Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksploitasi Anak di Zaman Modern yang Tida Disadari

9 Januari 2025   14:58 Diperbarui: 9 Januari 2025   14:58 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kemajuan teknologi dan modernisasi, kita sering kali gagal menyadari bahaya laten yang mengintai di sekitar kita: eksploitasi anak. Eksploitasi anak bukan lagi sekadar memanfaatkan tenaga mereka untuk pekerjaan kasar, seperti yang sering terjadi di masa lalu. Kini, eksploitasi hadir dalam bentuk yang lebih halus dan tersamarkan di tengah dinamika kehidupan modern. Ironisnya, sebagian besar dari kita tanpa sadar berkontribusi pada fenomena ini.

Eksploitasi anak di era modern bertransformasi seiring perkembangan zaman. Teknologi, pendidikan, dan perubahan pola hidup justru membuka pintu-pintu baru bagi eksploitasi yang lebih sulit dikenali. Dari tekanan akademik yang berlebihan, pemanfaatan anak dalam dunia digital, hingga beban sosial yang tidak seharusnya mereka tanggung semua ini menjadi wujud eksploitasi yang perlahan menggerogoti hak-hak mereka.

Eksploitasi dalam Dunia Digital

Salah satu aspek yang paling mencolok di era modern adalah kehadiran teknologi dan media sosial. Platform digital yang awalnya diciptakan untuk mempermudah komunikasi dan memberikan hiburan, kini justru sering menjadi alat eksploitasi terhadap anak. Salah satu bentuk eksploitasi yang semakin marak adalah penggunaan anak sebagai konten di media sosial.

Banyak orang tua menjadikan anak-anak mereka sebagai pusat perhatian dalam video atau foto yang diunggah di platform seperti Instagram, YouTube, atau TikTok. Aktivitas ini sering kali dianggap sebagai hal yang wajar, bahkan menggemaskan. Namun, ketika konten-konten tersebut mulai dimonetisasi, anak-anak secara tidak langsung berubah menjadi "sumber penghasilan". Dalam banyak kasus, anak tidak memiliki kontrol atas kehidupan pribadinya yang terekspos ke publik.

Seorang anak, misalnya, mungkin harus mengikuti sesi pemotretan atau pengambilan video secara berulang demi menghasilkan konten yang menarik. Mereka sering kali diminta untuk tampil ceria atau mengikuti skenario tertentu, tanpa memperhatikan kenyamanan atau keinginan mereka. Privasi anak pun menjadi taruhannya. Data mereka terekspos ke publik, yang pada akhirnya meningkatkan risiko pelecehan atau kejahatan siber.

Penelitian yang dilakukan oleh organisasi perlindungan anak menunjukkan bahwa konten anak yang viral di internet sering kali disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, dampak psikologis pada anak yang tumbuh di bawah sorotan media sosial dapat menjadi serius. Mereka bisa merasa kehilangan identitas diri karena terus menerus "hidup" untuk menghibur audiens.

Tekanan Akademik yang Berlebihan

Modernisasi juga membawa standar baru dalam pendidikan. Prestasi akademik kini dianggap sebagai ukuran utama keberhasilan seorang anak. Banyak orang tua yang, dengan niat baik, mendorong anak-anak mereka untuk mencapai prestasi setinggi mungkin. Namun, dorongan ini sering kali berubah menjadi tekanan yang berlebihan.

Anak-anak diharapkan untuk selalu menjadi yang terbaik di kelas, memenangkan berbagai kompetisi, dan mengikuti sejumlah les tambahan. Jadwal mereka dipenuhi dengan aktivitas akademik tanpa memberikan ruang untuk bermain atau beristirahat. Fenomena ini tidak hanya membatasi hak anak untuk menikmati masa kecil mereka, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan mental mereka.

Banyak studi menunjukkan bahwa anak-anak yang terus-menerus ditekan untuk berprestasi cenderung mengalami kecemasan, stres, bahkan depresi. Mereka sering kali merasa bahwa nilai diri mereka ditentukan oleh angka atau penghargaan yang mereka peroleh. Akibatnya, mereka kehilangan semangat belajar dan merasa terasing dari dunia sekitarnya.

Sebagai contoh, seorang anak yang dipaksa mengikuti berbagai ujian tambahan demi masuk ke sekolah favorit mungkin kehilangan kesempatan untuk bermain dengan teman-temannya. Padahal, interaksi sosial dan waktu bermain sangat penting untuk perkembangan emosi dan kreativitas anak.

Eksploitasi di Sektor Ekonomi

Meski hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, melarang pekerja anak, praktik ini masih terus berlangsung, terutama di sektor informal. Banyak anak yang dilibatkan dalam pekerjaan keluarga, seperti membantu di pasar atau menjajakan dagangan di jalanan.

Dalam beberapa kasus, anak-anak terpaksa bekerja karena kondisi ekonomi keluarga yang sulit. Namun, sering kali mereka harus mengorbankan pendidikan demi membantu menopang keuangan keluarga. Mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dan berkembang, yang pada akhirnya menghambat potensi mereka di masa depan.

Laporan dari International Labour Organization (ILO) mencatat bahwa meskipun angka pekerja anak secara global menurun, sektor informal tetap menjadi wilayah abu-abu yang sulit diawasi. Di Indonesia, banyak anak yang masih ditemukan bekerja sebagai buruh tani, pemulung, atau penjual keliling. Kondisi ini tidak hanya melanggar hak anak, tetapi juga membahayakan kesehatan dan keselamatan mereka.

Dampak Jangka Panjang

Eksploitasi anak, dalam bentuk apa pun, memiliki dampak jangka panjang yang signifikan. Anak-anak yang mengalami tekanan berlebihan, kehilangan privasi, atau dipaksa bekerja di usia dini cenderung menghadapi berbagai masalah di kemudian hari.

Secara psikologis, mereka mungkin mengalami trauma, kehilangan rasa percaya diri, atau kesulitan membangun hubungan sosial. Secara fisik, pekerjaan yang berat atau tidak layak bisa merusak kesehatan mereka. Selain itu, anak-anak yang kehilangan kesempatan pendidikan akan kesulitan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, menciptakan siklus yang terus berulang.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk mengatasi eksploitasi anak di zaman modern, langkah pertama adalah meningkatkan kesadaran. Orang tua, pendidik, dan masyarakat umum perlu memahami bahwa eksploitasi tidak selalu hadir dalam bentuk yang ekstrem. Kadang, eksploitasi terlihat seperti sesuatu yang "normal" atau bahkan diterima secara sosial.

Pemerintah juga memiliki peran penting dalam menciptakan regulasi yang lebih ketat, terutama terkait penggunaan anak dalam konten digital. Hukuman yang tegas perlu diberlakukan terhadap pihak-pihak yang melanggar hak anak. Selain itu, program-program edukasi untuk mendukung kesejahteraan anak harus diperluas, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

Di sisi lain, orang tua perlu memahami bahwa anak bukanlah alat untuk memenuhi ambisi pribadi. Anak memiliki hak untuk tumbuh sesuai dengan potensi mereka tanpa tekanan atau ekspektasi yang berlebihan. Memberikan mereka ruang untuk bermain, beristirahat, dan mengeksplorasi dunia dengan caranya sendiri adalah langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar.

Kesimpulan

Eksploitasi anak di era modern adalah fenomena yang sering kali sulit dikenali, tetapi dampaknya nyata dan signifikan. Dari tekanan akademik hingga pemanfaatan anak sebagai konten digital, bentuk eksploitasi ini terus berkembang seiring perubahan zaman.

Penting bagi kita semua untuk menjadi lebih peka terhadap isu ini. Anak-anak adalah masa depan bangsa, dan melindungi mereka berarti melindungi masa depan kita sendiri. Dengan memahami, mengedukasi, dan mengambil tindakan nyata, kita bisa menciptakan dunia di mana anak-anak dapat tumbuh dengan bahagia, sehat, dan bebas dari eksploitasi.

Mengubah cara pandang terhadap eksploitasi anak bukanlah hal yang mudah, tetapi ini adalah langkah yang sangat diperlukan. Jangan biarkan eksploitasi yang "tidak disadari" ini terus menggerogoti generasi berikutnya. Mari bergerak bersama untuk memberikan mereka masa kecil yang layak dan penuh harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun