Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kelemahan Regulasi Pajak di Indonesia

17 Desember 2024   09:36 Diperbarui: 17 Desember 2024   09:36 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak adalah tulang punggung pendapatan sebuah negara. Tanpa pajak, roda pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, dan pembangunan ekonomi akan sulit terealisasi. Namun, dalam konteks Indonesia, sistem perpajakan yang ada sering kali dianggap belum optimal. Berbagai kelemahan dalam regulasi pajak menjadikan pengelolaan penerimaan negara tidak maksimal, menciptakan ketidakpastian, dan menimbulkan ketimpangan. Masalah ini bukan hanya sebatas prosedur teknis, tetapi juga menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Berbicara tentang kelemahan regulasi pajak di Indonesia berarti berbicara tentang sejumlah persoalan kompleks, mulai dari rumitnya peraturan, rendahnya kepatuhan masyarakat, lemahnya pengawasan, hingga potensi besar kebocoran pajak yang sering kali sulit diatasi. Artikel ini akan membahas masalah tersebut secara mendalam dan komprehensif, disertai fakta-fakta yang menggambarkan betapa urgennya perbaikan dalam sistem perpajakan kita.

Kerumitan Regulasi dan Birokrasi Pajak

Salah satu persoalan mendasar dalam sistem perpajakan Indonesia adalah regulasi yang rumit dan birokrasi yang berbelit-belit. Pajak seharusnya menjadi instrumen yang mudah dipahami dan dijalankan oleh setiap lapisan masyarakat, baik individu maupun perusahaan. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Banyak wajib pajak yang kebingungan dengan peraturan pajak yang sering kali berubah-ubah, tumpang tindih, dan tidak konsisten.

Kondisi ini bukan tanpa dasar. Menurut laporan Ease of Doing Business dari Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat 112 dari 190 negara dalam aspek kemudahan membayar pajak. Angka ini menggambarkan betapa kompleksnya proses administrasi pajak di Indonesia dibandingkan negara lain. Seorang pengusaha, misalnya, memerlukan waktu lebih dari 200 jam per tahun hanya untuk mengurus kewajiban pajak. Di negara seperti Singapura atau Malaysia, proses ini bisa jauh lebih cepat dan sederhana.

Contoh nyata dari kerumitan ini dapat dilihat dalam kewajiban pelaporan SPT tahunan. Bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang tidak memiliki latar belakang akuntansi atau keuangan, mengisi formulir SPT terasa seperti memecahkan teka-teki yang membingungkan. Tak jarang, untuk menyelesaikannya, wajib pajak harus menggunakan jasa konsultan pajak yang tentu saja menambah biaya. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi pengusaha kecil dan menengah (UMKM) yang sebenarnya tengah berjuang menjaga kelangsungan usahanya.

Selain itu, peraturan yang berubah-ubah tanpa sosialisasi yang memadai sering kali membuat wajib pajak kebingungan. Pemerintah memang memiliki niat untuk memperbaiki sistem perpajakan melalui kebijakan baru, tetapi tanpa komunikasi yang baik dan implementasi yang jelas, kebijakan tersebut justru menambah kerumitan.

Ketimpangan dalam Sistem Perpajakan

Kelemahan regulasi pajak di Indonesia juga tercermin dari adanya ketimpangan dalam pengenaan pajak. Pada praktiknya, beban pajak sering kali lebih banyak ditanggung oleh masyarakat kelas menengah dan bawah, sementara kelompok kaya dan korporasi besar memiliki berbagai cara untuk mengurangi kewajiban pajaknya.

Fenomena ini bisa dilihat dari praktik penghindaran pajak (tax avoidance) yang sering dilakukan perusahaan multinasional. Melalui skema seperti transfer pricing, perusahaan besar memindahkan keuntungan mereka ke negara-negara dengan tarif pajak rendah, meskipun aktivitas ekonominya sebenarnya berlangsung di Indonesia. Akibatnya, Indonesia kehilangan potensi pendapatan negara dalam jumlah besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun