Mendengar nama San Marino, mungkin pikiran kita tertuju pada tim bola atau tim Formula One.
Mungkin juga pada aktris cantik Putri Marino. Mungkin ayah Italia Putri berasal dari San Marino? Saya juga tidak tahu.
Sedikit yang tertarik dengan negara mikro San Marino, kecuali mungkin orang sangat kaya yang ingin menghindari pajak atau berbelanja.
Saya bukan termasuk keduanya, tapi toh negara ini tetap memberikan kenangan perjalanan menyenangkan buat saya.
San Marino adalah negara mikro yang terletak di tengah-tengah negara besar Italia, tepatnya berbatasan dengan provinsi Emilia Romagna.
Tidak ada kereta api atau kereta api ke San Marino. Tetapi kota ini dapat dicapai dengan bus dari kota Rimini di Italia, sekitar 16 km.
Karena sedang road trip dari Roma ke Italia utara naik mobil, berhenti sejenak di San Marino adalah pilihan yang menarik.
Betapa tidak, negara republik mungil di tengah Italia ini nangkring di atas gunung dan mengklaim dirinya sebagai republik tertua di dunia.
Didirikan pada tahun 301 Masehi oleh orang suci Katolik bernama Santo Marino, yang melarikan diri ke atas Guning Titano karena orang Katolik saat itu dipersekusi oleh Kaisar Italia Dioletian.
Jumlah penduduknya kalah sedikit dari Kelurahan Palmerah di Jakarta yang sekitar 37 ribu jiwa, yaitu hanya sekitar 33 ribu jiwa.
Di ibu kota San Marino, bahkan hanya terdapat 4000 jiwa.
Perjalanan sekitar 5 jam dengan mobil dari Roma ke San Marino. Bulan Juli, panasnya mencapai 38 derajat celcius, lebih panas dari Jakarta. Jadi, jangan lupa topi dan kacamata hitam agar tidak silau.
Tidak seperti kota besar Italia lain seperti Milan, Napoli, Firenze yang mudah ditempuh dengan jalan tol, untuk ke San Marino tidak ada jalan tol langsung.
Jalan biasa yang berkelok-kelok ke atas gunung tidak akan membuat bosan karena pemandangan yang indah.
Negara 'Surga Pajak' ini memiliki kebijakan bebas pajak buat warga negaranya.
Tapi untuk pengemplang pajak Indonesia, jangan coba-coba menyembunyikan harta Anda di sini. Pasalnya, Presiden Jokowi sudah membuat kesepakatan dengan negara ini untuk pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan.
Jadi, data WNI ataupun badan usaha Indonesia tetap bisa diakses pemerintah.
Selengkapnya, tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Republik San Marino.
Orang asli San Marino atau Sammarinese hidup sejahtera, dapat dilihat dari pendapatan perkapita mereka yang sangat tinggi, yaitu 45516 US dollar atau sekitar 667 juta rupiah per tahun, lebih tinggi dari Italia.
Pantas saja, semua pekerja wisata, seperti penjaga toko, pelayan restoran, cantik-cantik dan fashionable. Tidak terlihat sama sekali tunawisma atau peminta-minta, seperti di kota-kota besar di Eropa lainnya.
Untuk menyebrang jalan kecil saja, ada petugas berseragam kuning yang memberi aba-aba pada kami, agar bisa menyebrang dengan aman dari tempat parkir ke kota tua San Marino.
Padahal, sudah ada zebra cross besar di sana. Wah, seandainya petugas seperti ini ada di Jalan Margonda Depok dahulu, tempat saya harus susah payah menyebrang untuk ke kampus setiap harinya.
Menggiurkan rasanya untuk mengajukan kewarganegaraan di sini.
Sayangnya, untuk mengajukan kewarganegaraan di sini sangat sulit. Seseorang harus dapat membuktikan bahwa ia adalah turun temurun warga San marino.
Bahkan warga negara Uni Eropa (EU) yang biasanya bebas hidup di negara EU lainnya, harus mengajukan visa untuk tinggal dan bekerja di San Marino.
Namun demikian, sebagai turis, saya merasa bahwa harga-harga di sini lebih murah ketimbang di Italia, apalagi Jerman.
Hal ini karena di San Marino tidak ada pajak penambahan nilai.
Misalnya, satu porsi makanan di restoran sekitar 6 Euro, dan tiket masuk 2 benteng terbesar 4 Euro saja untuk mahasiswa.Â
Harga bensin lebih murah sekitar 10 sen per liter, misalnya di italia dan Jerman 1,80, di San Marino 1,70 saja.
Mata uang adalah Euro, namun terdapat koin Euro terbatas dari San Marino yang dijual dengan harga lebih mahal karena kelangkaannya.
Orang Italia suka berbelanja di sini dan menyembunyikan barangnya di mobil ketika pulang kembali ke Italia.
Jika ketahuan pihak berwenang Italia, mereka bisa terkena denda dan dikenakan pajak.
Mentalitas yang mengingatkan saya pada WNI yang sering membawa barang branded atau elektronik yang dibeli di luar negeri untuk dijual kembali di Indonesia.
Untung, terakhir kali sudah diberlakukan aturan pelaporan IMEI untuk menghindari para penghindar pajak gawai.
Ternyata, beda negara dan benua, kelakuannya sama saja, hehe.
Sumber: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H