Kota ini juga sayangnya terkenal dengan tingkat kriminalitas pada turis yang cukup tinggi. Maka, harus benar-benar berhati-hati dengan barang bawaan.
Oleh orang Italia, saya dinasehati lebih baik membawa tas ransel daripada tas wanita yang mudah ditarik oleh pencopet dari atas sepeda motor.Â
Saya tersenyum sinis, di Jakarta pun, saya pernah mengalai tas ransel saya dibuka atau disilet oleh pencopet, bahkan saat saya masih berseragam abu-abu atau jadi siswi SMA kere!
Beberapa tahun lalu juga terdapat kasus mafia sampah, yaitu mafia yang membuat sampah-sampah menumpuk di jalan dan tidak dibersihkan sehingga seluruh kota menjadi bau. Mengingatkan saya pada para preman di Jakarta.
Kami menutup perjalanan dengan berjalan di sebajang teluk Napoli (Gulf of Napoli). Indahnya gunung Vesuvius, dapat terlihat dibalik kapal-kapal, lautan, dan bangunan tua.
Tak dinyana, gunung ini dengan kejam mengubur hidup-hidup warga Pompeii dan Herculaneum pada tahun 79 sebelum Masehi.
Ah, warga Napoli yang mempertaruhkan nyawa setiap harinya dibalik bayang-bayang ledakan Gunung Vesuvius pun tak beda jauh dengan warga Jakarta yang menunggu tenggelamnya Jakarta, bukan?
Begitulah pengamatan saya di kota Napoli. Dalam lima hal: traffic atau lalu lintas, makanan gorengan, fanatisme warga pada sepak bola, keamanan, dan bencana, sekilas memang tidak beda jauh dari Jakarta. Bisa dibilang Napoli is the closest Italy could be to Jakarta, setuju?
Namun, kekayaan sejarah dan keramahan penduduknya, sama seperti kota Jakarta, pun menarik jutaan wisatawan setiap tahunnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H