Saat pertama datang, seorang sukarelawan memberikan briefing pada kami tentang hak dan kewajiban kami.
Haknya tentunya menggunakan apa yang ada di sana sesuai keperluan, dan mendapatkan fasilitas medis serta asuransi kerja jika kecelakaan kerja terjadi.
Jika ada hal kurang mengenakkan yang terjadi, kami dapat berbincang denga konselor dan psikolog di sana, hal yang sangat menarik bagi saya karena mereka tidak hanya memperhatikan hak fisik tetapi juga psikologis sukarelawan.
Kewajiban kami di antaranya mau mendengarkan warga desa yang mungkin ingin bercerita banyak soal pengalamannya, menjaga sikap, dan tidak terlalu mengambil banyak foto sehingga warga desa tidak merasa seperti penghuni kebun binatang yang menjadi tontonan para pengunjung.
Pasalnya, segelintir orang memanfaatkan area bencana sebagai panggung pencitraan diri di internet sebagai influencer. Suatu hal yang tidak saya duga, sebab saya mengira semua warga Jerman sudah akrab dengan konsep perlindungan data dan privasi.
Ketika sampai di Dernau, tempat saya dan rombongan sukarelawan akan membantu, pemandangannya sungguh menyedihkan. Desa itu seperti kota mati, rumah-rumah masih rusak kosong karena pemiliknya sedang mengungsi.
Mungkin memakan waktu hingga beberapa tahun sampai desa tujuan wisata itu menjadi normal kembali. Bekas air dan lumpur jelas terlihat hingga lantai 2 rumah-rumah.Â
Rel kereta masih hancur, tentu saja perbaikannya memakan waktu lebih lama lagi. Penghasilan utama penduduk sekitar adlaah dari kebun anggur dan turisme.
Turisme tentu belum bisa diandalkan karena seluruh desa ditutup selain untuk penduduk, sukarelawan dan orang yang memiliki kepentingan terkait pemulihan desa.Â
Harapan terakhir saat ini adalah kebun anggur yang berada di daerah perbukitan, yang hanya sekitar 10% rusak dilanda banjir. 90% sisanya masih baik dan siap panen di musim panas ini.