Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Daddy Blues, Ketika Ayah Kesulitan Mengelola Kesehatan Mentalnya

20 Desember 2024   13:35 Diperbarui: 20 Desember 2024   13:46 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah dinamika kehidupan modern, sering kali kita mendengar cerita tentang perjuangan para ibu dalam menjalani peran mereka, mulai dari kehamilan hingga pengasuhan anak. Namun, jarang yang membahas apa yang dialami oleh ayah. Padahal, menjadi seorang ayah juga membawa perubahan besar dalam hidup, termasuk tekanan emosional dan mental yang sering kali tidak mereka sadari atau, bahkan jika disadari, sulit untuk diungkapkan. Fenomena ini dikenal sebagai daddy blues, sebuah istilah yang masih asing bagi banyak orang, namun memiliki dampak yang nyata terhadap kehidupan keluarga.

Mengurai Daddy Blues

Daddy blues adalah kondisi emosional yang terjadi pada ayah, khususnya setelah kelahiran anak atau saat menghadapi tantangan dalam pengasuhan. Banyak yang mengira stres semacam ini hanya dialami oleh ibu, seperti pada baby blues atau depresi pascamelahirkan. Namun, studi menunjukkan bahwa ayah juga rentan terhadap tekanan emosional ini. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Affective Disorders pada 2020 mengungkapkan bahwa sekitar 10% hingga 12% ayah mengalami gejala depresi atau kecemasan setelah kelahiran anak mereka.

Masalahnya, banyak ayah tidak menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah bentuk tekanan psikologis. Mereka mungkin hanya merasa lebih cepat lelah, kurang sabar, atau kehilangan semangat dalam menjalani rutinitas. Tidak sedikit pula yang merasa terjebak antara tuntutan pekerjaan, ekspektasi keluarga, dan perubahan besar dalam kehidupan yang datang bersamaan.

Kamu mungkin bertanya, mengapa hal ini jarang dibahas? Jawabannya terletak pada stigma yang melekat pada konsep kesehatan mental, terutama pada laki-laki. Sebagai bagian dari norma masyarakat patriarki, laki-laki sering kali dianggap sebagai sosok yang harus kuat, tak tergoyahkan, dan jarang menunjukkan emosi. Ketika seorang ayah merasa lelah secara mental atau tertekan, mereka kerap memilih untuk memendam perasaan itu karena takut dianggap lemah.

Mengapa Ayah Rentan Mengalami Daddy Blues?

Ada banyak faktor yang memengaruhi kesehatan mental seorang ayah. Salah satunya adalah perubahan identitas. Ketika seorang pria menjadi ayah, ada pergeseran besar dalam cara ia melihat dirinya sendiri. Tiba-tiba, ia tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga terhadap keluarga kecil yang sangat bergantung padanya. Pergeseran ini sering kali membawa kebingungan dan ketakutan, terutama jika mereka merasa belum siap menghadapi tanggung jawab sebesar itu.

Tekanan finansial juga menjadi salah satu pemicu utama. Dalam banyak keluarga, ayah masih sering dipandang sebagai pencari nafkah utama. Hal ini menciptakan beban mental yang luar biasa, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi seperti saat pandemi atau krisis global lainnya. Ketika seorang ayah merasa gagal memenuhi kebutuhan finansial keluarga, rasa bersalah dan malu sering kali menghantui.

Selain itu, keterbatasan dukungan sosial juga memainkan peran penting. Ibu sering kali memiliki kelompok dukungan, seperti teman sesama ibu atau komunitas pengasuhan. Sementara itu, para ayah jarang memiliki ruang untuk berbagi pengalaman. Mereka merasa sendirian dalam menghadapi tantangan, yang akhirnya memperburuk rasa isolasi dan tekanan.

Dampak Daddy Blues pada Kehidupan Keluarga

Daddy blues bukan hanya masalah pribadi yang memengaruhi ayah itu sendiri. Kondisi ini memiliki dampak yang luas pada keluarga. Ketika seorang ayah merasa tertekan, hal itu dapat memengaruhi cara ia berinteraksi dengan pasangan dan anak-anak. Misalnya, seorang ayah yang berada dalam kondisi emosional yang tidak stabil mungkin lebih sering marah, menarik diri dari percakapan, atau menjadi kurang terlibat dalam kegiatan keluarga.

Dampak ini juga dirasakan oleh anak-anak. Studi psikologi menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki hubungan dekat dengan ayah mereka cenderung memiliki perkembangan emosional yang lebih baik. Sebaliknya, ketika hubungan ini terganggu akibat daddy blues, anak-anak dapat mengalami masalah emosional, seperti kecemasan atau kesulitan dalam membangun hubungan dengan orang lain.

Lebih jauh lagi, hubungan antara pasangan juga berisiko terganggu. Pasangan yang merasa tidak mendapatkan dukungan emosional dari ayah sering kali merasa frustrasi atau kecewa. Hal ini dapat memicu konflik dalam rumah tangga, yang pada akhirnya memperburuk kondisi mental semua anggota keluarga.

Ayah yang Kehilangan Dirinya

Mari kita ambil sebuah ilustrasi cerita sebut saja Budi, seorang pria berusia 35 tahun, adalah seorang pekerja kantoran yang baru saja menjadi ayah. Awalnya, ia merasa senang menyambut kelahiran anak pertamanya. Namun, seiring waktu, Budi mulai merasa kewalahan. Ia harus bangun lebih awal untuk membantu mengganti popok, bekerja sepanjang hari, dan pulang ke rumah dengan harapan bisa membantu istrinya mengurus bayi. Hari-harinya penuh dengan rutinitas tanpa akhir, dan ia merasa kehilangan waktu untuk dirinya sendiri.

Budi mulai merasa tidak berguna ketika melihat istrinya lebih cekatan mengurus bayi, sementara ia sendiri sering merasa canggung. "Apa aku ini ayah yang buruk?" pikirnya setiap kali ia merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bukannya membicarakan perasaannya, Budi memilih memendam semuanya. Akibatnya, ia menjadi lebih sering marah dan menarik diri dari keluarganya. Konflik dengan istrinya pun semakin sering terjadi.

Apa yang dialami Budi adalah contoh klasik dari daddy blues. Jika dibiarkan, kondisi seperti ini bisa berkembang menjadi depresi yang lebih serius. Sayangnya, banyak ayah seperti Budi yang tidak tahu harus mencari bantuan ke mana.

Mengapa Penting Membahas Daddy Blues?

Kesehatan mental ayah adalah topik yang sangat penting, namun sering kali diabaikan. Jika kita hanya fokus pada kesehatan mental ibu, kita kehilangan setengah dari komponen keluarga yang juga berkontribusi besar terhadap kesejahteraan anak-anak. Ayah yang sehat secara mental dapat menjadi panutan yang baik, menciptakan hubungan yang positif, dan memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan anak-anak.

Namun, untuk mendukung para ayah, kita harus terlebih dahulu menghapus stigma yang melekat pada isu kesehatan mental. Masyarakat perlu memahami bahwa tidak ada yang salah dengan merasa lelah atau stres. Bahkan, mengakui perasaan ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan.

Langkah berikutnya adalah menciptakan ruang bagi para ayah untuk berbicara. Dukungan sosial memainkan peran besar dalam membantu seseorang menghadapi tekanan mental. Jika ayah memiliki tempat untuk berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi, mereka akan lebih mudah untuk melepaskan beban yang mereka rasakan.

Memahami Solusi yang Bisa di Ambil

Meski daddy blues adalah masalah yang kompleks, ada banyak cara untuk mengatasinya. Yang paling penting adalah kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Jika kamu seorang ayah yang merasa tertekan, cobalah untuk berhenti sejenak dan mendengarkan dirimu sendiri. Apa yang kamu rasakan adalah valid, dan tidak ada yang salah dengan mencari bantuan.

Berbicara dengan pasangan tentang apa yang kamu rasakan juga sangat penting. Banyak ayah merasa bahwa mereka harus menanggung semuanya sendiri, padahal pasangan adalah tim yang seharusnya saling mendukung. Selain itu, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional, seperti konselor atau psikolog. Mereka bisa membantumu menemukan cara untuk mengelola stres dan tekanan dengan lebih baik.

Kesehatan fisik juga tidak boleh diabaikan. Olahraga, pola makan sehat, dan cukup tidur dapat membantu meningkatkan kesehatan mental secara keseluruhan. Luangkan waktu untuk dirimu sendiri, meskipun hanya beberapa menit sehari. Hal-hal kecil seperti membaca buku, mendengarkan musik, atau berjalan-jalan di taman bisa membantu mengurangi stres.

Kesimpulan

Daddy blues adalah masalah yang nyata, dan para ayah yang mengalaminya membutuhkan dukungan dari keluarga, teman, dan masyarakat. Ayah juga manusia, dengan perasaan dan batasan emosional. Mengakui bahwa mereka juga membutuhkan perhatian adalah langkah penting dalam menciptakan keluarga yang sehat dan harmonis.

Sebagai masyarakat, kita perlu lebih terbuka untuk membicarakan isu ini. Dengan begitu, kita bisa membantu para ayah yang sedang berjuang menghadapi daddy blues untuk bangkit dan menjadi figur yang kuat, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Karena pada akhirnya, ayah yang bahagia adalah kunci bagi keluarga yang bahagia.

Jadi, mari kita ubah cara kita memandang ayah dan peran mereka dalam keluarga. Bukan hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai individu yang layak mendapatkan dukungan emosional seperti siapa pun lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun