Namun, penghematan ini harus dibayar mahal dengan biaya transportasi yang tinggi. Menurut survei yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan, rata-rata pengeluaran transportasi warga kota satelit mencapai 20-30 persen dari total pendapatan mereka. Belum lagi waktu yang terbuang selama perjalanan, yang sebenarnya bisa digunakan untuk aktivitas produktif lainnya.
Dampak Sosial dan Psikologis yang Tak Terelakkan
Salah satu dampak terbesar dari fenomena pergi pagi pulang malam adalah hilangnya waktu berkualitas bersama keluarga. Para pekerja sering kali hanya punya sedikit waktu untuk berinteraksi dengan pasangan atau anak-anak mereka. Bahkan, tidak jarang anak-anak tumbuh dengan perasaan kurang dekat dengan orang tuanya karena minimnya komunikasi dan kebersamaan.
"Ayah saya hampir selalu tidak ada di rumah saat saya bangun atau pulang sekolah," cerita Aisyah, seorang remaja yang tinggal di Bekasi. "Kadang saya merasa lebih dekat dengan nenek daripada dengan ayah sendiri karena jarang punya waktu bersama."
Kondisi ini memunculkan berbagai dampak psikologis, baik bagi para pekerja maupun anggota keluarganya. Menurut psikolog, tekanan akibat perjalanan panjang dan minimnya waktu istirahat bisa memicu stres kronis, kelelahan mental, hingga depresi.
Di sisi lain, dampak sosial dari pola hidup ini juga terlihat dari semakin banyaknya keluarga yang memilih tinggal terpisah. Beberapa pasangan suami istri memilih untuk tinggal di dua tempat berbeda demi mendekatkan salah satu orang tua ke lokasi kerja, meski ini berarti mengurangi intensitas kebersamaan keluarga.
Transportasi Publik yang Belum Optimal
Sebagai solusi, transportasi publik sering kali menjadi andalan para komuter. Moda seperti KRL, MRT, hingga bus Transjakarta dianggap sebagai alternatif yang lebih hemat dan efisien dibandingkan kendaraan pribadi. Namun, kapasitas moda transportasi ini belum mampu mengimbangi jumlah penumpang yang terus meningkat.
Di jam-jam sibuk, KRL Commuter Line sering kali dipadati hingga melampaui kapasitas idealnya. Penumpang harus berdesakan masuk, bahkan tidak jarang harus berdiri sepanjang perjalanan. "Kadang rasanya seperti ikan sarden di dalam kaleng," keluh Lina, seorang pekerja asal Tangerang.
Selain itu, keterbatasan akses transportasi dari wilayah tertentu juga menjadi kendala. Banyak area di pinggiran Jakarta yang belum terhubung langsung dengan moda transportasi massal, sehingga memaksa penduduknya menggunakan kendaraan pribadi atau ojek online, yang justru menambah beban biaya perjalanan.
Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Baik