Di sinilah sukarelawan memegang peran penting, karena para petani tidak mempunyai sumber daya pekerja dan peralatan yang sama setelah banjir. Kami membantu petani memanen anggurnya di perbukitan vineyard atau Weinberge.
Pengalaman pertama memetik anggur untuk saya. Proses memetik dengan gunting khusus sebenarnya tidak susah dan cenderung asyik untuk saya.Â
Kami hanya harus berhati-hati agar tidak ada anggur yang busuk (faul) atau berjamur karena sudah terlalu matang dan mengandung banyak air.
Panenan ditaruh di dalam box kecil, kemudian dikumpulkan di kontainer besar yang ditarik dengan traktor. Yang melelahkan adalah menaiki bukit dari bawah tempat shuttle bus mengantar kami, dan juga harus menahan badan di Weinberge yang dibuat curam agar air dapat mengalir dengan baik, prinsip yang serupa dengan terasering sawah di Indonesia. Kadang juga banyak batu dan semak liar dan jelatang yang menambah kesulitan panen.Â
Kesulitan lain, bulan September adalah peralihan musim panas ke musim dingin. Ketika kami mulai jam 8 pagi, udara dingin menggigit sehinngga harus memakai jaket tebal dan sarung tangan agar kulit tidak perih. Ketika siang, matahari bersinar terik, panasnya seperti di Jakarta, sehingga jaket tebal harus ditenteng.Â
Anggur untuk wine berbeda jenisnya dengan anggur untuk dimakan, ukurannya lebih kecil dan rasanya lebih asam.Â
Menentukan waktu panen antara saat anggur cukup manis dan matang dan sebelum anggur busuk merupakan tantangan bagi petani.Â
Petani anggur (Winzer) yang kami bantu merupakan generasi ketiga, karena kakeknya sudah merintis usaha pertanian anggur.Â
Kebun anggur tertua yang ia miliki sudah berusia hampir seratus tahun, dan ada juga yang masih semuda 4 tahun. Mengapa begitu umum untuk para Winzer membuka usaha turun temurun?Â