Namun, beberapa terobosan telah dilakukan untuk mengurangi ketergantungan ini. Penelitian mengenai obat berbasis herbal atau fitofarmaka terus meningkat. Fitofarmaka adalah kategori obat herbal yang telah melalui uji klinis dan diakui secara medis. Salah satu contohnya adalah ekstrak daun sambiloto yang dikenal memiliki potensi sebagai antivirus dan imunomodulator.
Sayangnya, meskipun upaya ini menggembirakan, pengembangan obat berbasis bahan alam di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah kurangnya dukungan dana riset. Anggaran penelitian di Indonesia hanya sekitar 0,3% dari PDB, jauh di bawah negara-negara maju yang rata-rata mengalokasikan 2-3% dari PDB mereka untuk riset. Selain itu, kurangnya kolaborasi antara peneliti dan industri farmasi sering kali menyebabkan hasil riset tidak dapat diimplementasikan secara komersial.
Masalah Sistemik yang Menghambat
Jika dilihat lebih dalam, ada beberapa masalah mendasar yang menghambat pengembangan vaksin dan obat-obatan di Indonesia. Pertama adalah persoalan infrastruktur. Banyak laboratorium penelitian di Indonesia yang belum memenuhi standar internasional, baik dari segi fasilitas maupun teknologi. Padahal, pengembangan vaksin dan obat-obatan membutuhkan alat dan teknologi canggih untuk memastikan akurasi dan efisiensi.
Kedua, kualitas sumber daya manusia juga menjadi tantangan. Meskipun Indonesia memiliki banyak ilmuwan berbakat, jumlah mereka masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan riset yang besar. Selain itu, banyak peneliti memilih bekerja di luar negeri karena peluang riset di Indonesia yang terbatas. Fenomena brain drain ini menjadi kerugian besar bagi negara.
Ketiga, masalah regulasi yang sering kali terlalu birokratis. Misalnya, izin penelitian dan pengujian klinis yang memakan waktu lama sering kali menjadi penghambat inovasi. Reformasi regulasi diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pengembangan produk farmasi.
Terakhir, kesadaran masyarakat tentang pentingnya mendukung produk dalam negeri masih rendah. Banyak masyarakat Indonesia yang lebih percaya pada produk impor, meskipun kualitas produk dalam negeri tidak kalah bersaing. Hal ini menjadi tantangan tambahan bagi industri farmasi lokal untuk membangun kepercayaan konsumen.
Peluang Besar yang Belum Dimanfaatkan Secara Optimal
Di tengah tantangan yang ada, Indonesia sebenarnya memiliki banyak peluang besar yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan pengembangan vaksin dan obat-obatan. Salah satunya adalah kekayaan biodiversitas. Dengan lebih dari 30.000 spesies tanaman, Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Tanaman seperti temulawak, jahe, dan kunyit telah lama dikenal memiliki khasiat obat, tetapi penelitian untuk mengembangkan bahan-bahan ini menjadi obat modern masih sangat terbatas.
Selain itu, perkembangan teknologi juga memberikan peluang baru. Penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan big data dapat mempercepat proses penelitian. Misalnya, AI dapat digunakan untuk menganalisis jutaan kombinasi senyawa kimia dalam waktu singkat, sehingga proses penemuan obat menjadi lebih efisien.
Peluang lainnya datang dari peningkatan kesadaran global terhadap pentingnya kemandirian farmasi. Pandemi COVID-19 menjadi pelajaran penting bahwa negara tidak boleh terlalu bergantung pada pasokan internasional. Banyak negara, termasuk Indonesia, mulai menyadari pentingnya membangun kapasitas domestik untuk memastikan keberlanjutan pasokan vaksin dan obat-obatan.