Hak atas privasi anak sering kali dikompromikan. Bayangkan sebuah foto sederhana saat anak sedang bermain di taman atau memakai seragam sekolah. Foto tersebut mungkin terlihat biasa saja bagi orang tua, tetapi bisa saja menyimpan informasi yang sensitif. Lokasi tempat tinggal, nama sekolah, atau aktivitas harian anak dapat dengan mudah terungkap melalui unggahan semacam ini.
Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh data dari sebuah penelitian di Inggris yang menunjukkan bahwa rata-rata seorang anak sudah memiliki jejak digital sejak usia dua tahun. Jejak digital ini mencakup berbagai unggahan yang dilakukan oleh orang tua tanpa pemahaman mendalam tentang konsekuensinya.
Lebih dari sekadar privasi, sharenting juga membuka potensi risiko penyalahgunaan data. Ada kasus di mana foto anak yang diunggah secara publik digunakan tanpa izin untuk keperluan komersial, bahkan menjadi sasaran eksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dampak Psikologis pada Anak
Selain isu privasi, dampak psikologis sharenting terhadap anak juga menjadi perhatian penting. Ketika anak tumbuh dan mulai menyadari kehadiran mereka di media sosial, ada kemungkinan mereka merasa malu, tidak nyaman, atau bahkan marah atas apa yang telah dibagikan oleh orang tua mereka.
Sebagai contoh, seorang remaja mungkin merasa terganggu ketika foto-foto masa kecil mereka yang dianggap lucu oleh orang tua tersebar di media sosial. Hal ini bisa memengaruhi harga diri dan kepercayaan diri mereka, terutama jika foto tersebut menjadi bahan candaan di lingkungan sekolah atau teman sebaya.
Psikolog anak menyatakan bahwa tindakan orang tua yang terlalu sering membagikan momen pribadi anak di media sosial dapat menciptakan tekanan sosial yang tidak perlu. Anak-anak mungkin merasa bahwa mereka harus selalu tampil sempurna atau memenuhi ekspektasi tertentu karena jejak digital yang telah dibuat oleh orang tua mereka.
Mengapa Bijak dalam Sharenting Itu Penting?
Memilih untuk bijak dalam sharenting adalah bentuk tanggung jawab moral dan legal sebagai orang tua. Praktik ini bukan hanya tentang apa yang ingin kamu bagikan, tetapi juga tentang melindungi masa depan anak dari dampak negatif yang mungkin timbul.
Jejak digital tidak hanya memengaruhi privasi, tetapi juga dapat berdampak pada aspek lain, seperti peluang kerja di masa depan. Di era di mana informasi digital bisa dengan mudah diakses, seorang calon pemberi kerja mungkin saja menemukan foto-foto atau informasi pribadi calon karyawan dari masa kecil mereka.
Selain itu, regulasi terkait privasi anak di dunia maya mulai diperketat di berbagai negara. Di Uni Eropa, misalnya, ada kebijakan General Data Protection Regulation (GDPR) yang melindungi hak atas privasi individu, termasuk anak-anak. Sementara di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang mulai diberlakukan juga memberikan perlindungan terhadap data anak-anak.