Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Kelas Sosial Dijadikan Alat Diskriminasi

19 Desember 2024   15:41 Diperbarui: 19 Desember 2024   15:41 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Diskriminasi.Pexels.com/Yan Krukau

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kelas sosial masih menjadi salah satu isu yang jarang disorot secara mendalam. Padahal, dampaknya merasuki hampir setiap aspek kehidupan kita. Dari peluang pendidikan hingga akses terhadap pekerjaan yang layak, kelas sosial sering kali menjadi sekat tak terlihat yang membatasi mobilitas seseorang. Lebih parahnya, kelas sosial yang pada awalnya merupakan deskripsi kondisi ekonomi atau posisi dalam masyarakat kini sering digunakan sebagai alat diskriminasi. Fenomena ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat kemajuan sosial secara keseluruhan.

Bayangkan kamu berada dalam sebuah lingkungan perkantoran elit. Seorang manajer baru hadir dengan latar belakang pendidikan dari universitas ternama dan pakaian yang mencerminkan status ekonominya. Sementara itu, seorang karyawan lama, yang telah bertahun-tahun membuktikan kompetensinya, hanya dipandang sebelah mata karena ia berasal dari daerah terpencil dan tidak memiliki latar belakang pendidikan serupa. Di sini, bukan hanya kompetensi yang diabaikan, tetapi juga martabat individu.

Diskriminasi berbasis kelas sosial memang kerap terjadi secara halus, tetapi dampaknya sangat nyata dan sering kali meninggalkan luka yang dalam bagi mereka yang menjadi korbannya.

Asal Usul Kelas Sosial dan Implikasinya

Kelas sosial adalah konsep yang telah ada sejak lama dalam peradaban manusia. Pada era feodal, kelas sosial ditentukan oleh kelahiran. Kaum bangsawan, yang memegang kekuasaan dan kekayaan, memanfaatkan status mereka untuk menekan kaum petani dan pekerja. Sistem ini bertahan selama berabad-abad, membangun hierarki sosial yang sulit ditembus.

Namun, meskipun dunia telah mengalami modernisasi, jejak-jejak stratifikasi sosial masih bertahan hingga saat ini. Kelas sosial kini lebih sering dikaitkan dengan faktor ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan. Sayangnya, alih-alih menjadi alat analisis untuk memahami kesenjangan, kelas sosial justru sering dijadikan pembenaran untuk memperlakukan seseorang dengan tidak adil.

Contoh nyata dari hal ini adalah stigma terhadap mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah. Banyak orang beranggapan bahwa kemiskinan adalah hasil dari kurangnya usaha atau kemalasan. Narasi ini, yang sering kali disebarkan oleh media dan masyarakat kelas atas, mengabaikan fakta bahwa kemiskinan sering kali merupakan hasil dari sistem yang tidak adil.

Menurut data dari World Bank, lebih dari 700 juta orang di dunia hidup dalam kemiskinan ekstrem, dengan akses terbatas terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Di Indonesia sendiri, meskipun tingkat kemiskinan menurun dalam beberapa dekade terakhir, ketimpangan masih menjadi tantangan besar. Mereka yang lahir dalam keluarga miskin memiliki peluang yang jauh lebih kecil untuk memperbaiki kondisi mereka dibandingkan mereka yang lahir dalam keluarga kaya.

Pendidikan Ladang Subur untuk Diskriminasi Kelas Sosial

Pendidikan seharusnya menjadi jalan utama untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, kenyataannya, sistem pendidikan sering kali memperkuat diskriminasi berbasis kelas sosial.

Sekolah-sekolah unggulan dan universitas bergengsi kerap menjadi simbol status sosial. Biaya masuk yang tinggi, ditambah dengan tuntutan untuk mengikuti berbagai les tambahan, membuat akses ke pendidikan berkualitas menjadi hampir mustahil bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan bahwa siswa dari latar belakang ekonomi rendah memiliki kemungkinan lebih kecil untuk berhasil di sekolah dibandingkan dengan rekan mereka yang berasal dari keluarga kaya. Ketimpangan ini tidak hanya disebabkan oleh perbedaan sumber daya, tetapi juga ekspektasi sosial.

Misalnya, seorang siswa dari keluarga miskin mungkin menghadapi tekanan untuk bekerja membantu keluarga daripada fokus pada pendidikan. Sementara itu, siswa dari keluarga kaya sering kali memiliki dukungan penuh untuk mengejar pendidikan setinggi mungkin. Hal ini menciptakan kesenjangan yang semakin melebar seiring waktu.

Diskriminasi di Dunia Kerja

Ketika seseorang berhasil menyelesaikan pendidikan, perjuangan melawan diskriminasi kelas sosial belum berakhir. Dunia kerja adalah arena lain di mana kelas sosial sering kali menjadi penentu kesuksesan seseorang.

Bayangkan seorang lulusan baru dari universitas negeri di daerah terpencil yang mencoba melamar pekerjaan di perusahaan multinasional. Meskipun memiliki kualifikasi yang memadai, ia mungkin akan kalah bersaing dengan lulusan dari universitas ternama di kota besar, hanya karena anggapan bahwa universitas tersebut "lebih bergengsi."

Selain itu, jaringan sosial sering kali menjadi faktor penting dalam dunia kerja. Mereka yang berasal dari keluarga kaya cenderung memiliki koneksi yang lebih luas, yang dapat membuka pintu ke peluang kerja yang lebih baik. Sebaliknya, mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah harus bekerja lebih keras hanya untuk mendapatkan kesempatan yang sama.

Dampak Psikologis dan Sosial

Diskriminasi berbasis kelas sosial tidak hanya berdampak pada peluang seseorang, tetapi juga pada kesehatan mental dan martabat mereka. Mereka yang terus-menerus dipandang rendah karena status sosial mereka sering kali merasa tidak berharga.

Penelitian menunjukkan bahwa stigma sosial dapat menyebabkan rendahnya kepercayaan diri, kecemasan, dan depresi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memengaruhi produktivitas seseorang, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Selain itu, diskriminasi kelas sosial juga menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Ketimpangan yang terus membesar dapat memicu konflik sosial, seperti yang telah terjadi di banyak negara.

Membongkar Mitos tentang Kelas Sosial

Salah satu langkah pertama untuk mengatasi diskriminasi ini adalah membongkar mitos-mitos yang melekat pada kelas sosial. Kemiskinan bukanlah hasil dari kemalasan, melainkan sering kali merupakan hasil dari struktur ekonomi yang tidak adil.

Di sisi lain, kekayaan tidak selalu mencerminkan kerja keras atau kecerdasan seseorang. Banyak individu kaya yang mewarisi kekayaan mereka atau mendapatkan keuntungan dari sistem yang sudah menguntungkan mereka sejak awal.

Kesadaran ini penting untuk mengubah cara kita memandang orang lain. Dengan memahami bahwa kelas sosial bukanlah indikator nilai seseorang, kita dapat mulai membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Mengatasi diskriminasi kelas sosial memerlukan upaya kolektif. Pemerintah, institusi pendidikan, perusahaan, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan peluang yang setara bagi semua individu, terlepas dari latar belakang mereka.

Salah satu langkah penting adalah memastikan akses yang setara terhadap pendidikan. Program beasiswa untuk siswa kurang mampu, peningkatan kualitas sekolah di daerah terpencil, dan subsidi pendidikan adalah beberapa cara untuk mengurangi kesenjangan.

Selain itu, di tempat kerja, perusahaan harus menilai kandidat berdasarkan kompetensi mereka, bukan latar belakang sosial atau pendidikan. Kebijakan inklusi dan keberagaman dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil.

Namun, perubahan terbesar harus datang dari cara kita memandang satu sama lain. Setiap individu memiliki nilai yang melekat pada dirinya, yang tidak ditentukan oleh kelas sosial mereka. Dengan menghormati dan menghargai setiap orang sebagai manusia, kita dapat mematahkan rantai diskriminasi yang telah lama membelenggu masyarakat kita.

Kesimpulan

Kelas sosial seharusnya hanya menjadi deskripsi, bukan alat diskriminasi. Namun, kenyataannya, stratifikasi sosial sering kali digunakan untuk membatasi peluang dan memperkuat ketimpangan.

Dampak dari diskriminasi ini sangat luas, mulai dari pendidikan hingga dunia kerja, dan bahkan kesehatan mental. Namun, dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita dapat mengatasi masalah ini.

Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang adil dan inklusif, di mana setiap individu dapat mencapai potensinya tanpa dibatasi oleh kelas sosial. Karena pada akhirnya, kemajuan sejati hanya bisa dicapai ketika semua orang diberi kesempatan yang sama untuk berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun