Wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% memunculkan gelombang kritik yang meluas di kalangan masyarakat Indonesia. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah yang kurang tepat, terutama karena kondisi ekonomi saat ini masih dalam masa pemulihan pasca pandemi COVID-19. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah respons pemerintah yang terlihat abai terhadap gelombang penolakan ini. Kebungkaman pemerintah dalam menghadapi kritik mengundang pertanyaan besar tentang transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kebijakan fiskal yang mereka terapkan.
Mengapa PPN 12% Menjadi Isu Kontra?
Sebagai pajak konsumsi, PPN adalah salah satu sumber pendapatan negara yang signifikan. Namun, kenaikan PPN bukanlah kebijakan yang berdampak netral. Ketika tarif PPN dinaikkan, beban tersebut secara langsung akan dialihkan kepada konsumen. Artinya, setiap pembelian barang atau jasa yang dikenakan PPN otomatis akan lebih mahal.
Dalam konteks Indonesia, langkah menaikkan PPN justru dilakukan di tengah situasi yang tidak ideal. Tingkat inflasi yang sedang naik, biaya hidup yang kian tinggi, dan pemulihan ekonomi yang belum stabil membuat masyarakat terutama golongan menengah ke bawah sulit menyesuaikan diri. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), daya beli masyarakat Indonesia pada 2023 belum kembali ke tingkat pra-pandemi. Banyak rumah tangga masih berjuang dengan kebutuhan dasar, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.
Kenaikan PPN menjadi 12% juga diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap harga kebutuhan pokok. Dalam sebuah laporan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dijelaskan bahwa kebijakan ini berpotensi menaikkan harga barang kebutuhan pokok hingga 5%. Akibatnya, masyarakat kecil yang paling rentan terhadap kenaikan harga akan semakin tertekan.
Minimnya Dialog dan Transparansi Pemerintah
Hal yang paling mengundang kritik dalam isu ini adalah kurangnya transparansi pemerintah dalam merumuskan kebijakan kenaikan PPN. Sebuah kebijakan yang memiliki dampak luas seperti ini seharusnya dibangun berdasarkan dialog dan konsultasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Namun, sejauh ini, respons pemerintah terhadap kritik masyarakat terkesan datar dan tidak memadai.
Sikap pemerintah yang cenderung bungkam mengesankan adanya jarak yang semakin lebar antara pengambil kebijakan dan rakyat. Padahal, kebijakan fiskal seperti ini seharusnya didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak memperburuk kesenjangan ekonomi yang sudah ada.
Ketertutupan pemerintah semakin terlihat ketika isu ini menjadi bahan perdebatan di ruang publik. Beberapa kelompok masyarakat dan akademisi telah meminta agar pemerintah menyediakan kajian yang jelas terkait proyeksi dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, permintaan ini tidak direspons secara terbuka. Tanpa penjelasan yang memadai, wajar jika masyarakat mempertanyakan motif dan dasar kebijakan ini.
Dampak Ekonomi dan Sosial Kenaikan PPN