Saya pikir, karena di awal memulai perkebunan anggur sangat berisiko, dua tahun pertama, kebun anggur belum menghasilkan buah sama sekali.Â
Kebanyakan Winzer tidak bekerja secara individual, namun bersatu dalam sebuah komunitas atau disebut Winzergenossenschaft. Daerah Ahrtal terutama menyumbang Rotwein (anggur merah) dibandingkan Weißwein (anggur putih).Â
Ketika bencana terjadi, banyak botol-botol anggur terkena lumpur, yang mana dengan kreatif dijadikan gimmick dan dijual lebih mahal untuk penggalangan dana.
Selain itu, kami juga bekerja di sebuah hotel di Bad-Neuenahr yang masih rusak parah. Pertama kalinya bekerja di daerah konstruksi bangunan.
Beberapa orang membantu dengan mesin bor, menghancurkan bagian hotel yang rusak, dan lainnya yang tidak punya banyak pengalman membawa keluar puing puing yang rusak.
Cukup satu hari merasakan kerasnya bekerja di sana, maka di hari selanjutnya saya kembali memilih untuk bekerja di kebun anggur.Â
Sukarelawan lain juga membersihkan lumpur dari jalan dan kebun anggur. Perkerjaan yanag cukup berat karena lumpur sudah mengeras dan tebal.
Lima hari di Helfer Camp, membuat saya belajar banyak hal. Pertama, penanggulangan dan kerja sama yang sigap dari pemerintah, swasta, dan masyarakat umum dalam mengatasi bencana banjir bandang yang telah terjadi.
Dan tentunya, bagaimana kemanusiaan sangat jelas terasa, tanpa memandang suku, agama, ras, status sosial dan ekonomi, ribuan orang dari seluruh penjuru Jerman datang dengan tujuan yang sama, membantu pemulihan desa dan penduduknya.
Saya berbincang dengan seorang pemuda Jerman yang awalnya merasa putus asa karena banyak orang di Jerman menurutnya hanya mementingkan diri sendiri, namun di sini, ia kembali merasakan harapan akan kemanusiaan.
Hal ini membuktikan bahwa budaya individualisme di Jerman tidak identik dengan egoisme. Satu pelajaran bagi kita yang menganggap budaya kolektivisme adalah keunggulan, seharusnya bahkan dapat membuktikan bahwa kita pun dapat bahu membahu membangun kembali daerah yang terkena bencana.