Pendidikan, sejak dahulu kala, dipandang sebagai jendela menuju kemajuan individu dan masyarakat. Dalam sistem yang ideal, pendidikan seharusnya dapat diakses oleh semua orang tanpa memandang status sosial atau kemampuan finansial. Namun, di era modern ini, paradigma tersebut mulai bergeser. Pendidikan yang sejatinya merupakan hak dasar justru kerap kali diperlakukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Fenomena ini dikenal sebagai komersialisasi pendidikan, di mana institusi pendidikan dan pihak-pihak terkait mengejar keuntungan finansial dengan mengorbankan prinsip-prinsip fundamental pendidikan itu sendiri.
Komersialisasi pendidikan bukan hanya soal mahalnya biaya sekolah atau kuliah. Lebih dari itu, fenomena ini menyiratkan ketimpangan sistemik yang mengakar dalam ekosistem pendidikan, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri lebih dalam bagaimana pendidikan dijadikan lahan bisnis, mengapa hal ini terjadi, apa dampaknya bagi masyarakat, dan langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Pendidikan Antara Hak Dasar dan Komoditas Ekonomi
Konstitusi Indonesia jelas menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang dapat diakses oleh semua kalangan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan fakta yang bertolak belakang.
Sekolah-sekolah swasta elite di kota-kota besar memberlakukan biaya yang sangat tinggi, menjadikannya hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu. Di sisi lain, sekolah negeri yang seharusnya lebih inklusif sering kali tetap membutuhkan biaya tambahan seperti uang bangunan, seragam, buku pelajaran, dan berbagai pungutan lain. Biaya tersebut sering kali menjadi beban berat bagi keluarga berpenghasilan rendah, meskipun pemerintah telah menyediakan subsidi pendidikan melalui program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Lebih mencengangkan lagi, perguruan tinggi negeri yang dulunya dikenal dengan biaya terjangkau kini juga mulai memberlakukan sistem uang kuliah tunggal (UKT) yang sering kali tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi sebagian besar masyarakat. Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa pendidikan berkualitas hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar mahal.
Mengapa Pendidikan Dijadikan Lahan Bisnis?
Ada beberapa faktor yang mendorong fenomena komersialisasi pendidikan. Pertama adalah globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Dalam era ini, segala aspek kehidupan cenderung dipandang sebagai peluang bisnis, termasuk pendidikan. Pendidikan diposisikan sebagai investasi pribadi yang dapat meningkatkan daya saing individu di pasar kerja. Hal ini mendorong institusi pendidikan untuk berlomba-lomba menawarkan program-program unggulan yang dijual dengan harga premium.
Kedua, minimnya pengawasan pemerintah terhadap institusi pendidikan swasta. Dalam banyak kasus, institusi ini bebas menentukan biaya yang harus dibayar oleh siswa atau mahasiswa tanpa adanya batasan yang jelas. Kondisi ini diperparah dengan ketidakseimbangan distribusi anggaran pendidikan. Meski pemerintah telah mengalokasikan 20% anggaran nasional untuk pendidikan, sebagian besar dana tersebut terkonsentrasi pada program-program tertentu tanpa menjangkau daerah-daerah tertinggal.
Ketiga, perubahan paradigma dalam masyarakat. Pendidikan sering kali dipersepsikan sebagai simbol status sosial. Sekolah-sekolah mahal dianggap sebagai cerminan keberhasilan finansial orang tua, bukan semata-mata sebagai sarana pembelajaran. Hal ini menciptakan budaya konsumtif di dunia pendidikan, di mana fasilitas mewah dan merek institusi menjadi daya tarik utama, bukan kualitas pengajaran.
Dampak Komersialisasi Pendidikan
Komersialisasi pendidikan membawa dampak yang sangat kompleks dan multidimensional. Dampak pertama yang paling jelas terlihat adalah diskriminasi akses pendidikan. Dalam kondisi seperti ini, hanya mereka yang berasal dari keluarga mampu yang dapat menikmati fasilitas pendidikan berkualitas. Sementara itu, anak-anak dari keluarga kurang mampu harus puas dengan institusi pendidikan yang minim fasilitas, kurang tenaga pengajar berkualitas, dan memiliki kurikulum yang tertinggal.
Selain itu, fokus institusi pendidikan cenderung bergeser dari pembelajaran ke arah pemasaran. Banyak sekolah dan universitas lebih sibuk mempromosikan nama besar mereka melalui iklan atau kerja sama dengan korporasi daripada meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini menurunkan nilai intrinsik pendidikan sebagai sarana pembentukan karakter dan moral.
Di sisi lain, tekanan finansial yang muncul akibat tingginya biaya pendidikan juga berdampak pada psikologi siswa dan orang tua. Banyak keluarga yang harus berhutang demi menyekolahkan anak-anak mereka di institusi terbaik. Tak jarang, siswa juga merasa terbebani untuk mencapai prestasi tinggi sebagai imbal balik dari investasi besar yang dikeluarkan oleh orang tua mereka. Situasi ini menciptakan lingkungan belajar yang penuh tekanan, bukan dukungan.
Bukti-Bukti Empiris
Fenomena ini dapat dilihat dari data-data yang ada. Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, hanya sekitar 25% siswa SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Salah satu penyebab utamanya adalah tingginya biaya kuliah. Selain itu, survei dari lembaga pendidikan internasional menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam negara dengan tingkat kesenjangan pendidikan yang cukup tinggi di Asia Tenggara.
Di sisi lain, munculnya institusi pendidikan berbasis internasional di kota-kota besar menegaskan adanya segregasi pendidikan berdasarkan kelas sosial. Sementara sekolah-sekolah ini menawarkan kurikulum global dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah per tahun, sekolah di daerah terpencil sering kali bahkan tidak memiliki fasilitas dasar seperti meja, kursi, dan buku pelajaran.
Langkah Menuju Pendidikan yang Inklusif
Mengatasi komersialisasi pendidikan membutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, institusi pendidikan, hingga masyarakat. Pemerintah harus lebih tegas dalam mengatur biaya pendidikan, terutama di sekolah-sekolah swasta dan perguruan tinggi. Transparansi anggaran juga sangat diperlukan agar dana pendidikan benar-benar digunakan untuk kepentingan siswa dan mahasiswa.
Selain itu, perlu ada pergeseran paradigma dalam masyarakat. Pendidikan harus dipahami sebagai proses pembelajaran yang berkelanjutan, bukan sekadar alat untuk mendapatkan gelar atau status sosial. Orang tua juga perlu mendidik anak-anak mereka untuk fokus pada nilai-nilai moral, kreativitas, dan inovasi daripada sekadar pencapaian akademik.
Institusi pendidikan, baik negeri maupun swasta, harus kembali pada misi utamanya: mencerdaskan kehidupan bangsa. Fokus mereka tidak boleh hanya pada keuntungan, tetapi pada kualitas pengajaran, pembinaan karakter, dan pemberdayaan siswa untuk menjadi individu yang mandiri dan produktif.
Kesimpulan
Ketika pendidikan dijadikan lahan bisnis, tujuan utamanya sebagai hak dasar setiap individu terancam terabaikan. Komersialisasi pendidikan tidak hanya memperlebar kesenjangan sosial tetapi juga merusak esensi pendidikan itu sendiri. Dalam menghadapi tantangan ini, dibutuhkan kesadaran kolektif dan komitmen yang kuat untuk mengembalikan pendidikan ke jalur yang benar. Pendidikan harus menjadi alat pemersatu bangsa, bukan pemecah belah berdasarkan status ekonomi.
Dengan langkah nyata dan kesadaran bersama, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan berkeadilan bagi semua. Sebab, masa depan bangsa ini bergantung pada seberapa baik kita mendidik generasi penerusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H