Pertama perlu dijelaskan definisi ‘nilai’. Kebanyakan orang mendefinisikan nilai sebagai: “A principle or standard, as of behavior, that is considered important or desirable.” Nilai adalah sebuah prinsip atau standar tentang perilaku yang dianggap penting atau yang diharapkan. Ada lagi yang mendefinisikan lebih personal sebagai “A person's principles or standards of behavior; one's judgment of what is important in life.” Prinsip atau standar perilaku seseorang; penilaian seseorang tentang apa yang penting dalam hidup.
Intinya ialah ‘Nilai’ merupakan sesuatu yang dianggap penting dan karena itu diperjuangkan yang dapat memberi warna perilaku seseorang atau sekelompok orang, bahkan warga suatu negara. Dengan kata lain, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik dan ideal kalau dimiliki, dan tentu saja dipraktekkan, sekalipun Nilai-nilai tersebut tidak akan pernah terwujud seratus persen.
Kita akui bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia, sekalipun nilai-nilai tersebut bagi kita saat ini sudah tidak dipahami secara menyeluruh. Dengan demikian, tugas pertama yang penting ialah merumuskan secara obyektif nilai-nilai apa yang ada dalam masing-masing sila sehingga menjadi terang benderang bagi warga negara Indonesia. Ingat postulate di atas bahwa ada orang yang ‘melihat’ Pancasila, tetapi tidak memahami, maksudnya, ada yang membaca tetapi tidak menghafal, ada yang manghafat tetapi tidak memahami. Orang seperti inilah yang harus dituntun untuk memahami. Sebab bagaimana orang bisa berkesan tanpa memahami?
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Toleransi
Yang pertama sekali ialah pengakuan adanya Satu Saja Tuhan yang menciptakan semua manusia, bahkan segala sesuatu yang bernafas maupun yang tidak bernafas.
Nilai ini membawa konsekwensi bahwa semua manusia, suku agama, ras manapun, baik mayoritas maupun minoritas memiliki hak yang sama sebagai warga negara; karena itu tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun. Yang sangat relevan untuk Indonesia ialah semua kelompok agama harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk melaksanakan ibadahnya. Adanya perbedaan keyakinan, perbedaan tata cara pelaksanaan ibadat jangan sampaii menjadi alasan dilakukannya diskriminasi/penyerangan oleh kelompok-kelompok yang merasa sebagai yang memiliki kebenaran mutlak (sangat subyektif). Negara, dalam hal ini pemerintah perlu menyediakan sarana /prasarana yang memadai dan kemudian menindak tegas pihak manapun yang melakukan penyerangan terhadap kelompok lain.
Pengakuan dan penghormatan akan perbedaan
Mendengar kata pluralisme kita pasti ingat semboyan nenek moyang kita: Bhineka Tunggal Ika (Di dalam kepelbagaian, kita satu). Frasa ini diambil dari kitab Sitasoma, karangan Mpu Pranca pada zaman kerajaan Majapahit. Awalnya merupakan komitmen agama Buda Theravada dan Mahayana yang menunjukkan bahwa kedua agama baru dapat hidup secara berdampingan. Kitab Sitasoma dikarang oleh Mpu Pranca pada zaman kerajaan Majapahit. Semboyan Bhineka Tunggal Ika diambil dari kitab ini. Petikannya adalah sbb:
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Šiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa,