Istilah "remaja jompo" belakangan ini menjadi bahan perbincangan yang hangat, khususnya di media sosial. Generasi Z, yang sering disebut sebagai generasi emas karena potensi besar mereka dalam mendorong kemajuan bangsa, justru kerap mengidentifikasi dirinya sebagai generasi yang merasa "jompo" sebelum waktunya. Dengan tubuh yang sering dikeluhkan lelah, mental yang gampang goyah, hingga berbagai penyakit yang seolah datang lebih awal, julukan ini terdengar kontradiktif sekaligus menggelitik.
Namun, di balik kesan humor yang melekat, istilah ini sebenarnya memuat banyak ironi. Apakah benar generasi muda Indonesia saat ini mengalami kemunduran fisik dan mental? Ataukah ini sekadar persepsi yang muncul akibat gaya hidup modern?Â
Fenomena "Remaja Jompo"
"Remaja jompo" sebenarnya bukan istilah medis, melainkan istilah yang lahir dari keresahan kolektif anak muda. Jika ditelisik, kata ini muncul untuk menggambarkan generasi muda yang sering merasa lelah, tidak berenergi, atau bahkan memiliki keluhan fisik layaknya orang tua. Misalnya, nyeri punggung akibat terlalu lama duduk, tubuh yang mudah pegal tanpa aktivitas berat, atau mata yang cepat lelah karena terlalu sering menatap layar.
Banyak yang menilai istilah ini hanya bercanda. Namun, jika candaan ini terus bergulir, ia bisa menjadi manifestasi dari persoalan yang lebih besar. Generasi muda yang seharusnya berada di puncak energi justru merasa seperti "jompo". Lalu, apa sebenarnya yang membuat kondisi ini begitu nyata bagi banyak orang?
Gaya Hidup yang Tak Lagi Sehat
Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah gaya hidup modern. Generasi Z hidup di era yang serba cepat dan digital. Di satu sisi, teknologi menawarkan kemudahan. Namun, di sisi lain, ia membawa konsekuensi yang tak terhindarkan.
Kebiasaan begadang menjadi salah satu contohnya. Banyak anak muda yang menghabiskan waktu hingga larut malam untuk scrolling media sosial, menonton film, atau bermain gim. Kurangnya tidur ini bukan hanya memengaruhi produktivitas, tetapi juga berdampak langsung pada kesehatan fisik dan mental. National Sleep Foundation menyebutkan bahwa kurang tidur bisa memicu berbagai masalah, mulai dari gangguan konsentrasi hingga peningkatan risiko penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi.
Selain itu, pola makan yang tidak sehat turut memperburuk kondisi ini. Generasi muda cenderung mengandalkan makanan cepat saji karena alasan kepraktisan. Padahal, makanan tinggi lemak dan gula, jika dikonsumsi secara terus-menerus, dapat menyebabkan obesitas, gangguan metabolisme, hingga masalah pencernaan.
Faktor lain yang memperburuk situasi adalah minimnya aktivitas fisik. Kemudahan teknologi membuat banyak orang lebih sering duduk dan jarang bergerak. Aktivitas seperti berolahraga atau sekadar berjalan kaki kini sering diabaikan. Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Lancet menunjukkan bahwa gaya hidup sedentari atau kurang gerak menjadi penyebab utama dari berbagai penyakit degeneratif.
Tekanan Hidup yang Kian Berat
Generasi Z tidak hanya menghadapi tantangan fisik, tetapi juga mental. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, mereka hidup di era dengan tekanan yang jauh lebih kompleks. Tuntutan akademik, persaingan di dunia kerja, hingga ekspektasi sosial yang dibangun melalui media sosial menjadi beban besar yang harus mereka pikul.
Media sosial, meski menawarkan hiburan dan koneksi, juga menjadi sumber tekanan yang tak terduga. Platform seperti Instagram atau TikTok sering kali menjadi arena pameran kesuksesan. Ketika melihat orang lain yang tampak selalu bahagia, produktif, dan sukses, banyak anak muda yang merasa tertinggal. Perasaan ini bisa memicu kecemasan, depresi, atau bahkan krisis identitas.
Selain itu, budaya kerja berlebihan atau hustle culture semakin memperparah keadaan. Generasi muda sering kali didorong untuk terus bekerja keras tanpa henti demi mencapai kesuksesan. Istilah seperti "no pain, no gain" menjadi mantra yang justru menormalisasi kelelahan. Padahal, tubuh dan pikiran manusia memiliki batas. Ketika tekanan ini terus-menerus dibiarkan, kelelahan fisik dan mental menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.
Benarkah Generasi Muda Lebih Cepat "Menua"?
Fenomena "remaja jompo" ini sering kali diasosiasikan dengan penuaan dini. Namun, apakah generasi muda saat ini benar-benar menua lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya?
Penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup modern memang dapat mempercepat proses penuaan biologis. Sebuah studi yang dilakukan oleh University of California mengungkapkan bahwa stres kronis dapat memengaruhi panjang telomere, yaitu struktur di ujung kromosom yang berperan dalam menentukan usia sel. Ketika telomere memendek lebih cepat akibat stres, proses penuaan biologis pun dipercepat.
Selain itu, paparan radikal bebas dari polusi udara, makanan tidak sehat, hingga penggunaan gawai yang berlebihan juga berkontribusi pada percepatan penuaan. Misalnya, paparan cahaya biru dari layar gawai diketahui dapat merusak struktur kulit dan menyebabkan penuaan dini.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua keluhan yang dialami generasi muda sepenuhnya disebabkan oleh penuaan. Banyak di antaranya lebih berkaitan dengan pola hidup dan manajemen stres yang buruk. Dengan kata lain, meski istilah "remaja jompo" terdengar relevan, masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan perubahan gaya hidup.
Dampak Jangka Panjang terhadap Masa Depan Bangsa
Fenomena ini tidak boleh dianggap remeh. Jika dibiarkan, generasi muda yang terus merasa "jompo" bisa berdampak buruk pada masa depan bangsa. Mereka adalah tulang punggung pembangunan, terutama dalam menghadapi bonus demografi yang diproyeksikan mencapai puncaknya pada tahun 2030.
Jika generasi emas ini tidak berada dalam kondisi fisik dan mental yang optimal, peluang besar yang ditawarkan oleh bonus demografi bisa terlewatkan. Selain itu, meningkatnya kasus penyakit kronis di usia muda juga bisa membebani sistem kesehatan nasional.
Lebih jauh lagi, generasi muda yang terus-menerus merasa lelah atau kehilangan motivasi dapat mengalami penurunan produktivitas. Hal ini tentu akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan daya saing bangsa di kancah global.
Mencari Jalan Keluar
Mengatasi fenomena ini membutuhkan upaya bersama, baik dari individu, keluarga, institusi pendidikan, hingga pemerintah. Perubahan kecil dalam gaya hidup bisa memberikan dampak besar. Misalnya, memperbaiki pola tidur, mengadopsi pola makan yang lebih sehat, hingga rutin berolahraga.
Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental. Dukungan dari keluarga dan lingkungan sangat berperan dalam membantu generasi muda menghadapi tekanan hidup. Program konseling di sekolah atau tempat kerja, misalnya, bisa menjadi langkah awal untuk menciptakan generasi yang lebih tangguh secara emosional.
Media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk membangun narasi positif. Alih-alih mempopulerkan istilah "remaja jompo," platform ini bisa digunakan untuk menyebarkan konten yang memotivasi dan edukatif, seperti tips hidup sehat, manajemen stres, atau cerita inspiratif.
Kesimpulan
Label "remaja jompo" memang menjadi fenomena menarik di kalangan generasi muda. Di satu sisi, istilah ini menggambarkan keresahan yang nyata. Namun, di sisi lain, ia juga menunjukkan potensi besar yang masih bisa digali.
Generasi Z, dengan segala tantangan yang mereka hadapi, tetap memiliki peluang besar untuk menjadi generasi emas. Namun, peluang ini hanya bisa diwujudkan jika mereka mampu mengatasi berbagai kendala, baik fisik maupun mental.
Kini saatnya kita berhenti melihat generasi muda sebagai "jompo" dan mulai mendukung mereka untuk menjadi lebih sehat, kuat, dan berdaya. Dengan begitu, julukan generasi emas tidak hanya menjadi sebutan, tetapi juga cerminan dari kontribusi nyata mereka bagi bangsa dan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H