Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, pemilihan presiden menjadi salah satu tonggak utama yang menentukan arah bangsa. Namun, terdapat satu aturan yang sering menjadi sorotan dan perdebatan, yaitu presidential threshold. Meskipun awalnya diharapkan mampu menyederhanakan sistem pemilihan, aturan ini justru memunculkan berbagai persoalan mendasar. Presidential threshold telah menjadi isu hangat dalam diskusi politik karena dianggap menciptakan ketimpangan yang berpotensi menggerus esensi demokrasi itu sendiri.
Apa Itu Presidential Threshold?
Presidential threshold adalah ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Berdasarkan aturan yang berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, partai politik harus memiliki setidaknya 20 persen kursi di DPR atau mengantongi 25 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif untuk dapat mencalonkan pasangan calon.
Sekilas, aturan ini tampak sederhana dan logis. Ide dasarnya adalah memastikan bahwa hanya kandidat yang memiliki dukungan politik kuat yang dapat mencalonkan diri, sehingga proses politik menjadi lebih terkonsolidasi. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa aturan ini lebih banyak membawa dampak negatif dibandingkan manfaat yang diharapkan.
Mengapa Presidential Threshold Menjadi Masalah?
Salah satu persoalan utama yang muncul adalah bagaimana presidential threshold membatasi ruang gerak partai-partai politik kecil. Partai-partai ini sering kali tidak mampu memenuhi ambang batas yang ditentukan, sehingga harus bergabung dengan partai-partai besar melalui koalisi. Sayangnya, koalisi yang terbentuk sering kali tidak didasari oleh kesamaan visi atau misi, melainkan semata-mata untuk memenuhi syarat administrasi.
Kondisi ini menciptakan praktik politik transaksional, di mana kepentingan pragmatis lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Misalnya, partai kecil yang tidak memiliki kursi cukup di DPR terpaksa memberikan dukungan kepada partai besar dengan imbalan posisi dalam pemerintahan atau kesepakatan tertentu. Hal ini jelas melemahkan sistem demokrasi yang seharusnya didasarkan pada transparansi dan akuntabilitas.
Ketimpangan yang Ditimbulkan
Ketimpangan yang disebabkan oleh presidential threshold tidak hanya terbatas pada mekanisme koalisi. Lebih dari itu, aturan ini juga membatasi pluralisme politik. Dalam demokrasi, pluralisme politik adalah elemen penting yang memungkinkan berbagai ide, gagasan, dan aspirasi masyarakat dapat terwakili. Namun, dengan adanya presidential threshold, hanya partai-partai besar yang mendominasi proses pencalonan.
Kondisi ini berdampak langsung pada pilihan rakyat. Dalam pemilu presiden, kamu mungkin menyadari bahwa kandidat yang tersedia sangat terbatas. Hal ini bukan karena tidak ada calon lain yang berkualitas, melainkan karena aturan presidential threshold menghalangi mereka untuk tampil. Pada akhirnya, pemilih dihadapkan pada situasi di mana pilihan mereka menjadi terbatas, sehingga potensi untuk menemukan pemimpin alternatif yang mampu membawa perubahan menjadi semakin kecil.