Bayangkan sebuah negara yang membanggakan diri sebagai negara berkembang dengan potensi besar di bidang ekonomi dan sosial. Setiap tahun, warganya dengan patuh membayar pajak, mulai dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, hingga berbagai pungutan lain yang menjadi bagian dari kewajiban hidup bernegara. Namun, ironisnya, ketika seorang ibu membawa anaknya yang demam tinggi ke puskesmas terdekat, ia harus mendapati bahwa dokter sedang tidak ada di tempat atau fasilitas kesehatan tidak memiliki obat yang diperlukan.
Realitas seperti ini menjadi potret nyata yang masih dialami oleh sebagian besar masyarakat di berbagai daerah, terutama di wilayah pedesaan dan pelosok. Pajak yang mereka bayarkan setiap tahunnya terasa tidak sebanding dengan fasilitas kesehatan yang mereka dapatkan. Pertanyaannya adalah: Di mana letak masalahnya? Mengapa masyarakat yang sudah menjalankan kewajibannya dengan baik tetap harus menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan layanan kesehatan yang layak?
Pajak Pondasi Utama Pembangunan Negara?
Sebagai sumber utama pendapatan negara, pajak sejatinya menjadi pilar penting dalam menopang jalannya pemerintahan. Pajak tidak hanya digunakan untuk membiayai berbagai program pemerintah, tetapi juga untuk membangun infrastruktur, pendidikan, dan tentu saja, layanan kesehatan. Namun, ketika membicarakan sektor kesehatan, tampaknya ada jurang besar antara harapan dan kenyataan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk sektor kesehatan terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2022, pemerintah mengalokasikan sekitar 5% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor kesehatan, sesuai dengan amanat Undang-Undang Kesehatan. Angka ini terlihat menjanjikan di atas kertas. Namun, realisasi di lapangan kerap jauh dari harapan.
Pembangunan rumah sakit dan puskesmas sering kali terhambat oleh birokrasi yang rumit, kurangnya pengawasan dalam pengelolaan dana, hingga kebijakan yang tidak tepat sasaran. Hasilnya, meski anggaran terus bertambah, masyarakat di berbagai daerah masih menghadapi persoalan klasik seperti minimnya fasilitas kesehatan, kurangnya tenaga medis, dan ketimpangan distribusi layanan.
Ketimpangan Akses dan Kesenjangan Kesehatan
Salah satu akar masalah dari minimnya fasilitas kesehatan adalah ketimpangan akses yang begitu mencolok antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, masyarakat memiliki akses ke rumah sakit modern dengan peralatan canggih dan tenaga medis yang kompeten. Namun, hal yang sama tidak berlaku bagi masyarakat di wilayah pelosok atau daerah terpencil.
Ambil contoh daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, atau Kalimantan. Untuk mendapatkan layanan kesehatan, masyarakat di sana sering kali harus menempuh perjalanan panjang hingga berjam-jam ke puskesmas terdekat. Tidak jarang, mereka harus menghadapi risiko terlambatnya penanganan medis karena jarak yang begitu jauh dan akses transportasi yang sulit.
Bukti lain yang menguatkan fakta ini adalah angka rasio dokter terhadap jumlah penduduk yang masih rendah di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2021, Indonesia memiliki rasio 0,46 dokter per 1.000 penduduk, jauh di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan rasio minimal 1 dokter per 1.000 penduduk. Ketimpangan ini semakin mencolok di wilayah-wilayah terpencil, di mana keberadaan dokter dan tenaga medis lainnya menjadi barang langka.