Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pergi Pagi Pulang Malam, Potret Miris Warga Kota Satelit

19 Desember 2024   14:13 Diperbarui: 19 Desember 2024   14:13 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, penghematan ini harus dibayar mahal dengan biaya transportasi yang tinggi. Menurut survei yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan, rata-rata pengeluaran transportasi warga kota satelit mencapai 20-30 persen dari total pendapatan mereka. Belum lagi waktu yang terbuang selama perjalanan, yang sebenarnya bisa digunakan untuk aktivitas produktif lainnya.

Dampak Sosial dan Psikologis yang Tak Terelakkan

Salah satu dampak terbesar dari fenomena pergi pagi pulang malam adalah hilangnya waktu berkualitas bersama keluarga. Para pekerja sering kali hanya punya sedikit waktu untuk berinteraksi dengan pasangan atau anak-anak mereka. Bahkan, tidak jarang anak-anak tumbuh dengan perasaan kurang dekat dengan orang tuanya karena minimnya komunikasi dan kebersamaan.

"Ayah saya hampir selalu tidak ada di rumah saat saya bangun atau pulang sekolah," cerita Aisyah, seorang remaja yang tinggal di Bekasi. "Kadang saya merasa lebih dekat dengan nenek daripada dengan ayah sendiri karena jarang punya waktu bersama."

Kondisi ini memunculkan berbagai dampak psikologis, baik bagi para pekerja maupun anggota keluarganya. Menurut psikolog, tekanan akibat perjalanan panjang dan minimnya waktu istirahat bisa memicu stres kronis, kelelahan mental, hingga depresi.

Di sisi lain, dampak sosial dari pola hidup ini juga terlihat dari semakin banyaknya keluarga yang memilih tinggal terpisah. Beberapa pasangan suami istri memilih untuk tinggal di dua tempat berbeda demi mendekatkan salah satu orang tua ke lokasi kerja, meski ini berarti mengurangi intensitas kebersamaan keluarga.

Transportasi Publik yang Belum Optimal

Sebagai solusi, transportasi publik sering kali menjadi andalan para komuter. Moda seperti KRL, MRT, hingga bus Transjakarta dianggap sebagai alternatif yang lebih hemat dan efisien dibandingkan kendaraan pribadi. Namun, kapasitas moda transportasi ini belum mampu mengimbangi jumlah penumpang yang terus meningkat.

Di jam-jam sibuk, KRL Commuter Line sering kali dipadati hingga melampaui kapasitas idealnya. Penumpang harus berdesakan masuk, bahkan tidak jarang harus berdiri sepanjang perjalanan. "Kadang rasanya seperti ikan sarden di dalam kaleng," keluh Lina, seorang pekerja asal Tangerang.

Selain itu, keterbatasan akses transportasi dari wilayah tertentu juga menjadi kendala. Banyak area di pinggiran Jakarta yang belum terhubung langsung dengan moda transportasi massal, sehingga memaksa penduduknya menggunakan kendaraan pribadi atau ojek online, yang justru menambah beban biaya perjalanan.

Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Baik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun