Namun, meskipun argumen-argumen ini masuk akal, penghapusan presidential threshold juga memiliki dampak besar yang tidak boleh diabaikan.
Dampak yang Berpotensi Membingungkan
Jika presidential threshold dihapus, salah satu dampak langsung yang akan terjadi adalah meningkatnya jumlah kandidat presiden. Dalam sistem tanpa ambang batas, setiap partai, termasuk yang memiliki perolehan suara kecil, berpotensi mengusung calon presiden. Ini tentu menjadi dilema. Di satu sisi, lebih banyak kandidat berarti lebih banyak pilihan bagi masyarakat. Namun di sisi lain, hal ini dapat memicu fragmentasi suara yang signifikan.
Sebagai contoh, jika ada 10 calon presiden yang maju dalam pemilu, kemungkinan besar tidak ada satu pun kandidat yang mendapatkan mayoritas suara signifikan pada putaran pertama. Hal ini akan memaksa pemilu dilanjutkan ke putaran kedua, di mana dua kandidat dengan suara terbanyak akan bersaing kembali. Selain memakan biaya yang sangat besar, proses ini juga berisiko memperpanjang ketegangan politik di masyarakat.
Selain itu, penghapusan presidential threshold juga dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Presiden yang terpilih tanpa dukungan mayoritas di DPR akan menghadapi kesulitan besar dalam menjalankan program kerjanya. Tanpa koalisi yang kuat, presiden bisa terjebak dalam konflik berkepanjangan dengan legislatif. Ini bukan hanya akan menghambat pengambilan keputusan, tetapi juga berdampak negatif pada percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Masalah lainnya adalah munculnya potensi kandidat populis yang hanya bermodalkan popularitas, tanpa visi dan misi yang jelas. Dalam kondisi di mana aturan presidential threshold dihapus, partai-partai kecil bisa saja mengusung calon yang populer di media sosial atau tokoh yang kontroversial untuk menarik perhatian. Namun, pemimpin semacam ini berpotensi menimbulkan masalah baru jika mereka tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negara dengan baik.
Bagaimana dengan Pengalaman Negara Lain?
Beberapa negara lain juga telah menerapkan atau bahkan menghapuskan ambang batas dalam sistem pemilu mereka. Salah satu contohnya adalah Filipina, yang tidak memiliki presidential threshold. Sistem ini memungkinkan banyak kandidat presiden maju dalam pemilu. Namun, pengalaman Filipina menunjukkan bahwa fragmentasi suara bisa sangat tinggi. Presiden terpilih sering kali hanya mendapatkan kurang dari 40% suara nasional, sehingga legitimasi kepemimpinan mereka kerap dipertanyakan.
Sebaliknya, negara-negara seperti Brasil dan Prancis menggunakan sistem ambang batas untuk memastikan bahwa kandidat presiden memiliki dukungan signifikan sejak awal pencalonan. Dengan cara ini, stabilitas politik dapat lebih terjaga, meskipun peluang bagi partai kecil lebih terbatas.
Indonesia tentu memiliki karakteristik politik yang berbeda dengan negara-negara tersebut. Namun, pengalaman mereka bisa menjadi pelajaran penting untuk mempertimbangkan apakah penghapusan presidential threshold benar-benar langkah yang tepat bagi demokrasi Indonesia.
Mencari Solusi yang Bijak