Wah ini anak mikirnya panjang dan dalam amat ya. Kok bisa dia berpikir keberadaan Tuhan itu ada atau tidak seperti itu. Aku mulai tertarik dengan cara pandangnya terhadap Tuhan.Â
"Tapi kalau Tuhan ada kenapa manusia seperti ngak takut sama Tuhan. Kenapa banyak orang bikin jahat. Kenapa manusia menderita. Kenapa banyak yang sakit. Kenapa hidup ini terasa tidak adil bagi kami. Kami miskin, ayah tidak ada dan sekarang ibu sakit, jualan saya juga tidak laku dari pagi. Apa Tuhan tidak kasihan sama saya? Kenapa saya harus dilahirkan kalau harus menderita selama hidup ini. Â Kenapa sulit sekali untuk cari uang untuk beli makan adik-adik saya." dan suaranya mulai sengau. Ia mulai menangis diam-diam.Â
Hati aku pun rasanya campur aduk tidak karuan. Entah mau marah kepadanya karena menambah beban rasa kepada saya yang sedang kesal seharian ini, entah mau menangis sedih terharu bersamanya karena kisah sedih hidupnya, dan ada seberkas syukur karena kisah anak itu mengetuk hatiku dan mengingatkan banyak orang yang memerlukan tangan-tangan kasih kita.Â
Mungkin kita tidak dapat berbuat banyak. Mungkin hanya dapat beli satu-dua bungkus tisunya saja hari ini, atau membelikan dia makanan agar dia bisa bawa pulang, atau memeluknya dan katanya kalian mendengar kesedihan hatinya, kalau bisa berbuat lebih akan sangat lebih baik.Â
Ia masih sesegukan dan mulai menyeka air mata di mukanya. Ia melirik kepadaku dan berkata "Maaf ya bu, saya jadi curhat dan menangis di sini". Wajahnya merah menjambu karena malu.Â
Aku menarik nafasku lalu menatap ke arahnya dan mulai berkata, "Nak, ibu hanya punya warung gado-gado kecil ini, ibu juga punya banyak masalah, Â dan ibu tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaanmu tadi. Tapi yang ibu tahu Tuhan ada, dan Tuhan mendengar seruan hatimu. Ibu beli dua bungkus tisu mu ya, tolong taruh di dua meja itu. Dan ini bawa dua bungkus gado-gado ini. Besok-besok kalau tisu kamu tidak ada yang laku, datang ke sini ya ibu akan kasih kalian gado-gado".
Remaja itupun memelukku dengan gembira. Senyum manisnya bertambah manis. Mata-matanya berbinar indah. Bintang, ya Bintang nama gadis itu.
Malam itu, aku berdoa sujud menyembah, wajah dan tanganku menyentuh lantai. Suatu haru yang menyesak dada ketika ku ingat kejadian siang tadi.
"Tuhan maafkan aku, aku sibuk berpikir tentang kenapa hidupku susah, kenapa aku tidak bahagia, kenapa dan kenapa, sampai aku lupa kalau masih banyak orang yang lebih kurang beruntung dari aku. Harusnya aku bersyukur dan dapat menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menebar kebaikan, sehingga orang seperi Bintang bisa yakin bahwa Tuhan memang ada dan Tuhan mengetahui kesusahan mereka. Terima kasih Tuhan sudah memberi aku kesempatan untuk mawas dan memperbaiki diri menjadi orang yang lebih baik dari hari demi hari"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H