Mohon tunggu...
Fransisca Mira
Fransisca Mira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Student of Cognitive Science & Psychology

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bagaimana Rasanya Jadi Sukarelawan Banjir di Jerman?

4 Februari 2022   22:34 Diperbarui: 5 Februari 2022   17:10 2086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya (kedua dari kanan) bersama sukarelawan lain dari Mesir, Palestina, dan Kenya, di atas kebun anggur dan desa Ahrtal | Dokumentasi pribadi

Dua bulan setelah kengerian bencana banjir di negara bagian Nord Rhein Westfallen dan Rheinland Pfalz pertengahan Juli 2021 yang lalu, pemulihan desa di sekitar sungai yang terdampak masih jauh dari kata pulih.

Bagaimana tidak, curah hujan yang ekstrem membuat banjir yang datang di tengah malam itu membanjiri desa hingga 9 meter tingginya, atau setara lantai dua sebuah rumah.

Lebih dari seratus korban jiwa dan ribuan rumah terdampak bencana ini. Sungai kecil Ahr kewalahan dengan volume air yang begitu besar dari perbukitan di sekelilingnya dan dari sungai-sungai kecil lain yang bermuara disana.

Saya mendapat kesempatan untuk menjadi sukarelawan di desa sekitar sungai Ahr, atau daerah Ahrtal (Tal = lembah) pada tanggal 21 hingga 26 September 2021 yang lalu.

Sebelum pergi ke sana, saya hanya tahu bahwa sukarelawan akan tidur di tenda darurat di tempat yang disebut Helfer-Camp di Leimersdorf, sekitar 10 km dari sungai Ahr.

Bayangan saya, seperti kemping pramuka saat sekolah dasar belasan tahun lalu, tidur dalam sleeping bag di tenda kecil di tengah hutan, memasak dengan kompor kecil, dan mengantri di toilet kecil dan jauh dari kemah. Untungnya, ketika sampai di sana, keadaannya jauh lebih baik dari bayangan saya.

Sporthalle Leimersdorf, atau lapangan olahraga disulap menjadi beberapa tenda besar untuk ratusan volunteer, lengkap dengan bunk bed atau tempat tidur tingkat dan matras di dalamnya, bahkan dilengkapi dengan pemanas tenda. Setiap bunk bed atau kamar untuk 2 orang dibatasi dengan terpal.

Kamar dan tempat tidur darurat | Dokumentasi pribadi
Kamar dan tempat tidur darurat | Dokumentasi pribadi

Toilet darurat juga sangat bersih dan tidak jauh dari tenda, dengan para petugas yang membersihkannya setiap pagi. 

Hampir seratus bilik mandi dan toilet disediakan oleh pihak vendor yang memang spesialis dalam membuat toilet massal di daerah darurat seperti saat ada festival besar-besaran.

Untuk menghemat air, shower atau pancuran air disetel mati otomatis setiap sekitar 5 detik setelah dinyalakan, jadi untuk sekali mandi harus memencet tombol shower berkali-kali. 

Untuk mandi setiap harinya, tempat ini mampu menampung lebih dari 3.000 sukarelawan yang datang di awal bancana bulan Juli hingga Agutus lalu.

Di bulan September, terutama di hari kerja, sudah tidak banyak volunteer yang datang, mungkin hanya beberapa ratus. Terdapat tenda besar untuk volunteer makan tiga kali sehari, makanan pun disediakan olah pihak vendor dan sponsor, lengkap dari makanan besar, snack, minuman seperti kopi, teh, sirup, bahkan beer.

Kebanyakan sukarelawan datang dari daerah sekitar, namun saya juga menemui beberapa orang yang datang dari daerah yang jauh seperti Rostock, Jerman Utara.

Tentunya mereka juga memiliki latar belakang yang berbeda beda, mahasiswa seperti saya, orang kantoran, pemusik, bahkan saya mendengar juga ada CEO atau kepala perusahan yang turun langsung membantu di sini.

Suasana tenda besar tempat sukarelawan dapat duduk dan makan, di Helfer Shuttle | Dokumentasi pribadi
Suasana tenda besar tempat sukarelawan dapat duduk dan makan, di Helfer Shuttle | Dokumentasi pribadi

Helfer Camp (Helfer= penolong/relawan) diperuntukkan hanya bagi mereka yang membutuhkan tempat bernaung karena tinggal jauh dari daerah Ahr´.

Empat kilometer dari camp, yaitu di daerah Graftschaft terdapat Helfer Shuttle Fluthilfe di mana semua sukarelawan berkumpul untuk mempersiapkan diri terjun ke daerah bencana, baik sukarelawan yang menginap ataupun pulang-pergi.

Helfer Shuttle bisa dibilang sebuah Zeltstadt (Zelt=tenda; Stadt=kota) atau kota artifisial berisi berbagai macam tenda sesuai keperluan, ada tenda besar tempat sukarelawan dapat berkumpul, dan tenda-tenda kecil sesuai keperluan medis, perlengkapan, makanan, toilet, dsb.

Peralatan, pakaian, makanan, minuman, alat P3K, dan benda benda keperluan kerja lainnya disediakan dengan lengkap, sehingga dapat dikatakan sukarelawan dapat membawa badan saja serta niat yang tulus untuk membantu, dan semua keperluannya akan dipenuhi.

Terdapat bus shuttle yang menjemput sukarelawan dari Bonn Hauptbahnhof (stasiun terbesar di kota Bonn, yang adalah kota besar terdekat), dan mengantar ke desa-desa sekitar sungai untuk bekerja. 

Saat pertama datang, seorang sukarelawan memberikan briefing pada kami tentang hak dan kewajiban kami.

Haknya tentunya menggunakan apa yang ada di sana sesuai keperluan, dan mendapatkan fasilitas medis serta asuransi kerja jika kecelakaan kerja terjadi.

Jika ada hal kurang mengenakkan yang terjadi, kami dapat berbincang denga konselor dan psikolog di sana, hal yang sangat menarik bagi saya karena mereka tidak hanya memperhatikan hak fisik tetapi juga psikologis sukarelawan.

Kewajiban kami di antaranya mau mendengarkan warga desa yang mungkin ingin bercerita banyak soal pengalamannya, menjaga sikap, dan tidak terlalu mengambil banyak foto sehingga warga desa tidak merasa seperti penghuni kebun binatang yang menjadi tontonan para pengunjung.

Pasalnya, segelintir orang memanfaatkan area bencana sebagai panggung pencitraan diri di internet sebagai influencer. Suatu hal yang tidak saya duga, sebab saya mengira semua warga Jerman sudah akrab dengan konsep perlindungan data dan privasi.

Rel kereta Jerman yang kokoh pun hancur karena banjir. Sungai Ahr yang kecil terlihat di kanan belakang | Dokumentasi pribadi
Rel kereta Jerman yang kokoh pun hancur karena banjir. Sungai Ahr yang kecil terlihat di kanan belakang | Dokumentasi pribadi

Ketika sampai di Dernau, tempat saya dan rombongan sukarelawan akan membantu, pemandangannya sungguh menyedihkan. Desa itu seperti kota mati, rumah-rumah masih rusak kosong karena pemiliknya sedang mengungsi.

Mungkin memakan waktu hingga beberapa tahun sampai desa tujuan wisata itu menjadi normal kembali. Bekas air dan lumpur jelas terlihat hingga lantai 2 rumah-rumah. 

Rel kereta masih hancur, tentu saja perbaikannya memakan waktu lebih lama lagi. Penghasilan utama penduduk sekitar adlaah dari kebun anggur dan turisme.

Turisme tentu belum bisa diandalkan karena seluruh desa ditutup selain untuk penduduk, sukarelawan dan orang yang memiliki kepentingan terkait pemulihan desa. 

Harapan terakhir saat ini adalah kebun anggur yang berada di daerah perbukitan, yang hanya sekitar 10% rusak dilanda banjir. 90% sisanya masih baik dan siap panen di musim panas ini.

Di sinilah sukarelawan memegang peran penting, karena para petani tidak mempunyai sumber daya pekerja dan peralatan yang sama setelah banjir. Kami membantu petani memanen anggurnya di perbukitan vineyard atau Weinberge.

Anggur | Dokumentasi pribadi
Anggur | Dokumentasi pribadi
curamnya kebun anggur hingga lebih baik duduk saat memetik, daripada berdiri dan tergelincir | Dokumentasi pribadi
curamnya kebun anggur hingga lebih baik duduk saat memetik, daripada berdiri dan tergelincir | Dokumentasi pribadi

Pengalaman pertama memetik anggur untuk saya. Proses memetik dengan gunting khusus sebenarnya tidak susah dan cenderung asyik untuk saya. 

Kami hanya harus berhati-hati agar tidak ada anggur yang busuk (faul) atau berjamur karena sudah terlalu matang dan mengandung banyak air.

anggur yang busuk (faul) atau berjamur karena sudah terlalu matang, harus dibuang | Dokumentasi pribadi
anggur yang busuk (faul) atau berjamur karena sudah terlalu matang, harus dibuang | Dokumentasi pribadi

Panenan ditaruh di dalam box kecil, kemudian dikumpulkan di kontainer besar yang ditarik dengan traktor. Yang melelahkan adalah menaiki bukit dari bawah tempat shuttle bus mengantar kami, dan juga harus menahan badan di Weinberge yang dibuat curam agar air dapat mengalir dengan baik, prinsip yang serupa dengan terasering sawah di Indonesia. Kadang juga banyak batu dan semak liar dan jelatang yang menambah kesulitan panen. 

Kesulitan lain, bulan September adalah peralihan musim panas ke musim dingin. Ketika kami mulai jam 8 pagi, udara dingin menggigit sehinngga harus memakai jaket tebal dan sarung tangan agar kulit tidak perih. Ketika siang, matahari bersinar terik, panasnya seperti di Jakarta, sehingga jaket tebal harus ditenteng. 

Anggur untuk wine berbeda jenisnya dengan anggur untuk dimakan, ukurannya lebih kecil dan rasanya lebih asam. 

Menentukan waktu panen antara saat anggur cukup manis dan matang dan sebelum anggur busuk merupakan tantangan bagi petani. 

Petani anggur (Winzer) yang kami bantu merupakan generasi ketiga, karena kakeknya sudah merintis usaha pertanian anggur. 

Kebun anggur tertua yang ia miliki sudah berusia hampir seratus tahun, dan ada juga yang masih semuda 4 tahun. Mengapa begitu umum untuk para Winzer membuka usaha turun temurun? 

Saya pikir, karena di awal memulai perkebunan anggur sangat berisiko, dua tahun pertama, kebun anggur belum menghasilkan buah sama sekali. 

Kebanyakan Winzer tidak bekerja secara individual, namun bersatu dalam sebuah komunitas atau disebut Winzergenossenschaft. Daerah Ahrtal terutama menyumbang Rotwein (anggur merah) dibandingkan Weißwein (anggur putih). 

Ketika bencana terjadi, banyak botol-botol anggur terkena lumpur, yang mana dengan kreatif dijadikan gimmick dan dijual lebih mahal untuk penggalangan dana.

Bersama Flutwein (Flut=banjir, Wein = Minuman anggur) di pinggir sungai Ahr | Dokumentasi pribadi
Bersama Flutwein (Flut=banjir, Wein = Minuman anggur) di pinggir sungai Ahr | Dokumentasi pribadi

Selain itu, kami juga bekerja di sebuah hotel di Bad-Neuenahr yang masih rusak parah. Pertama kalinya bekerja di daerah konstruksi bangunan.

Beberapa orang membantu dengan mesin bor, menghancurkan bagian hotel yang rusak, dan lainnya yang tidak punya banyak pengalman membawa keluar puing puing yang rusak.

Cukup satu hari merasakan kerasnya bekerja di sana, maka di hari selanjutnya saya kembali memilih untuk bekerja di kebun anggur. 

Sukarelawan lain juga membersihkan lumpur dari jalan dan kebun anggur. Perkerjaan yanag cukup berat karena lumpur sudah mengeras dan tebal.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Lima hari di Helfer Camp, membuat saya belajar banyak hal. Pertama, penanggulangan dan kerja sama yang sigap dari pemerintah, swasta, dan masyarakat umum dalam mengatasi bencana banjir bandang yang telah terjadi.

Dan tentunya, bagaimana kemanusiaan sangat jelas terasa, tanpa memandang suku, agama, ras, status sosial dan ekonomi, ribuan orang dari seluruh penjuru Jerman datang dengan tujuan yang sama, membantu pemulihan desa dan penduduknya.

Saya berbincang dengan seorang pemuda Jerman yang awalnya merasa putus asa karena banyak orang di Jerman menurutnya hanya mementingkan diri sendiri, namun di sini, ia kembali merasakan harapan akan kemanusiaan.

Hal ini membuktikan bahwa budaya individualisme di Jerman tidak identik dengan egoisme. Satu pelajaran bagi kita yang menganggap budaya kolektivisme adalah keunggulan, seharusnya bahkan dapat membuktikan bahwa kita pun dapat bahu membahu membangun kembali daerah yang terkena bencana.

Terakhir namun tak kalah penting, bahkan di negara maju seperti Jerman, yang masyarakatnya sudah sangat menyadari bahaya perubahan iklim, dampak bencana bisa sangat besar.

Oleh karena itu, sebagai manusia sudah saatnya kita mengubah gaya hidup, menjadi lebih hijau dan memperhatikan keberlangsungan ekosistem di sekitar kita.

Acknowledgements:

Penulis adalah penerima beasiswa dari Katholischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD),  yang sedang belajar di program Master of Cognitive Science di TU Kaiserslautern, Jerman.

Ucapan terima kasih sebesar besarnya untuk KAAD yang telah mengorganisasi kegiatan sukarela di Ahrtal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun