15.000. Ia masih bisa menyisihkan banyak uang untuk dibawa ke rumah karena harga kebutuhan kala itu masih murah.
Saduk mengumpulkan sebagian penghasilannya sehari-hari. Uang itu ia serahkan langsung ke istrinya ketika pulang. Ia kembali ke Banten tak tentu, bisa seminggu atau sebulan sekali. “Tergantung uang yang saya kumpulkan”, katanya saat ditemui di Pasar Kranji.
Seiring waktu, Saduk bisa menghasilkan Rp 100.000 per hari. Tetapi pendapatan itu imbuhnya, nyaris tak ada arti karena saat ini harga barang-barang amat melambung tinggi. Saduk merinci, sehari untuk makan ia mengeluarkan uang Rp 30.000, kopi Rp 5.000, tiga botol air kemasan Rp 15.000, dan Rp 10.000 untuk mandor. Saduk tak mengeluarkan uang untuk tempat tinggal. Selama menjadi kuli angkut, ia tidur di emperan toko.
Meski pengeluaran sehari-hari nyaris sebanding dengan pendapatannya, Saduk rela ‘membakar’ uang Rp 22.000 untuk membeli dua bungkus rokok. Pengeluarannya untuk rokok hampir sebanding dengan biaya makannya per hari. Atau lebih besar dari kebutuhan membeli air. Saduk mengakui, ia lebih memilih mengurangi biaya untuk membeli air daripada mengurangi jatahnya merokok. “Saya masih bisa minum kopi”, katanya, santai.