“Mbah Jum tidak usah khawatir, mulai sekarang Mbah Jum bisa tinggal dengan saya. Kebetulan saya juga sendiri, jika ada Mbah Jum sedikit terobati kesendirian saya. Apakah Mbah Jum mau? Oh iya, sebelumnya saya cucu dari Mbah Kadir, kepala desa dulunya di kampung ini. Hanya saja rumah sebesar itu tak dihuni karena semuanya telah berpulang pada-Nya. Ingin hati saya mengurus dan merawat Mbah Jum, karena hati kecil saya memberontak ingin memberikan bakti saya pada Manusia yang berhati mulia ini”
“Kadir nduk? Akhire doane Kadir kawujud. Kadir mpun pesan teng Mbah. ‘yu semisal putuku rene nanging aku wes ga ono, aku njuk tulung jaganen, sampaikno salamku yo. Mugo Hayati bahagia selawase’ mulai saiki nduk Hayati dadi tanggung jawabku, yo” *Kadir nak? Akhirnya doa Kadir terwujud. Kadir sudah berpesan ke Mbah. ‘Mbak, semisal cucuku kesini tapi aku udah ga ada, aku minta tolong jaga dia, sampaikan salamku ya. Semoga Hayati bahagia selamanya’ mulai saat ini nak Hayati jadi tanggung jawabku, ya”.
Aku percaya ini jawaban atas doaku dan doa Mbah Jum. Ku peluk ia, tetes air mata ikut membasahi baju lusuh yang tengah ia kenakan saat ini. Tak berhenti ucapku mengucap syukur, begitu berarti pertemuanku. Allah begitu baik mengirimkan malaikat yang akan memberikanku arti hidup. Semoga lama hidupmu di dunia Mbah Jum. Terima kasih atas pelajaran hidup yang berarti ini.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H