Mohon tunggu...
Fransisca Mira
Fransisca Mira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Student of Cognitive Science & Psychology

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mahasiswa S3 di Jerman: Digaji sebagai Karyawan

9 Maret 2024   16:17 Diperbarui: 10 Maret 2024   16:37 1904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan dari ruang kerja saya, DokPri

Dengan munculnya tagar #janganjadidosen dan rendahnya Lulusan S2 S3, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi pendidikan tinggi di Indonesia sangat memprihatikan.

Solusinya: kuliah di luar negeri saja! Tentu pernyataan ini juga menuai pro-kontra. Di kalangan lulusan luar negeri, selalu ada isu „apakah ilmu ini akan terpakai di Indonesia?” yang jawabannya mungkin tidak memuaskan. Tidak heran, ada wacana untuk memangkas dana LPDP untuk beasiswa ke luar negeri.

Setiap satu Habibie yang dapat menerapkan ilmunya dan membangun industri dirgantara Indonesia, banyak juga lulusan luar negeri yang toh akhirnya bekerja di bidang yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan tingginya yang sudah susah payah dicapai dan dengan biaya yang tidak murah.

Namun, isu ini bukanlah hal baru:   mahasiswa S1 di Indonesia pun menyadari bahwa  kemungkinan besar mereka tidak akan bekerja sesuai bidang studinya. Sarkasme yang sering dilontarkan: “Apapun jurusannya, akhirnya kamu akan bekerja di bank.” 

Lantas, apakah berbagai jurusan S1 harus dihapuskan? Kan tidak juga.

Mengingat biaya Pendidikan yang sangat tinggi di Indonesia, pendidikan yang berkualitas dan relatif murah menjadi salah satu daya Tarik bagi mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan studi di Jerman.

Terlepas dari kontroversi apakah pendidikan pascasarjana penting atau tidak untuk negara berkembang seperti Indonesia, berjuang untuk melanjutkan studi S2 dan S3 di negara lain seperti Jerman masih worth it atau sepadan menurut saya.

Tentu dengan alasan yang realistis, seperti sudah dibahas Kompasianer lain, bahwa studi ditempuh demi ilmu pengetahuan, bukan dengan alasan-alasan lain seperti gaji yang lebih tinggi (yang mungkin hanya terjadi di karier akademis, atau di bidang tertentu seperti ilmu komputer).

Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi sedikit pengalaman mencicipi pendidikan S3 di Jerman dari sudut pandang saya. Maka, pengalaman subjektif saya bukan sebagai pedoman hitam diatas putih, tapi harus diverifikasi kebenarannya oleh pembaca sendiri, karena mungkin ada hal-hal berbeda yang bergantung pada program studi, universitas,  negara bagian, dsb.

S2 di Jerman Hampir “Gratis”

Gelar S2 adalah syarat mutlak untuk melanjutkan S3 di Jerman. Cara untuk melanjutkan kuliah S2, beserta biayanya banyak bertebaran di internet, juga sudah sedikit saya kupas di sini

Juga oleh banyak Kompasianer lain seperti Mbak Hennie di sini dan Mbak Iin  di sini.

Maka tidak akan saya ulas lagi.

Salah satu keunggulan dari segi sains adalah banyaknya jurusan-jurusan spesifik untik S2, sehingga kita berkesempatan mempelajari ilmu yang belum ada secara formal di Indonesia. Salah satunya Cognitive Science.

Saya berhasil mendapatkan „beasiswa“ – dengan tanda kutip karena mengharuskan awardee (penerima beasiswa)  kembali ke tanah air paling lambat 2 tahun setelah mendapatkan gelar pendidikan. JIka tidak, uang “Beasiswa” itu harus dibayarkan kembali ke lembaga yang menyediakannya.

S3 : Dibayar di Jerman

Setiap bicara dengan orang-orang dari luar Eropa Barat, mereka sering terkejut dengan fakta bahwa mahasiswa S3 (PhDs) di Jerman (juga di banyak negara Eropa Barat lainnya) digaji sebagai karyawan di Universitas.

Maka, lowongan mahasiswa S3 bertebaran di Internet, dan bahkan professor sering kesulitan mencari kandidat yang bagus. Salah satu query yang dapat digunakan di mesin pencari adalah “jobstelle wissenschaftlicher mitarbeiter“ atau lowongan kerja untuk „pekerja ilmu pengetahuan“- sebutan untuk mahasiswa doctoral atau Post-Doc (Penerima gelar Doktor yang ingin lanjut meneliti lagi).

Proses aplikasi seperti pencari kerja lainnya, biasanya dibutuhkan CV, juga tulisan sebelumnya seperti tesis atau skripsi. Kemudian ada wawancara dengan professor pembimbing dan kolega kerja.

Hal ini mungkin mengejutkan bagi orang Indonesia, dimana jika ingin S3 harus antri dan mendapat banyak kesulitan, kadang dari kolega sendiri seperti dikutip dari dari sini. 

Namun, S3 di Jerman juga memiliki risiko sendiri, seperti gaji yang lebih rendah dibanding di perusahaan, dan ketidakpastian pekerjaan setelah S3.  Kalaupun mendapat pekerjaan, sang doktor harus berpindah kota atau bahkan negara. Mobilitas itu penting di karier akademia. Bahkan, beredar anggapan di kalangan orang Jerman sendiri bahwa mendapat pekerjaan tetap lebih mudah di luar negeri (misalnya USA) daripada di Jerman.

S3 dengan Research Training Group (RTG)

Setelah lulus S2, tentu saya ingin melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan S2 saya. Setelah berbulan-bulan mencari pekerjaan lewat Internet dan tanpa vitamin B (Bekannte atau kenalan-sebutan untuk mendapatkan pekerjaan melalui kenalan)

Kebetulan, di internet saya menemukan iklan tentang posisi S3 yang cocok dengan later belakang dan minat saya. Langsung saya melamar, melewati tahap seleksi berupa seleksi dokumen (CV, motivation letter, surat rekomendasi dari dosen sebelumnya, skripsi dan tesis), dan dua kali wawancara.

Ketika diterima, saya mengetahui bahwa posisi S3 saya berada dalam naungan Research Training Group (RTG atau GRK-“Graduirtenkolleg”), yang bertujuan untuk melatih peneliti muda „Nachwuschwisenschafler“ keterampilan melakukan riset berkualitas.  Posisi ini dibiayai oleh pihak ketiga Deutsche Forschung Gesselschaft (DFG), maka biasanya peneliti digaji dengan baik (posisi penuh waktu / 100%).

Kewajiban kami tentunya menjalankan penelitian dan menulis publikasi ilmiah. Secara informal, juga dapat membantu profesor / chair mengajar atau membimbing mahasiswa skripsi atau tesis, walaupun secara formal hal ini tidak wajib.

Saya bahkan juga mendapat ruang kerja dan perlengkapan kerja dipinjamkan, seperti laptop, monitor, printer, smart screen, dsb. 

Pemandangan dari ruang kerja saya, DokPri
Pemandangan dari ruang kerja saya, DokPri

Supervisor (Doktormutter/Doktorvater) adalah profesor yang mahir di bidangnya. Jika membutuhkan bantuan tambahan, juga dapat desediakan tenaga  mahasiswa S1 dan S2 juga bisa bekerja sampingan sebagai peneliti (disebut HiWi/ wissenschaftliche Hilfskraft). 

Keuntungan lainnya adalah mahasiswa S3 tidak diwajibkan untuk mengajar seperti dalam posisi Landestelle , yang akan saya jelaskan di bawah ini. 

Namun kerugiannya, setleah proyek RTG selesai, mahasiswa S3 harus mencari pekerjaan baru sendiri. Juga topik sudah ditentukan oleh RTG, jadi tidak begitu banyak kebebasan meneliti.

S3 dengan Cara selain RTG 

Pilihan paling umum melanjutkan S3 di Jerman adalah dengan Landesstelle, disebut juga di Lehrstuhl / chair of Institute.

Lehrstuhl adalah posisi yang dibiayai oleh negara federal di Jerman (atau pihak lain seperti Uni-Eropa),  untuk pengajar di universitas. Untuk mahasiswa S3, biasanya mereka hanya memiliki posisi paruh waktu (50% atau 75% , setara 20-30 jam kerja perminggu), walaupun beban kerja hampir seperti 100% (40 jam per minggu). Maka, tidak banyak orang Jerman mau melanjutkan karier di akademia.

Sering diadakan demonstrasi menuntut upah mahasiswa. Baik mahasiswa S3, pekerja penelitian lain yang tidak menempuh S3 tapi mengajar (keduanya juga disebut WiMi/Wissenschaftliches Mitarbeiter), mahasiswa pekerja lain (mahasiswa S1 dan S2 juga bisa bekerja sampingan sebagai peneliti, disebut HiWi/ wissenschaftliche Hilfskraft).

Namun untuk hidup sederhana, walaupun 50%, gaji netto yang diterima cukup untuk hidup layak di Jerman, dan juga untuk liburan atau pulang ke Indonesia setiap tahunnya.

Keuntungannya, posisi ini lebih memiliki kontinuitas, dalam arti kesempatan seseorang untuk menjadi pengajar tetap di universitas lebih besar daripada posisi RTG yang hanya berbasis proyek. Juga, lebih banyak kebebasan dalam pemilihan topik, tidak seperti RTG yang topik besarnya sudah tertulis hitam di atas putih.

 Apapun jalannya, karena PhD di Jerman adalah pekerjaan, dari hari pertama PhD harus melakukan penelitian. Tidak ada kelas-kelas atau modul yang harus ditempuh, seperti di Indonesia,USA, atau negara lain dimana PhD harus membayar biaya pendidikan.

Pilihan lain untuk S3 adalah dengan beasiswa, perusahaan, institut penelitian, atau mandiri. 

Mengenai beasiswa, sudah banyak jenis dan informasi yang tersebar di Internet saat ini, jadi tidak akan saya jelaskan. 

Perusahaan biasanya mengizinkan karyawan untuk bekerja sekaligus menempuh S3, dengan masalah penelitian yang menguntungkan perusahaan tentunya. 

Institusi penelitian di Jerman misalnya Fraunhofer atau Max-Planc Instittute. 

Secara mandiri, juga bisa saja seseorang menempuh disertasi, tapi tentunya ia harus memikirkan bagaimana menopang biaya hidup di jerman, yang cukup mahal.

Pengalaman di RTG

RTG tempat  saya bernaung berjudul  "rivacy and Trust for Mobile Users” (RTG PAT), dan sudah berjalan slama sembilan tahun (2015-2024). Dari topiknya, sama seperti topik penelitian lain di Jerman, sangat spesifik, futuristik dan mungkin saat ini masih sulit diterapkan di Indonesia. 

Di dalamnya, dalam satu kohort terdapat sekitar 12-20 PhDs yang meneliti topik ini dari perspektif  berbagai disiplin ilmu. Seorang PhD mendapat waktu 3 tahun, setelah itu posisi akan digantikan PhD baru. 

Namun jarang ada PhD yang tepat waktu, jika memerlukan lebih banyak waktu, biasanya akan diberikan dengan mengemukakan alasan yang logis, seperti cuti melahirkan. Rata-rata PhD menyelesaikan studi selama 4.5 tahun.

Selain  RTG PAT, Kemendikti Hessen, negara bagian tempat saya tinggal dan bekerja, juga merupakan hotspot dari penelitian berbasis kecerdasan buatan (AI) dan teknologi lain. Misalnya, cluster penelitian “the Adaptive Mind”, yang berkutat dengan menjelaskan kognisi manusia dengan AI atau kecerdasan buatan. Kata kunci  (query)“Hessian.AI” dapata menjadi pedoman teman-teman yang ingin mengetahuinya lebih lanjut.

Karena profesor yang menggagas RTG PAT ini  berasal dari ilmu komputer, sekitar sebagian peneliti berasal dari fakultas tersebut. Sisanya, dari segi hukum, sosiologi, psikologi, sistem informasi, ekonomi. 

Misalnya, saya dari psikologi edukasi meneliti bagaimana kepercayaan (trust) pada sistem teknologi digital bertahan terlepas adanya kesalahan sistem. Terdapat kebebasan yang cukup besar dalam menentukan topik, asalkan sesuai dengan topik RTG dan departemen yang menaungi.

Banyak keuntungan yang saya rasakan, terutama dari segi pengembagnan diri. Sistem PhD yang terstruktur menjamin Berbagai acara ilmiah diadakan, misalnya seminar tentang praktik penelitian terkini seperti Open Science atau Research Data Management. 

Hampir setiap minggu terdapat presentasi dari mahasiswa atau peneliti dari universitas dan institut lain, juga dari luar Jerman, misalnya Swiss, USA, Italia. Sebagai kandidat PhD, penting untuk melatih presentasi di depan peneliti lain, juga dari peneliti dari disiplin yang berbeda.

Hingga saat ini, jujur masih sedikit menakutkan bagi saya untuk melakukannya, tetapi perasaan ini semakin berkurang dengan jam terbang. Pertanyaan yang saya dapatkan bukan untuk menantang atau memojokkan, tetapi biasanya audience benar-benar tertarik, dan hal ini menjadi masukkan berharga bagi saya untuk melihat penelitian dari sudut pandang di luar bidang saya atau non-psikologi. Sebaliknya, mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk mengkritisi penelitian-penelitian yang dilakukan peneliti atau profesor lain.

Selain itu, terdapat event tahunan atau Retreat dimana terdapat keynote speaker atau pembicara dari universitas lain. Di event penutupan RTG lalu, bahkan terdapat politikus yang bergerak di pembuatan hukum terkait privasi dan kepercayaan di parlemen Uni-Eropa. Terdapat juga pengembangan softskill khusus untuk penelitian perempuan. Di Jerman, kesetaran gender didanai secara khusus karena peneliti perempuan masih mengalami kerugian akibat sistem patriarki.

Karena senang travelling, bagian paling menyenangkan adalah ekskursi ke tempat-tempat menarik dan penting di Jerman dan bahkan negara lain; seperti Parlemen Uni-Eropa, dan pabrik kamera Jerman ternama Leica di Wetzlar. Karena bagian dari seminar atau konferensi, semua dibiayai oleh pihak RTG.  

Kunjungan ke Parlemen Uni-Eropa di Brussel, Belgia, DokPri
Kunjungan ke Parlemen Uni-Eropa di Brussel, Belgia, DokPri

Kunjungan ke Leica Welt, pabrik kamera Jerman yang sudah berdiri sejak 1849 di Wetzlar, DokPri 
Kunjungan ke Leica Welt, pabrik kamera Jerman yang sudah berdiri sejak 1849 di Wetzlar, DokPri 

Tantangan & Kesulitan

S3 di Jerman tentu tidak hanya memiliki sisi positif. Seperti kutipan dari film Spiderman: “With great power comes great responsibility”, setiap gelar akademik menuntut tanggung jawab dari pemegangnya .

1. Bertransisi dari mahasiswa yang awalnya bertanggung jawab hanya pada diri sendiri, rasanya berat tiba-tiba dapat menggunakan uang negara, apalagi bukan negara saya, guna menjalankan penelitian yang pantas diteliti. Dari segi psikologis, tentu menempuh S3 memicu Tingkat stress yang tinggi: kandidat doktor tentu perlu berkontribusi di dunia akademia dengan publikasi ilmiah di jurnal atau konferensi ternama. Hal ini tidak mudah , tidak heran bahwa kebanyakan kandidat doktor menyerah dan drop out pada akhirnya.

2.      Terlepas dari stres akademik, menyesuaikan diri dengan budaya individualis di Jerman dari negeri kolektivis termasuk sulit. Jauh dari keluarga dan teman-teman, iklim yang dingin , bahasa Jerman yang terkenal sulit, dan sebagainya . Setelah bertahun-tahun, banyak orang yang masih berjuang menyesuaikan diri.  Sudah banyak diaspora Indonesia lain yang menulis atau nge-vlog tentang hal ini, dan saya pun tidak terlepas dari hal itu. Maka cukup saya kutip sebuah lelucon anonim di internet „Kuliah di luar negeri tidak akan menyelesaikan masalah hidup kita".

Semua tantangan ini saya taruh paling akhir, karena saya berharap tulisan ini utamanya menjadi penyemangat bagi kaum muda untuk melanjutkan studi di Jerman. Apabila ada pertanyaan, silahkan message saya.

Salah satu suasana Retreat RTG atau seminar, DokPri
Salah satu suasana Retreat RTG atau seminar, DokPri
Dengan berat hati, harus diakui Indonesia sebagai negara berkembang masih harus menempuh jalan panjang untuk membangun pendidikan tinggi dengan kualitas setara Jerman. Bukan dari segi peneliti, karena saya yakin kaum muda Indonesia juga pintar-pintar dan layak bersaing dengan peneliti negara maju.

Secara sistemik, pemilu kemarin baru saja menunjukkan bahwa demokrasi sedang berada diujung tanduk, dan tanpa demokrasi, cita-cita keadilan sosial dalam bentuk pemerataan pendidikan tinggi masih terasa seperti mimpi. Demokrasi tanpa edukasi pun adalah bunuh diri.

Kuliah di Jerman dan segala persiapannya bukanlah proses yang mudah, juga termasuk dalam usaha high-risk, berisiko tinggi, karena tidak semua orang yang melakukan bersiap bisa menyelesaikan, atau bahkan memulainya.  

Sebagai penutup, mengutip Andrea Hirata: “Belajar adalah perayaan dan penghargaan pada diri sendiri”. Terlepas dari hasilnya, mentalitas gemar belajar kiranya menghidupi setiap langkah diri kita sepanjang hidup; di Jerman atau dimanapun kita berada.
 
Sumber:

ZEIT Campus Ratgeber Promotion:Entscheiden, planen, durchhalten. Die wichtigsten Tipps für die Dissertation in allen großen Fachgebieten

https://issuu.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun