Sayup-sayup angin berhembus dalam heningnya pagi buta yang dingin ini. Saat semua orang masih terlelap dalam tidurnya, saat semua orang masih menjelajahi alam mimpi, ternyata masih ada banyak orang yang ingin menghidupkan mimpinya. Nampak seorang wanita renta tengah membasahi wajah, tangan dan kakinya seperti sedang berwudhu. Gemericik air dari bambu yang dialirkan dari sungai seberang sana sebagai penghidup masyarakat desa kecil itu.
Sajadah telah ia gelar, nampak tengah merapikan mukena kusut yang ia akan tunjukkan saat menghadap Sang Khalik dengan penuh ketenangan. Saat banyak orang dengan nasib yang kurang baik, adunya pada Tuhan serasa yang paling pelik hidupnya. Lirih ku dengar tangis wanita renta itu, bukan ia menyesal akan takdirnya, bukan ia menyalahkan Tuhan yang menghidupkannya, tak habis pikir ternyata malaikat dunia itu ada. “Duh Gusti, kula urip ning ngalam dunyo iki amergo Panjenengan yakin kula iso. ananging yen wes tibo waktune kula ngadep Panjenengan, sapa sing arep ngurus kula Gusti. Kula niku dewe teng ndunyo niki” *Duh Tuhan, saya hidup di alam dunia ini sebab Engkau yakin saya bisa, namun jika sudah tiba saatnya saya menghadap Engkau, siapa yang akan mengurus saya. Saya ini sendiri di dunia ini. Sendu, rintihan tangisnya membuai hatiku yang keras ini. Syukurnya tak terbatas, senyumnya tak tergilas. Hidupnya hanya untuk mendamba pada Sang Pencipta yang ia sudah yakin betul akan janji-Nya.
Dalam keheningan itu, ia masih terbuai pada sujudnya. Seperti hanya sujudlah ia terasa dekat dengan Zat yang ia cintai, yakini dan rindukan. Sudah sejam wanita renta itu tak beranjak, masih dengan selimut pilu yang mengendap pada hatinya. Siapa orang yang tak kesepian di dunia yang seluas ini jika diarungi sendirian. Waktu mulai beranjak memanggil matahari, wanita renta itu pulang pada gubuknya yang reyot. Aku menghampirinya untuk menyapa malaikat dunia itu. Ku dekatinya, namun seperti ada yang aneh padanya. Ia seperti tak melihat kehadiranku namun, merasakan ada yang datang mendekatinya. “kula ngerti nduk, enten nopo kok mriki” *saya ngerti nak, ada apa kok datang kesini. Seperti tak ada yang aneh pada dirinya, namun baru saja aku sadari. Wanita renta ini tak dapat melihat, ia penyandang tunanetra. Mulutku terkunci mendapati fakta seperti ini. meskipun banyak yang hilang dari dirinya tapi mengapa syukurnya tak pernah luntur, mengapa ia seyakin itu pada Tuhan yang berlaku tak adil bagi sebagian banyak orang yang hilang iman. “saya lihat mbah saat menunaikan tahajjud tadi, ada yang ingin saya tanyakan. Apakah boleh mbah?” Ragu-ragu aku ucapkan pertanyaan itu. Senyum yang indah terlukis di bibir keriput yang telah dimakan usia itu.
“arep takon opo to nduk, tapi mbah gabiso suwe soale arep jajakne dagangane mbah ning pasar kuta” *mau tanya apa nak, tapi mbah gak bisa lama soalnya mau jualan dagangannya mbah di pasar kota.
“eh, boleh saya bantu mbah? kebetulan saya tidak ada keluarga disini. Sengaja menengok kampung halamannya eyang” harapku semoga diiyakan.
“yowis nduk, ayo selak bis e budal” *Ya udah nak, ayo keburu bisnya berangkat.
Ku ikuti saja, ternyata wanita renta ini berjualan tempe di pasar kota. Ada rasa kagum terselip di hatiku melihat malaikat dunia ini tak ada rasa putus asanya menjejak langkah meski rapuh merayapi ototnya. Mbah Jum namanya, ku dengar orang-orang menyapa dengan ramah padanya. Ada yang menarik dari diri Mbah Jum, lantunan sholawat terlantun dengan sangat baiknya. Hatiku menghangat entah sihir apa yang sholawat itu ciptakan tapi serasa dekat sekali dengan ketenangan.
Aku pun memulai menggelar tikar sebagai tempat berdagang hari ini, Mbah Jum seperti melihatku karena tak sengaja kudapati senyum yang terpatri indah di sudut bibirnya. Selesai sudah, akupun membuka percakapan
“Mbah Jum, kenalin nama saya Hayati. Sengaja saya ikuti Mbah Jum sejak tadi. Terpancar indah akhlak nian Mbah sebagai panutan. Terlampau tinggi sabar nian tuk dijadikan dambaan”
Senyum Mbah Jum terukir tipis, nampak kerutan didahi dan juga pipinya.
“Bolehkah saya bertanya ke Mbah Jum perihal apa yang menjadi kegelisahan saya?”
“Omongo nduk” *bicaralah nak
Entah aku yang gampang terlarut dalam kedukaan ini atau apa, seperti aku sedang bertemu sosok yang penyayang dan baik budi pekertinya.
“Mbah Jum, Hayati baru pertama kali menjumpai Mbah. Namun rasanya sudah sangat lama perkenalan kita. (ku tersenyum dan dibalas senyum pula olehnya)
“Pertanyaan Hayati cukup mudah Mbah, mengapa Mbah begitu yakin jika Allah akan menjadi penolong bagi Mbah? Bukankah Dia telah mengambil semua yang Mbah punya, Mbah hidup sebatang kara dengan keadaan cacat yang pastinya itu berat. Maaf Mbah bukan maksud Hayati menyinggung perasaan Mbah Jum. Saat Hayati mendengar lantunan doa Mbah, tak terselip rasa kesedihan maupun kepedihan atas takdir yang telah Allah tetapkan. Mengapa Mbah demikian, apakah seyakin itu Mbah Jum atas pengharapan pada-Nya?”
Tampak raut Mbah Jum berubah. Namun, kembali seperti semula. Hanya ada keteduhan saat dipandangnya
“Nduk cah ayu, wong urip iku dasare diciptakne kanggo nyembah Gusti Allah Kang Luhur. Mbah iku amung salah sijine ciptaane Gusti Allah sing lemah. Opo sing mbah goleki yo iku sing Allah nyembadani. Wong urip iku mpun tulis tinulis takdir ning Lauhul Mahfudz, dadi opo sing dadi dasar nyalahke Gusti. Mugo bisa mulyo urip manungsa kang urup” *Nak cantik,orang hidup itu diciptakan dengan dasar untuk menyembah Allah yang Luhur. Mbah hanya salah satu ciptaannya Allah yang lemah. Apa saja yang Mbah cari yaitu yang Allah ridhai. Orang hidup itu takdirnya sudah ditulis pada Lauhul Mahfudz, jadi apa yang menjadi dasar menyalahkan Allah. Semoga mulia hidup manusia yang beriman. Jawaban Mbah Jum begitu padat namun, makna yang terkandung dalam setiap kalimatnya memiliki kesan sendiri. Begitu hebat malaikat ini untuk memaknai hidup yang begitu getir dan dikungkung kekejaman oleh sesama manusia sendiri.
Ku tanggapi dengan senyuman, entah mulutku terkunci. Tapi ku pastikan aku tengah bahagia saat ini.
“Mbah beli tempe nggih, ini berapa satunya?” pembeli pertama Mbah Jum pada pagi ini.
“Sewu setunggal, nanging nek tumbas 5 ewu dados enem Bu” *seribu satu, tetapi kalau beli 5 ribu dapat 6 Bu.
“Saya beli 30 ribu nggih Mbah”
“Nggih, Ibu mendhet 36 tempe nipun” *iya, Ibu ambil 36 tempenya.
Ibu itu paham akan keterbatasan Mbah Jum, akupun membantu untuk mengemasi. Setelah selesai, Ibu tadi memberi uang 50 ribu tanpa adanya kembalian. Ingin ku beritahu Mbah Jum namun, Ibu itu melarangku tuk memberitahu Mbah Jum karena pasti akan ditolak. Akupun iyakan, karena ini amanah.
Hari menjelang pagi beranjak siang, akupun mengemasi barang dagangan Mbah Jum yang telah habis sejak tadi.
“Nduk Hayati, tulung itungen entuke dino iki.”
“Eh iya Mbah” akupun menghitung ternyata terkumpul cukup banyak, mungkin banyak orang-orang baik yang ingin membantu Mbah Jum.
“Alhamdulillah Mbah, pendapatan hari ini 350 ribu”
Mbah Jum tersenyum, bibir yang keriput itu masih saja dengan dzikir yang terus mengalir. Ada yang salah tentang dugaanku terhadap Mbah Jum. Aku pikir ia akan bahagia jika penghasilannya banyak. Namun lagi-lagi aku tercengang melihat kesederhanaan dan cara syukur Mbah Jum.
“Alhamdulillah, jukuken 50 ewu nduk. Sisane iku wenehno kotak amal masjid” *Alhamdulilah, ambil 50 ribu nak. Sisanya itu masukan ke kotak amal masjid.
“Kenapa Mbah? Ini rezeki yang Allah berikan”
“50 ewu iku Mbah mpun balik modal. Sisane iku titipan Gusti Allah kangge mbantu masjid, bocah yatim lan wong miskin. Iku milike Allah, Mbah amung dititipi nduk” *50 ribu itu Mbah sudah balik modal. Sisanya itu titipan Allah untuk bantu masjid, anak yatim dan orang miskin. Itu miliknya Allah, Mbah hanya diberi titipan nak.
Begitu sejuk, hangat, tenang menjadi satu. Pikirku terhadap manusia yang tidak pernah bersyukur dalam hidupnya termasuk aku yang sering mengeluh atas sedikit percikan ujian merasa malu dengan orang yang begitu menghargai kehidupan. Sesulit apapun Allah tidak akan menguji hamba-Nya diluar batas kemampuan. Mbah Jum, sosok yang berpondasi keimanan kokoh dikirim oleh-Nya untuk hati yang sulit bersyukur. Benar, dunia hanyalah persinggahan sementara apa yang akan dicari jika bukan meningkatkan iman, memperbanyak syukur dan memperdalam ketakwaan terhadap-Nya. Janji Allah itu pasti, jika dunia tak dapat bukan berarti akhirat tak sempat. Rezeki tak pernah tertukar semuanya sudah Allah takar dengan perhitungan yang manusia sendiri tak mampu untuk mengimbangi.
Sosok Mbah Jum yang menjadi daya pikatku tuk menjadi pribadi yang lebih bersyukur, tak terasa air mataku menitik. Mengingat keluhanku pada Allah padahal Allah telah memberi segalanya. Hanya karena masalah kecil, ku hina Dia yang tak adil. Sungguh hitam hati ini, hingga Allah sucikan dengan mempertemukanku pada malaikat dunia.
“Mbah Jum tidak usah khawatir, mulai sekarang Mbah Jum bisa tinggal dengan saya. Kebetulan saya juga sendiri, jika ada Mbah Jum sedikit terobati kesendirian saya. Apakah Mbah Jum mau? Oh iya, sebelumnya saya cucu dari Mbah Kadir, kepala desa dulunya di kampung ini. Hanya saja rumah sebesar itu tak dihuni karena semuanya telah berpulang pada-Nya. Ingin hati saya mengurus dan merawat Mbah Jum, karena hati kecil saya memberontak ingin memberikan bakti saya pada Manusia yang berhati mulia ini”
“Kadir nduk? Akhire doane Kadir kawujud. Kadir mpun pesan teng Mbah. ‘yu semisal putuku rene nanging aku wes ga ono, aku njuk tulung jaganen, sampaikno salamku yo. Mugo Hayati bahagia selawase’ mulai saiki nduk Hayati dadi tanggung jawabku, yo” *Kadir nak? Akhirnya doa Kadir terwujud. Kadir sudah berpesan ke Mbah. ‘Mbak, semisal cucuku kesini tapi aku udah ga ada, aku minta tolong jaga dia, sampaikan salamku ya. Semoga Hayati bahagia selamanya’ mulai saat ini nak Hayati jadi tanggung jawabku, ya”.
Aku percaya ini jawaban atas doaku dan doa Mbah Jum. Ku peluk ia, tetes air mata ikut membasahi baju lusuh yang tengah ia kenakan saat ini. Tak berhenti ucapku mengucap syukur, begitu berarti pertemuanku. Allah begitu baik mengirimkan malaikat yang akan memberikanku arti hidup. Semoga lama hidupmu di dunia Mbah Jum. Terima kasih atas pelajaran hidup yang berarti ini.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H