Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kenaikan PPN justru mendorong praktik penghindaran pajak. Konsumen barang mewah yang memiliki sumber daya finansial lebih besar cenderung mencari cara untuk menghindari pajak, seperti membeli barang serupa di luar negeri atau melalui jalur tidak resmi. Jika ini terjadi, maka tujuan utama kebijakan ini untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan keadilan sosial tidak akan tercapai.
Perspektif Sosial dan Moralitas dalam Kebijakan PPN
Kenaikan PPN untuk barang mewah juga membawa dimensi sosial yang menarik untuk didiskusikan. Dalam masyarakat, konsumsi barang mewah sering kali menjadi simbol status dan prestise. Kebijakan ini bisa dilihat sebagai bentuk penegasan bahwa pemerintah ingin mengurangi hegemoni gaya hidup konsumtif yang sering kali tidak sejalan dengan nilai-nilai produktivitas dan keberlanjutan.
Namun, dari sisi lain, ada yang menganggap kebijakan ini terlalu menghakimi pola konsumsi individu. Mereka berpendapat bahwa membeli barang mewah adalah hak pribadi yang tidak seharusnya diintervensi oleh negara, selama pajak yang berlaku sudah dibayar. Apalagi, kelompok masyarakat yang mampu membeli barang mewah biasanya juga merupakan pembayar pajak terbesar dalam kategori lain, seperti Pajak Penghasilan (PPh).
Di sisi moralitas, kebijakan ini memberikan pesan penting bahwa mereka yang memiliki kemampuan lebih, secara finansial, memiliki tanggung jawab lebih besar dalam mendukung negara. Prinsip ini sejalan dengan etika keadilan sosial yang diusung dalam berbagai sistem perpajakan di seluruh dunia. Namun, efektivitas pesan moral ini sangat bergantung pada bagaimana kebijakan tersebut diterapkan dan dikomunikasikan kepada masyarakat.
Pembelajaran dari Negara Lain
Indonesia tidak sendirian dalam menerapkan tarif pajak tinggi untuk barang mewah. Negara-negara maju seperti Prancis, Jepang, dan Amerika Serikat juga memiliki kebijakan serupa. Di Prancis, misalnya, pajak barang mewah diterapkan pada barang seperti jam tangan eksklusif dan mobil sport. Pendapatan dari pajak ini digunakan untuk mendanai program sosial seperti pendidikan dan layanan kesehatan.
Namun, pengalaman negara-negara tersebut juga menunjukkan pentingnya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah kebocoran pajak. Di Jepang, pemerintah menggunakan teknologi digital untuk memantau transaksi barang mewah, sehingga potensi penghindaran pajak dapat diminimalkan. Model ini bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia, mengingat tantangan yang dihadapi dalam pengumpulan pajak sering kali berasal dari kelemahan sistem pengawasan.
Rekomendasi untuk Pelaksanaan yang Efektif
Agar kebijakan kenaikan PPN untuk barang mewah berhasil mencapai tujuan yang diharapkan, pemerintah perlu memastikan beberapa hal. Pertama, sistem pengawasan harus diperkuat untuk mencegah praktik penghindaran pajak. Salah satu caranya adalah dengan memperluas penggunaan teknologi dalam proses pengumpulan pajak, seperti pelacakan digital atas transaksi barang mewah.
Kedua, komunikasi yang transparan kepada masyarakat sangat penting. Pemerintah perlu menjelaskan secara rinci mengapa kebijakan ini diperlukan, bagaimana mekanismenya, dan manfaat apa yang diharapkan bagi masyarakat luas. Transparansi ini akan membantu mengurangi resistensi dari berbagai pihak, terutama pelaku industri yang terdampak langsung.